gus yahya sebatang sebelum pulang
REVIEW

Sebatang Sebelum Pulang

Urat nadi di pergelangan tangannya sudah terputus, membuang banyak sekali darah. Saat itu hidupnya selangkah lagi diregang malaikat maut yang tak peduli derasnya rasa sakit dan kerasnya rintihan yang menodong belas perhatian Tuhan. 

Ia memungut dengan mulutnya sebatang dari bungkus rokok dengan susah payah. 

Tangan yang sedari tadi darah mengucur darinya itu mulai lumpuh, teronggok seperti kayu pencacah daging, yang dipakai hanya untuk dilukai. 

Di antara maut dan ajal itu, ia yang tak pernah dekat dengan Tuhan merengek jengkel, pintanya urung juga diaminkan. 

Sebelum akhirnya, di tengah rasa sebal itu, malaikat menampakkan wujudnya, turun mendekat, dengus nafas menjarah ke batang leher leher, tapi tidak untuk meregang nyawa melainkan membantunya membakar sebatang rokok lalu mengabulkan permohonan kecil; agar diberi kesempatan untuk sekali lagi mengorbankan diri—demi satu doa; menyelamatkan nyawa satu orang. 

Itulah Constantine yang memohon kematiannya ditangguhkan dengan cara menyulut sebatang rokok. Persis seperti requiem seorang Gabriel Garcia Marquez, yang hanya akan meninggal kalau ia ingin meninggal. 

Sebatang sebelum pulang ini pula yang memantik gairah hidup seorang Kiai Nawawi Abdul Aziz (An-Nur, Ngrukem Yogyakarta) yang kadung divonis tubuhnya sudah meninggal 3-4 hari sebelumnya. 

“Sebenarnya Simbah sudah divonis dokter meninggal 3-4 hari sebelumnya, tapi karena gairah hidupnya meninggi, vonis itu sudah tidak berlaku,” kisah salah satu cucu beliau, Mas Inan.

Apa yang membuat gairah hidup beliau meninggi, saya nilai sebagai pernyataan ganjil. Bagaimana tidak, sudah divonis meninggal tapi Kiai Nawawi malah menampakkan gairah hidup yang tidak biasa dirasakan oleh lazimnya seorang manusia. 

Vonis yang lahir disaat penyakit paru-paru yang bukan akibat rokok itu, membuat Kiai Nawawi harus menjalani opname berhari-hari di rumah sakit. 

Tapi setelah vonis itu dicabut, beliau dipersilahkan pulang ke rumah oleh dokter. 

Barangkali apa yang beliau cari sepulang dari rumah sakit adalah kerinduan. Apa yang beliau cari setelah pulang? Bukan Bakmi Jowo, Tongseng Kambing apa lagi, melainkan sebatang rokok Gudang Garam Merah. 

Gudang Garam Merah, rokok yang memiliki sejuta laqab (nama lain) itu sudah mencuri hatinya, sehingga ia menjadi suatu hal yang mula-mula beliau pegang setelah menjalani rawat-inap di rumah sakit.  

gus yahya merokok

(dokumen Afrizal Qosim)

Sebatang sebelum pulang juga menjadi drama kegetiran hidup yang dialami oleh Kiai Cholil Bisri. Seorang kiai, begawan, penulis prolifik, mubaligh, dan aktor intelektual dari Partai Kebangkitan Bangsa itu mempunyai kenangan indah dengan rokok di masa sakit merundung hidupnya.  

Di hari-hari sakitnya, dokter yang sudah sangat khawatir dengan kesehatan Kiai Cholil memintanya berhenti merokok. Tapi beliau membantah,

“Segala yang masuk ke mulutku sudah nggak ada yang terasa enak. Yang masih enak tinggal rokok. Masak kau suruh berhenti?”

Dokter tidak memaksa. Membisu.

Meski habituasi merokok kemudian menurun, tidak semasif ketika sehat. Rokok-rokok tinggalan Kiai Cholil tetap mempunyai mulut yang tepat untuk disulut. Ya, anaknya, Gus Yahya (KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU) yang terpaksa harus membiasakan diri menyulut dua kaleng biskuit “rokok-rokok berat” tinggalan ayahnya tersebut. 

Sebatang sebelum pulang adalah “sebats dulu” dalam bahasa tongkrongan. 

Ungkapan itu semacam ingin memberi peringatan akan pentingnya keakraban dari hanya sekedar duduk bersama. 

Pun juga upaya menaruh keakraban dalam porsi berimbang antara pembicaraan dan ketuntasan dari suatu hal yang kadung dimulai. 

Usai disuguhi makanan, sebatang sebelum pulang juga bernilai sosial. Ia memberikan jeda waktu guna mempersilahkan tamu untuk mencicipi dan lalu memberikan penilaian atas rasa nikmat hidangan tersebut. 

Tafsir yang lebih transenden lagi, sebatang sebelum pulang adalah bahasa pulang yang tak mengharuskan kepergian, ia dikenang dalam-dalam sebagai pengukir kenangan yang mengekal.