logo boleh merokok putih 2

Djarum Super: Penyambung Rasa, Penjaga Warisan Keluarga

djarum super

Djarum Super adalah definisi kesempurnaan aroma kretek Nusantara.

Saya tidak ingat secara pasti. Mungkin ribuan, atau jutaan. Mungkin juga saya yang berlebihan. Hanya kata “mungkin” yang bisa saya gunakan untuk menggambarkan jumlah batang Djarum Super yang sudah saya isap. Namun, kalau soal rasa dan perasaan, kretek satu ini selalu menghadirkan sesuatu yang pasti.

Saya mengenal Djarum Super sejak kanak. Sejak penciuman saya bisa mengenali aroma khas dari kretek terlaris sepanjang sejarah pabrikan Djarum di Nusantara ini. Tentu saja saya tidak mengisapnya ketika kanak. Bisa digambar sampai rontok gigi ini sama bapak saya. Saya mampu mengenali dan lalu akrab dengannya karena Tuhan menciptakan indera penciuman. 

Bapak dan kakak saya (yang sudah dewasa) sama-sama mengonsumsi kretek ini. Bapak saya adalah perokok Djarum Super yang terbilang militan. Sejak masih aktif bertugas sebagai pengayom masyarakat, bapak saya sudah mengonsumsi kretek yang kali pertama rilis di Indonesia pada 1981.

Dan hingga saat ini, bapak saya tidak bisa berpaling ke lain kretek. Beberapa kali saya mendapatinya sedang asyik mengonsumsi Dji Sam Soe. Katanya, kretek Dji Sam Soe dan teh hangat bikinan ibu saya itu cocok sekali. 

Kalau Djarum Super? Tidak hanya dengan teh hangat bikinan ibu. Super cocok untuk segala medan. Tentu ini soal selera, ya. Dan, kalau soal selera, kamu mau apa selain memaklumi dan menerimanya sebagai perbedaan yang luhur.

Sementara itu, kalau kakak saya, lebin ke kasual. Dia merokok apa saya yang ada di depan mata. Kalau warung kelontong nenek lagi banyak stok Gudang Garam, ya rokok dari Kediri itu yang diisapnya. Sekarang, dia sedang menikmati rokok lintingan sendiri. Namun, kalau ditanya, ya Djarum Super yang jadi gacoan utama.

Saya harus membuat pengakuan dosa di sini. Saya sudah merokok sejak SMP. Namun, kedua orang tua saya tidak tahu. Kakak saya tahu, tapi dia selalu memasang senyum mencurigakan ketika saya mewanti-wantinya untuk tidak cerita ke bapak dan ibu. Yah, intinya, saya mau minta maaf dan berpesan ke pembaca yang baik untuk tidak meniru kelakuan saya ini.

djarum super kudus

Sebenarnya, kalau saya ingat-ingat lagi, bapak saya tahu saya merokok sejak SMA. Suatu kali, selepas nyambi sebagai tukang parkir di pertandingan PSIM Yogyakarta, saya pulang sambil mengantongi sebungkus rokok Djarum Black Cappucino

Itu rokok saya, tapi saya berbohong ketika diinterogasi ibu. Saya bilang itu rokok saudara saya yang ikut menjaga parkir. Cuma, kebawa saya yang pulang duluan. Ibu saya percaya, bapak saya hanya diam saja. Saya mengerti kalau dia sudah tahu.

Baru kemudian, ketika sudah kuliah, saya sudah berani mengaku kalau merokok. Dan, tentu saja Djarum Super yang saya nikmati. Jadi, tiga orang laki-laki, berbeda generasi, mengonsumsi rokok yang sama. Kalau tidak salah ingat, simbah kakung saya juga sempat merokok Super. Jadi, kalau saat ini ditanya makna rokok Djarum Super itu apa, saya akan menjawab dengan pasti: kretek warisan keluarga.

Penyambung rasa

djarum super kesempurnaan kretek

Dulu, saya dan bapak saya itu seperti kawan yang lama tidak ketemu. Kawan yang sebetulnya tidak akrab dan ketemu di sebuah reuni. Hening, tanpa punya satu tema yang bisa menyatukan kami. Dingin. Seakan-akan kami adalah sepasang kekasih yang sedang marahan. Sama sekali tidak menarik kalau ngobrol sama bapak.

Kebekuan di antara kami sedikit cair hanya ketika sedang menonton PSIM di Mandala Krida. Sudah. Itu saja. Selebihnya adalah kebekuan dan kekauan. Saya tidak pandai mencari tema obrolan. Padahal, sebetulnya, bapak saya adalah pencerita yang tangguh. Mungkin, saya yang dulu bukan pendengar yang baik dan terlihat tidak tertarik dengan tema-tema khas bapak saya, yaitu kisah-kisah lucu masa lalu.

Semuanya jadi agak berbeda ketika saya sudah setengah jalan kuliah. Ketika dia tahu saya juga menggemari Djarum Super. Obrolan di ujung tengah malam, di depan televisi, jadi terasa berbeda. Asap dengan aroma yang khas itu membuat saya lebih jenak untuk mendengarkan kisah konyol bapak saya sewaktu muda.

Jauh sebelum resmi mengabdi kepada negara, bapak saya adalah pemuda nakal. Suatu kali, karena geram dengan sikap tetangga, dia merencanakan sebuah prank. Dibantu salah satu temannya, bapak saya mencuri sapi milik tetangga. Sapi remaja itu dimasukkan ke dalam rumah dari dapur di belakang. Sontak, simbah puteri saya ngamuk, heran, sekaligus dibuat geli setengah mati. 

Bapak saya juga suka berkelahi. Sifat yang sedikit banyak menurun ke saya. Kalau bapak saya berkelahi di jalanan, saya berkelahi di media sosial. Sama-sama gelut, tapi bapak saya menemukan tarikan adrenalin yang memesona lewat kepalan tangan. Saya, sih, malas berkelahi di jalanan, kalau tidak sangat terpaksa.

Gimana mau berkelahi, ketahuan tawuran saja saya sudah hampir digampar bapak yang saat itu sudah mengenakan seragam cokelat itu. Saya enggan membayangkan pipi saya disambut hook kanan bapak setelah pulang dari tawuran. Bisa semaput saya. Seram.

Kisah-kisah zaman dulu itu jadi terdengar menyenangkan bersama lesapnya asap Djarum Super di antara langit-langit rumah kami yang sederhana. Bapak jadi lebih bersemangat bercerita. Saya sendiri jadi bisa memahaminya lebih jauh. Bapak saya suka kalau didengarkan. Mungkin, di kehidupan yang berbeda, dia lebih cocok menjadi seorang penulis ketimbang saya.

Sekarang, di tengah pergolakan kenaikan cukai, bapak saya sering mengeluh kalau harga Djarum Super semakin mahal. Sebuah keluhan sambil lalu yang bagi saya terdengar seperti kewajiban sebagai anak. Dulu, saya sering maling beberapa batang rokok bapak saya, kini saya berkewajiban untuk gantian menyenangkan beliau.

Sebungkus Djarum Super yang saya bawa selalu sukses menimbulkan senyum di bibir tuanya. Saya sadar bahwa waktu-waktu hari ini bersama bapak adalah waktu yang berharga. Saya tidak tahu kapan kami akan dipisahkan oleh takdir. Saat ini, yang bisa saya lakukan adalah menjaga warisan keluarga ini tetap mengepul di antara langit-langit rumah kami, yang masih sederhana.

Djarum Super bukan sekadar rokok. Ia melenturkan lidah yang kelu. Ia memberi kami inspirasi, sebagai bapak dan anak, untuk terus bertukar cerita sampai akhir hayat yang masih rahasia.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis