kenaikan cukai rokok tidak turunkan prevalensi rokok anak
OPINI

Kenaikan Cukai Rokok Tak Efektif Turunkan Prevalensi Perokok di Bawah Umur

Awal tahun 2020 hingga 2022 adalah rentang waktu yang gelap bagi industri hasil tembakau. Kenaikan cukai rokok selalu di atas dua digit. Mulai dari 2020 yang mencapai, dan untuk pertama kalinya menyentuh angka dua, angka 23%, 2021 sebesar 12,5% hingga 2022 sebesar 12%. 

Kenaikan cukai rokok tersebut cukup mengejutkan bagi industri hasil tembakau. Pasalnya, rentang waktu tersebut adalah era pandemi Covid-19. Era yang membuat manusia berusaha untuk bertahan hidup, memperoleh rezeki, atau setidaknya memiliki rasa aman dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Namun, satu demi satu pabrik rokok berguguran. Peristiwa paling heboh adalah pada Agustus 2022 pabrik rokok Apache di Blitar menjadi bangkrut dan melepaskan ikatan kerja karyawannya. Jika dihitung secara keseluruhan, total ada 890 karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja. 

Peristiwa di atas tidak akan pernah terpikirkan oleh pemangku kebijakan. Cuan demi cuan dikeruk, tetapi nasib pekerja industri hasil tembakau dibiarkan membusuk. Sungguh cara yang buruk. 

Pemangku kebijakan, dalam hal ini pemerintah pusat, berdalih bahwa kenaikan cukai rokok wajib dilakukan setinggi-tingginya demi menurunkan prevalensi perokok di bawah umur (anak di bawah usia 18 tahun). 

Pertanyaannya, efektifkah kebijakan kenaikan cukai rokok demi menurunkan prevalensi perokok di bawah umur?

Anomali Kebijakan Kenaikan Cukai Rokok

masyarakat merokok

Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan selalu mendesak pemerintah pusat untuk selalu menaikkan cukai rokok. Alasannya sungguh sentimentil. Naiknya cukai rokok akan membuat prevalensi perokok anak menurun. 

Jika mengutip dari Riskesdas, 2018, persentase perokok anak selalu meningkat dari tahun ke tahun. Terhitung dari 2018 sebesar 9,10% dan 2019 sebesar 10,70%. Prediksi mereka, pada 2030 mencapai angka 16%. 

Sekilas persentase tersebut membikin masyarakat Indonesia bergidik. Apalagi anak-anak Indonesia masa kini adalah pahlawan pada masa depan. Tentu saja, angka tersebut harus diturunkan. 

Masalahnya, pemerintah selalu siap dan sigap untuk membuat putusan kebijakan menaikkan cukai rokok, tetapi gagap dalam menegakkan PP 109/2012. Ini yang semestinya harus menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah pusat. 

Penegakkan PP 109/2012 seperti pisau tumpul. Pisau yang semestinya tajam sehingga membuat siapa saja takut atau jera, tetapi dalam kenyataannya tidak berarti apa-apa. 

PP 109/2012 hanya sekadar alat bantu saja. Bukan tombak utama. Semestinya pemerintah serius untuk menghilangkan perokok anak dengan cara memberi edukasi kepada pedagang rokok. 

Sayangnya, tampaknya PP tersebut hanya berjalan angin lalu. Malahan isu soal revisi PP 109/2012 justru menguat. Bahkan sudah ramai diperbincangkan sejak pertengahan tahun 2022. 

Akhirnya, terjadi pergeseran makna bahwa merokok, yang sepenuhnya tindakan legal, semakin menjadi kambing hitam atas tingginya jumlah perokok anak. 

Data BPS Berkata Sebaliknya

penjual merokok

Data BPS tahun 2022 justru mengatakan bahwa jumlah perokok anak menurun. Artinya, gembar-gembor bahwa kenaikan cukai rokok perlu dilakukan karena tingginya prevalensi perokok di bawah umur menjadi kabur.

Dengan jelas, dan dapat terlihat di situs web BPS, bahwa jumlah perokok anak dari 2020 hingga 2022 menurun. Dari 3,81% menjadi 3,44%. Well, data yang seharusnya menjadi pijakan atau pegangan pemerintah pusat justru diabaikan. 

Mereka, kaum anti-rokok, lebih memilih data yang dikeluarkan Riskesdas dan BPOM yang bekerja sama dengan Global Youth Tobacco untuk melakukan survei tersebut. 

Tentu saja, survei tersebut cenderung sarat kepentingan luar. Bagaimana mungkin data dalam negeri diabaikan sedangkan data di luar negeri justru dibanggakan. Bahkan, ironisnya data BPS adalah data termutakhir. 

Pemerintah seharusnya intropeksi atau sadar diri. Pertama, mereka enggan mengakui bahwa gagal mengimplementasikan PP 109/2012 dengan jelas dan jernih, khususnya menanggulangi perokok di bawah umur. Kedua, meskipun data dari dalam negeri, dan itu telah dikeluarkan badan yang berwenang, nyatanya data tersebut hanya dianggap angin lalu. 

Sudah seharusnya pemerintah lebih tegas menjaga terjadinya perokok anak. Selama anak-anak belum berusia 18 tahun maka tidak diperbolehkan untuk aktivitas merokok. Edukasi perlu ditegakkan dan peraturan harus diterapkan. Bukan malah sibuk untuk mencari cara menyetujui usulan revisi PP 109/2012.

Bijaklah dalam Membuat Peraturan, Pemerintah

warga merokok dan beraktivitas

Pemerintah lebih suka menutup mata ketimbang membuka mata apabila disodorkan data (kesehatan) yang memihak industri hasil tembakau. Namun, pemerintah sangat gercep apabila data industri hasil tembakau yang berbau cuan. 

Pemerintah tahu bahwa industri hasil tembakau sangat menopang kehidupan perekonomian Indonesia. Sudah terbukti bahwa tembakau adalah ladang cuan sehingga ketahanan ekonomi Indonesia menjadi aman.

Jika memang sudah tahu bahwa emas hijau cukup manjur bagi ekonomi Indonesia, lantas mengapa alasan kenaikan cukai rokok selalu dikaitkan dengan prevalensi perokok di bawah umur?

Lebih baik jujur saja dan mengatakan bahwa kenaikan cukai rokok memang untuk cuan ekonomi. Bukan untuk menanggulangi perokok di bawah umur apalagi mengelola kesehatan. 

Sekali lagi, pemerintah perlu serius dan memperhatikan dengan bijak bahwa tidak boleh ada perokok anak. Maka, ya sudah tegakkan aturan dan edukasi tiada henti kepada siapa pun yang menjual dan memberi rokok terhadap anak itu perilaku tercela.