aglomerasi pabrik rokok
Pabrikan

Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau Tidak Mampu Melawan Peredaran Rokok Ilegal

Keputusan Menteri Keuangan yang membuat aturan tentang pembentukan aglomerasi pabrik hasil tembakau di sejumlah daerah diharapkan mampu menumbuhkan industri kecil dan menengah yang memproduksi rokok dalam negeri. 

Ketentuan mengenai aglomerasi pabrik tertuang dalam PMK No 22/2023 tentang Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau. Peraturan ini menggantikan PMK No 21/PMK.04/2020 tentang Kawasan Industri Hasil Tembakau. 

Terbitnya peraturan ini, dikatakan dalam pertimbangan PMK Nomor 22 tahun 2023, untuk lebih meningkatkan daya saing, pembinaan, pelayanan, dan pengawasan, serta memberikan kemudahan berusaha bagi pengusaha pabrik hasil tembakau pada skala industri kecil dan industri menengah dan usaha mikro, kecil, dan menengah.

Kemudahan-kemudahan atas terbitnya kebijakan baru ini di antaranya:

Pertama, kemudahan perizinan di bidang cukai, berupa pengecualian dari ketentuan luas lokasi, bangunan, tempat usaha, yang akan digunakan sebagai pabrik hasil tembakau, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Nomor Pokok Pengusaha BKC (NPPBKC). 

Sebagaimana diketahui peraturan yang mengatur kepemilikan NPPBKC harus memenuhi syarat luas lokasi, bangunan, atau tempat yang dijadikan pabrik hasil tembakau harus memiliki luasan 200 meter persegi. 

Peraturan ini yang membuat berkurang pengusaha hasil tembakau hanya tinggal 1000 saja. Dari sebelumnya sejumlah 4000 pengusaha. 

Kedua, kemudahan produksi BKC. Dengan menjadikan berada dalam satu kawasan diharapkan terjadi kerjasama produksi BKC. 

Ketiga, kemudahan pembayaran cukai juga diberikan yakni berupa penundaan pembayaran cukai dalam jangka waktu 90 hari sejak tanggal pemesanan pita cukai. 

Dengan terbitnya pembaharuan ketentuan kawasan industri hasil tembakau ini mampukah Kementerian Keuangan mempertahankan pendapatan dari sektor cukai hasil tembakau? 

Sebab, sebagaimana dikatakan industri hasil tembakau merupakan salah satu sektor industri yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Sumbangan tersebut berupa tumbuhnya perekonomian di daerah dengan budidaya bahan baku, penyerapan tenaga kerja, sampai pendapatan negara melalui cukai. 

Peraturan Tidak Tulus 

pabrik cerutu rumahan

Ada beberapa poin yang tertuang dalam peraturan terkait aglomerasi yang menunjukkan kecurigaan yang besar dari Kementerian Keuangan terhadap para pengusaha kecil di bidang hasil tembakau. 

Semangat penuh kecurigaan diusung aturan terkait aglomerasi dengan membuat pintu masuk dan keluar diletakkan satu pintu. Juga berkewajiban menyediakan ruangan, tempat, sarana kerja dan/atau fasilitas kerja yang layak bagi Pejabat Bea dan Cukai untuk menjalankan fungsi pelayanan dan pengawasan. 

Kemudian, dalam pasal 9 ayat c tertuang, menyediakan dan mendayagunakan closed circuit television (cctv) untuk pengawasan, pemasukan, dan pengeluaran barang yang dapat diakses secara langsung (real time) dan daring (online) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta memiliki data rekaman paling sedikit 7 (tujuh) hari sebelumnya. 

Kecurigaan itu terkait bahwa pengusaha kecil ini yang selama ini dicurigai memproduksi produk hasil tembakau ilegal dan menyelenggarakan kegiatan yang melanggar ketentuan di bidang cukai. 

Dengan adanya sistem pengawasan yang diberlakukan di atas, maka ada baiknya, serba kedepan bila terjadi kebocoran dan pelanggaran di kawasan aglomerasi berarti kemungkinan besar diketahui oleh DJBC. 

Perlu Perombakan Aturan di Bidang Cukai Hasil Tembakau

menjemur tembakau

Kebijakan terkait cukai hasil tembakau yang diterapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan selama ini menempatkan pilihan yang sulit bagi penyelenggara di industri hasil tembakau. 

Kementerian Keuangan terus mendorong terjadi peningkatan penerimaan negara yang tinggi dan targetnya terus dinaikkan setiap tahunnya. 

Berhasil? Ya, berhasil dengan realisasi penerimaan cukai hasil tembakau melebihi target yang ditentukan. Ketercapaian itu nyaris terjadi setiap tahunnya. 

Tetapi, ketercapaian itu tidak menunjukkan tumbuhnya sektor industri di bidang hasil tembakau. Kenyataan yang terjadi sebaliknya, industri hasil tembakau dari tahun ke tahun mengalami kemunduran. 

Hal ini terlihat dari penurunan signifikan jumlah pabrik yang bergerak di bidang hasil tembakau dan angka produksi yang relatif stagnan. 

Artinya, ketercapaian target cukai dipengaruhi paling besar karena faktor peningkatan tarif cukai yang setiap tahun terus ditingkatkan. 

Pertanyaannya, jumlah penduduk meningkat setiap tahunnya sedangkan angka produksi rokok stagnan, lalu apakah jumlah perokok berkurang? Tidak, yang terjadi adalah konsumen rokok beralih mengonsumsi rokok ilegal. 

Melalui instrumen tarif cukai selalu yang dinaikkan setiap tahunnya, pemerintah sebenarnya membuat suatu kondisi sulit bagi pengusaha rokok yang bergerak secara legal.

Setoran melalui komponen cukai dan pajak terus dinaikkan setiap tahunnya sehingga membuat harga produk jauh lebih tinggi, sedangkan dalam menjual produk tersebut di pasaran, mereka harus berhadapan dengan peredaran rokok ilegal yang merajalela dan seperti dibiarkan oleh bea dan cukai. Harganya pun terpaut jauh, satu banding empat. 

Innalillahiwainnailaihirojiun, lonceng kematian industri hasil tembakau sudah di depan mata.