dana 300 T
OPINI

Aliran Dana Mencurigakan 300 T di Kemenkeu Setoran dari Bos Rokok Ilegal?

Rokok ilegal dengan mudahnya kita temui di warung dan ditawarkan di marketplace secara terbuka. Tak sembunyi-sembunyi lagi dengan diedarkan di pelosok daerah yang minim pengawasan, tapi juga mudah ditemui di daerah perkotaan. 

Ada memang yang ditangkap dan barang bukti dimusnahkan. Hal ini muncul di pemberitaan hampir setiap hari. Tetapi setelah tertangkap, kenapa tidak dilacak sampai akarnya, tempat produksinya di mana, dan ke mana perginya sang pemilik sama sekali tidak terlacak. 

Anda boleh mencari-cari di pemberitaan terkait kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, apakah operasi terhadap rokok ilegal mampu menjerat sampai kepada pemilik perusahaan rokok ilegal?

***

Baru-baru ini, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK terkait adanya pergerakan uang yang mencurigakan sebesar Rp300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan. 

“Sebagian besar dana itu ada di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai,”kata Mahfud MD di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Rabu, 8 Maret 2023. 

Pergerakan uang mencurigakan tersebut, terjadi dari kurun waktu 2009 sampai 2023. Dari kurun waktu tersebut, ada sebanyak sekitar 160 laporan dan melibatkan 460 orang. “Itu tahun 2009 sampai 2023, taruhlah 160 laporan lebih sejak itu. Itu tidak ada kemajuan informasinya,” ujar Mahfud Rabu (8/3/2023), seperti dikutip Kompas.com.

Seperti kita ketahui bersama, pada 2008 terjadi perubahan besar tata kelola industri hasil tembakau di Indonesia dengan munculnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau. 

PMK tersebut ditandatangani oleh Sri Mulyani Indrawati pada 9 Desember 2008. Seketika itu, lanskap industri hasil tembakau pun mengalami perubahan, dengan banyak pabrik rokok yang dikerjakan di rumahan berguguran. 

Pasalnya, syarat yang diberikan kepada pabrik rokok bisa melanjutkan usaha apabila (1) memiliki pabrik yang tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempat-tempat lain yang bukan bagian pabrik yang dimintakan izin; (2) tidak berhubungan langsung dengan rumah tinggal; (3) berbatasan langsung dan dapat dimasuki dari jalan umum; dan (4) memiliki luas bangunan paling sedikit 200 (dua ratus) meter persegi.

Peraturan tersebut juga menempatkan pabrik-pabrik rokok yang sebelumnya dikelola secara tradisional berada di ujung jurang, pilihan antara hidup dan mati. Dan, sebagai penentunya adalah Kementerian Keuangan melalui pejabat bea cukai di masing-masing daerah. Termasuk nanti perannya adalah mencabut NPPBKC (Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai). 

Akibat dari peraturan ini jumlah perusahaan rokok di Indonesia menurun drastis. Dari 5.000 unit, turun menjadi hanya hingga 17% saja pada 2012 menjadi 1.000 unit. 

Kerja ini sebenarnya tidak sederhana seperti kelihatannya, dengan kewenangan yang begitu besar bagi Kementerian Keuangan, utamanya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai karena menyangkut hidup mati nasib banyak perusahaan.

Sayangnya kerja itu tidak ada yang melakukan pengawasan. Ada banyak celah yang bisa dimainkan oknum-oknum di Kementerian Keuangan karena kartu hidup mati sebuah perusahaan ada di tangannya. Entah kenapa, PMK tersebut terjadi di tahun 2008, tepat setahun dari data yang disebutkan Mahfud MD berdasarkan temuan PPATK.  

Atau, jangan-jangan emang ada kaitannya ya? 

***

rokok ilegal membengkak

Barangkali, Sri Mulyani menganggap pengurangan jumlah pabrik rokok ini sebagai keberhasilan. Tetapi, pertanyaannya 4.000 perusahaan yang tidak lolos persyaratan itu ke mana. Pengurangan sejumlah itu bukan angka yang sedikit. Di satu pabrik rokok juga terdapat puluhan hingga ratusan pekerja yang kesemuanya mempunyai keterampilan dan keahlian membuat rokok, kan? 

Lalu, apa yang mereka kerjakan selanjutnya? Terlebih tarif cukai secara senantiasa dinaikkan secara brutal untuk mendapatkan pendapatan tinggi dari cukai rokok. Tercatat sejak 2009 sampai sekarang di 2023, kenaikan tarif cukai telah mencapai 153,69%. 

Hal ini mengakibatkan komponen dari harga jauh rokok lebih besar disetorkan kepada negara melalui komponen pajak dan pungutan cukai. Hal ini otomatis membuat disparitas harga antara rokok legal dibanding rokok ilegal makin terpaut jauh. 

Padahal, rumusnya sederhana semakin tinggi tarif cukai yang dikenakan kepada satu produk, semakin tinggi pula peredaran produk ilegalnya. 

Barangkali, Ibu Sri Mulyani tetap tenang saja, pendataannya kan sudah ada, siapa-siapa saja pelaku pengusahaan rokok, daerahnya di mana. Ibaratnya, peta pelaku-pelaku usaha rokok yang kolaps dan kemungkinan bakal jadi embrio pelaku usaha gelap rokok ilegal juga telah dipegang. 

Jadi, akan mudah untuk memerangi para pemain rokok ilegal ke depannya. Tetapi apa yang terjadi? 

Pengawasan yang dilakukan Kementerian Keuangan terlihat lembek, seolah tak berdaya berhadapan dengan peredaran rokok ilegal yang terjadi di depan rumah. Pengungkapan hanya menampilkan seremonial pemusnahan barang bukti, tanpa upaya mengamankan keuangan negara secara total, mengusut kasus sampai kepada pengusahanya, siapa pemodal di belakangnya. 

Atau, jangan-jangan para pengusaha rokok ilegal, yang sebenarnya benihnya telah ada dan terlihat oleh Kementerian Keuangan dan pejabat bea cukai di daerah, dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya diri oleh oknum-oknum di Kementerian Keuangan. 

Saya juga tidak tahu… 

***

Melihat besaran aliran dana yang dilaporkan oleh PPATK dan disebutkan oleh Mahfud MD, saya hanya bisa menduga kalau muncul oknum-oknum di lingkungan Kementerian Keuangan yang bermain-main dengan pajak dan cukai rokok, sebuah industri yang menjadi sumber penghasilan besar buat negara dan nilainya selalu dinaikkan setiap tahunnya. 

Karena terdapat banyak celah yang bisa dimainkan oleh oknum-oknum di Kementerian Keuangan kepada pengusaha rokok ilegal. Kabar angin yang beredar di masyarakat sebagai berikut modus-modusnya: 

Satu, pelaku usaha rokok ilegal yang penting bayar upeti kalau ada operasi di lewati atau minimal di kasih info kalau mau ada operasi jadi minimal dia tidak produksi atau barang diumpetin dulu. Upeti diserahkan kepada salah satu pegawai yang dikenal kemudian disetorkan upeti ke para petinggi bea cukai. 

Kedua, ketika ada yang tertangkap saat operasi yang dibakar atau dimusnahkan  hanya sebagian kecil untuk, selebihnya dikembalikan ke yang punya dengan uang tebusan atau dijual ke orang lain (ada penampungnya / pemainnya).

Ketiga, hasil barang sitaan aset seperti mobil alat dll dilelang sendiri.

Keempat: Oknum main pita cukai rijek dijual kembali dengan harga murah. atas tindakan ini oknum melaporkan ke pusat pita cukai rusak telah dimusnahkan. 

Kelima: Oknum main pita cukai dengan memberi kuota besar ke yang punya modal dengan imbalan tips.

Keenam: Oknum main izin perusahaan, baik yang baru atau yang lama tetapi tidak sesuai aturan, misal ada pabrik di pemukiman penduduk, selama Si Bos bisa kasih upeti maka aman-aman saja dan perusahaan yang seperti ini biasanya perusahaan semi ilegal maksudnya ia memproduksi barang legal juga produksi barang ilegal dan bahkan menerima pesanan rokok orang lain atau merek lain yang ilegal.

Nah, Bu… informasi di atas hanya kabar angin yang lewat. Bila benar adanya, mohon ditindaklanjuti karena saya yakin masih banyak pekerja di lingkungan Kementerian Keuangan yang baik dan tulus mengabdi kepada negara. Juga tidak suka pamer kekayaan. 

Terakhir, Bu Sri… jangan lupa minum air putih dan istirahat yang cukup. 

Saya jadi ingat pesan kakek saya, “Urip ojo sepaneng nemen-nemen, nikmati. Koen kudu nemu cara rekreasi,” katanya sambil merokok di suatu sore. Artinya, hidup jangan dibuat tegang. Nikmati. Kamu perlu menemukan cara untuk kembali berkreasi. Entahlah, saya mengikuti kebiasaan kakek untuk relaksasi, dengan merokok.