Sejarah Cukai Rokok
Kehadiran kebijakan yang mengatur tentang rokok pertama kali hadir di era Belanda. Ketika itu terjadi momentum Depresi Ekonomi yang terjadi tahun 1930 yang mengakibatkan harga-harga produk perkebunan dunia merosot tajam di pasar internasional.
Akibatnya, krisis ekonomi juga dirasakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Banyak industri mesti menutup usahanya dan dinyatakan pailit.
Tak luput terkena krisis adalah industri rokok yang mulai merebak di tanah air dan diupayakan oleh kalangan pribumi serta pengusaha asing.
Dalam laporan Van der Reijden disebutkan di Kudus saja terdapat 165 pabrik yang beroperasi pada 1932. Produksi rokok jenis kretek pada tahun 1931 mencapai 6.422.500.000 batang. Selisih sedikit dengan rokok putih yang angka produksinya mencapai 7.100.000.000 batang per tahun.
Di era resesi tersebut pabrik-pabrik yang ada harus melakukan penghematan supaya bisa bertahan. Pengurangan kualitas dilakukan dengan mengurangi bahan baku tembakau dan cengkeh, termasuk di antaranya pengurangan tenaga kerja.
Tetapi, ada satu hal yang dilihat oleh pemerintah kolonial ketika zaman resesi tersebut yakni, industri rokok memiliki daya tahan tinggi untuk bertahan di masa krisis. Juga salah satu industri yang paling cepat bangkit.
Artinya, walaupun kualitasnya menurun tetapi rokok tetap mempunyai tempat tersendiri bagi penikmatnya sehingga tidak menurunkan daya beli.
Kealotan daya tahan industri rokok ini pun dicium sebagai pundi uang oleh pemerintah Belanda dijadikan target pajak. Lumayanlah sebagai salah satu pengganti pendapatan industri ekspor bahan mentah perkebunan yang mandeg.
Tak lama kemudian muncul Staatsblad Nomor 427 Tahun 1935 yang mengatur soal harga eceran minimum rokok putih, agar tak menekan industri rakyat kecil. Sejak saat itu rokok kretek pun dianggap sebagai komoditas unggulan yang mampu menyerap tenaga kerja dan menyumbang cukai untuk kas negara.
Tak lama kemudian menyusul Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, kemudian Staatsblad Nomor 560 Tahun 1932, dan terakhir Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang Tabaksaccijns Ordonantie (Ordonansi Cukai Tembakau).
“Semua peraturan tersebut itu mengatur soal pita cukai, bea ekspor, bea masuk impor. Termasuk di dalamnya ketentuan mengenai besaran jumlah yang diterima pemerintah dari pungutan cukai itu,” tulis Gugun El Guyanie, dkk dalam Ironi Cukai Tembakau.
Arti Cukai Rokok
Dalam sejarah singkat di atas tentang asal muasal pungutan cukai tersebut, dapat dilihat kejelian pemerintah kolonial Belanda melihat daya tahan rokok sebagai produk yang tahan terhadap resesi.
Meskipun kualitasnya berkurang pun tak mengurangi minat dari penggemarnya untuk berhenti merokok. Dengan begitu pula, pabrikan-pabrikan yang tersebar di berbagai daerah dengan cepat keluar dari krisis ekonomi. Daerah-daerah penghasil tembakau sebagai bahan baku utama rokok kretek pun ikut terimbas positif.
Demikian pula dengan cengkeh sebagai komoditas endemik Indonesia yang pernah jaya kembali menemukan nilai manfaatnya dengan munculnya rokok kretek. Hingga di berbagai daerah pun kembali ramai-ramai membudidayakannya.
Hal ini yang membuat pemerintah kolonial menjadikan rokok sebagai salah satu ramuan mujarab untuk memperbaiki kas negara yang amburadul akibat Resesi Ekonomi.
Di era pasca kemerdekaan pun kebijakan ini dipertahankan karena tetap dianggap memberikan sumber pendapatan bagi kas negara dan membuat roda perekonomian berputar. Bahkan industri rokok tanah air didorong untuk berkembang hingga pertumbuhan pesat industri kretek terjadi padi dekade 1970 s.d. 1980-an.
Tarif Cukai Makin Tinggi dari Tahun Ke Tahun
Perubahaan atas cara pandang terhadap rokok mengalami perubahan besar setelah Presiden Susilo Yudhoyono menandatangani PP No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau.
Sebelum peraturan tersebut disahkan, sejumlah stakeholder pertembakauan sudah menentang karena membuat banyak ketentuan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yakni wadah hukum internasional dalam pengendalian tembakau.
Atas ketidaksetujuan tersebut, puluhan ribu petani tembakau dari berbagai daerah di Indonesia datang ke Jakarta untuk menyampaikan ketidaksetujuan atas disahkannya PP No 109 itu.
Yang terjadi setelah disahkannya PP No. 109 Tahun 2012 paradigma cukai rokok pun bergeser dengan menitiktekankan pendapatan negara.
Di era ini, dengan berbagai alasan kesehatan menjadi tameng bagi pemerintah untuk selalu menaikkan tarif cukai. Peran perekonomian yang berdampak luas dari sektor hulu dan hilir dikesampingkan. Demikian juga kemampuan daya beli konsumen pun tidak menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah.
Dampaknya, industri rokok yang dahulunya menjadi komoditas unggulan dan terbukti mampu bertahan melewati berbagai krisis ekonomi, dari depresi ekonomi tahun 1930 hingga krisis moneter tahun 1998, ternyata tak mampu bertahan berhadapan sifat rakus pemerintah yang menaikkan cukai secara serampangan.
Data terakhir tahun 2022, dalam 10 tahun terakhir kenaikan tarif cukai rokok terjadi secara signifikan di semua golongan. Kenaikan harga rokok jenis SKM dan SPM golongan 1 mengalami perubahan harga hingga 168%. Sedangkan golongan 2 mengalami perubahan hingga 247%.
Sehingga komposisi harga rokok menjadi tidak masuk akal karena komponen pajak dan cukai rokok mencapai besaran 78% dari harga seharusnya. Misal harga jual Rp30,000, maka besaran pungutan pajak dan cukai mencapai nilai Rp23,400. Artinya sisanya sebesar Rp6.600 yang masuk ke pabrik untuk biaya bahan baku, pekerja, pemasaran dan iklan, juga laba perusahaan rokok.
Hal ini membuat jumlah pabrik rokok berguguran. Demikian pula luasan tanam tembakau makin menyempit. Juga pada akhirnya mengancam serapan cengkeh yang utamanya dibudidayakan di Indonesia Timur. Padahal sebagai komoditas endemik Nusantara 96% serapan cengkeh dimanfaatkan oleh industri rokok kretek.
Karut-marutnya tata kelola industri rokok di era ini dapat dilihat pula dengan peredaran rokok ilegal yang tumbuh subur. Bahkan, nyaris para pengusaha rokok ilegal tidak bisa dibekuk oleh pejabat bea cukai. Entah karena apa…