Dalam rentang tahun 2020 hingga kini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selalu menaikkan tarif cukai rokok tarif cukai rokok. Yang terbaru, pada akhir 2022, menaikkannya dua tahun berturut-turut (2023 dan 2024) sebesar 10%. Dengan demikian, naiknya cukai rokok berdampak pada inflasi.
Mengapa demikian?
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono mengungkapkan bahwa dalam data historis, ketika pemerintah memutuskan kebijakan dengan menaikkan cukai rokok, akan memberikan pengaruh inflasi yang tidak hanya pada awal bulan melainkan pada bulan-bulan berikutnya.
Tentu saja ini menjadi pertanyaan dalam benak perokok. Sudah tahu bahwa kenaikan tarif cukai rokok akan berdampak pada inflasi, mengapa hal tersebut selalu dilakukan tiap tahun?
Rokok dan Inflasi Tidak Ada Hubungannya
Kenaikan tarif cukai rokok jelas akan membuat perusahaan rokok mau tidak mau akan menaikkan harga rokok secara perlahan. Ini tentu akan membuat dilemma bagi perusahaan rokok. Di satu sisi, harus menaikkan harga agar tidak menggerus biaya produksi. Namun, di satu sisi, mereka harus bersiap ditinggalkan konsumennya.
Data dari Kemenkeu menunjukkan bahwa terjadi penurunan volume produksi rokok dari 334,8 miliar batang menjadi 323,9 miliar batang pada 2022. Jumlah tersebut menurun sebesar 3,26%.
Meskipun, target penerimaan cukai rokok tumbuh sebesar 15,8%. Jika pada 2021 hanya Rp188,81 triliun, 2022 mencapai Rp218,62 triliun. Bahkan, pada 2022 melampaui target pemerintah karena pemerintah hanya memiliki target sebesar Rp209,91 triliun.
Seperti terjadi ambivalensi, ya. Produksi rokok menurun, tetapi target penerimaan cukai rokok melebihi target. Maka, pemerintah pun percaya diri untuk tetap menaikkan tarif cukai rokok tiap tahun.
Padahal, seperti yang telah dijelaskan oleh Margo Yuwono, inflasi terhadap rokok akan awet sepanjang tahun. Ia mencontohkan pada 2021 yang mana kenaikan harga rokok terjadi sepanjang tahun.
Anehnya, kenaikan harga rokok tidak berdampak pada kebutuhan lainnya. Bandingkan dengan kenaikan harga BBM yang otomatis jelas meningkatkan harga kebutuhan pokok lainnya (beras, minuman, dan makanan lainnya). Semestinya rokok tidak masuk ke dalam bagian penyebab inflasi.
Rokok adalah Barang Utilitas
Dalam teori konsumen konvensional terdapat konsep utilitas. Konsep ini menekankan bahwa konsumen mendapatkan “kepuasan” apabila menggunakan komoditas tersebut. Namun, kata kepuasan cenderung subjektif.
Contohnya rokok. Apabila ada konsumen yang ketagihan merokok maka rokok memiliki nilai utilitas yang tinggi. Sedangkan ada konsumen yang hanya mengisap sebatang saja bahkan enggan untuk mengisapnya maka dapat dikatakan bahwa nilai utilitas rokok menjadi negatif.
Nah, dari penjelasan di atas menunjukkan sebenarnya rokok adalah benda utilitas, bukan kebutuhan yang harus hadir untuk manusia. Bandingkan dengan beras, cabai merah, bawang merah, dan bawang putih yang memang menjadi kebutuhan manusia. Bahkan, kebutuhan tersebut hadir setiap saat. Tanpa terkecuali.
Rokok berulangkali disalahkan sebagai penyebab inflasi. Bahkan, selalu diberitakan bahwa rokok adalah penyumbang inflasi ketiga hingga kedua di sebagian besar wilayah Indonesia.
Sudut pandang sebagai benda yang paling sering dikonsumsi adalah penyebab rokok menjadi bagian dari inflasi. Apabila melihat sudut pandang lain yaitu rokok sebagai benda utilitas, bukan kebutuhan, semestinya rokok tidak termasuk dalam urutan penyebab inflasi.
Ingat, orang berhenti merokok karena kesadaran diri sendiri. Bukan dorongan dari orang lain apalagi paksaan. Sudah semestinya, pemerintah lebih adil dalam membingkai cerita dan berita mengenai rokok. Ingat, lebih dari 11% penerimaan negara disumbangkan oleh cukai rokok. Jadi, tidak hanya lebih adil dalam mengelola berita melainkan juga membuat kebijakan yang tepat, khususnya terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT).