Rokok dengan cukai palsu semakin marak di pasaran. Modus baru rokok ilegal ini tentu akan membuat Bea Cukai semakin pusing.
Seorang teman dengan bangganya menunjukkan saya sebuah merek rokok ilegal yang menurutnya memiliki citarasa enak dibanding merek-merek lain. Merek yang dibawanya ini kono laku keras di Jawa Timur. Rokok ilegal ini jenis SKM Full Flavour dengan warna dominan hitam, harga pasarannya berkisar 10-12 ribu dengan isi 16 batang, hebatnya, rasanya mirip dengan Aspro atau Gudang Baru.
Setelah memperhatikan kemasannya secara teliti, saya kemudian menemukan pita cukai yang janggal. Tertulis di pitanya rokok ini adalah SKT atau sigaret kretek tangan, harganya 7000 rupiah, dan di cukai tertulis tahun 2021, padahal saya mencobanya di akhir tahun 2022, di mana kampanye rokok ilegal dari berbagai institusi pemerintah dan pihak terkait sudah sangat masif dengan mengusung narasi-narasi tegas, kejam, tidak pandang bulu dan berani. Narasinya saja seperti itu.
Padahal kalau kalian perhatikan, di akhir tahun 2022, masih banyak sekali konsumen dan penjual yang tenang-tenang saja menghisap serta menjual rokok ilegal, yang awalnya hanya beredar di Kabupaten-kabupaten atau kota kedua, kini sudah menjalar ke Kota-kota besar. Sebut saja kota tempat saya tinggal sekarang; yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rokok ilegal itu beredar di sini bukan karena targetnya adalah masyarakat dengan upah rendah di DIY, tapi DIY juga salah satu daerah yang kesadaran pembeli rokoknya masih kurang baik, tentu dengan berbagai alasan, sehingga jalur distribusinya termasuk salah satu yang diincar produsen untuk dikuasai, dan aparat terkait, khususnya Bea Cukai juga belum terlihat seganas di daerah Batam atau Sumatera.
Garangnya Bea Cukai memang bisa ditemui di semua bandara di Indonesia yang membuka jalur penerbangan internasional melakukan pengawasan ketat, sampai-sampai dibuatkan acara TV, mirip seperti acara TV luar negeri, sehingga terlihat tegasnya kerja pegawai Bea Cukai. Bedanya, dugaan atau kasus korupsi dan permainan Bea Cukai luar negeri tidak sebesar Indonesia.
Tapi kalau harus menyambangi warung-warung kecil, mendatangi tongkrongan warung kopi lalu mengawasi pengunjung sampai razia model serta metode khusus rasanya belum pernah dan tidak akan terjadi dalam waktu dekat di DIY. Beliau-beliau di Ditjen Bea Cukai masih sangat sibuk mengembalikan citra institusi hingga saat tulisan ini dibuat.
Sekitar 1-2 minggu lalu mungkin kalian pernah melihat bahwa beberapa oknum Bea Cukai diduga melakukan kecurangan demi menumpuk kekayaan pribadi. Mulai dari dugaan memalsukan pajak barang yang sebagian masuk ke kantong pribadi hingga dugaan suap antara pihak Bea Cukai dan salah satu produsen rokok ilegal di Jawa Timur.
Kalau mau melihat jauh ke belakang di era Soeharto, Institusi ini sempat menjadi sorotan Presiden kedua Republik Indonesia, Pak Harto menilai Bea Cukai sebagai institusi pungli di era-nya. Dan ini sempat menjadi pemberitaan di beberapa media besar, yang menyebut Pak Harto sempat naik pitam terhadap Institusi itu.
Saat itu ribuan pegawainya pun dirumahkan untuk sementara. Pihak-pihak yang ikut terkait dengan praktek pungli Bea Cukai benar-benar dibuat mati kutu. Tak berhenti sampai di situ, lantaran sudah kadung berang, Soeharto bahkan mempreteli kewenangan Bea Cukai untuk kemudian mengalihkannya ke PT Surveyor Indonesia.
Seakan tidak kapok dan berhenti di Era Soeharto, Lalu sekitar tahun 2000 an awal ada dugaan manipulasi bea masuk (BM) beras impor ilegal 60 ribu ton dari Vietnam bernilai Rp 27 miliar. Lalu kemudian Kejagung mengantongi calon tersangka baru yang juga mantan pejabat Ditjen Bea Cukai. Walaupun mantan, tetap saja, alumni Institusi.
Lalu baru-baru ini sebuah kelompok yang mengaku Pegawai Millenial Bea Cukai membuat riuh media sosial karena mereka membuat surat terbuka kepada publik terkait adanya pelanggaran di lembaga keuangan itu, dalam surat itu mereka yang menyebutkan bobroknya tata laksana Bea Cukai, dan sebagian besar pegawai pun sudah mengerti tentang hal itu, tapi karena alasan pangkat rendah dan tidak mampu menjadi “Whistle Blower” mereka hanya berdiam diri, menunggu waktu yang tepat.
Dari beberapa persoalan tadi tentu kita juga akan menemukan berita positif mengenai Bea Cukai kalau mencari kata kunci Bea Cukai dan Rokok di Google. Kisah-kisah tentang penangkapan penyelundupan rokok ilegal, menyita ribuan pita cukai rokok palsu, aksi menggagalkan peredaran rokok ilegal di beberapa tempat dan penyitaan barang bukti.
Tapi, sebagian besar hasil pencarian di halaman pertama Google itu berasal dari situs resmi Bea Cukai dan beberapa artikel muncul dari situs resmi Kemenkeu. Entah karena memang tulisan mereka paling banyak dibaca kalau mencari kata kunci itu atau ini hanya “Praktik SEO” yang dikerjakan Bea Cukai agar berita positif bisa berimbang dengan berita negatif di media sosial? Dan apakah berita itu sesuai dengan fakta di lapangan?.
Saya, saat ini, percaya betul bahwa sebagian kecil pegawai Bea Cukai berusaha keras melaksanakan tugasnya dan bekerjasama dengan beberapa pihak untuk benar-benar bekerja secara jujur, salah satunya pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal dan penggunaan pita cukai palsu di produknya. Sebagian kecil pegawai Bea Cukai ini juga sedang kelelahan, bahkan nyaris hopeless melihat rekan se-Institusinya yang berulah dan tidak peduli dengan kerja jujur sebagian pegawai Bea Cukai.
Kalau melihat jejak institusi ini sejak era Presiden RI kedua, maka wajar kalau Ditjen Bea Cukai masih belum akan mendapatkan kepercayaan masyarakat hingga 2-3 tahun ke depan. Ini “lahan basah” yang tentu akan menjadi area paling nikmat untuk “bermain-main”, terlebih keseriusan sebagian kecil pegawai tadi tidak akan dianggap sebagai ancaman masa depan para pemain kotor yang masih tersisa di dalam institusi ini.
Kemenkeu, Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai menjadi pihak yang seharusnya bersih dari segala kecurangan agar persoalan seperti peredaran rokok ilegal yang masih menjadi masalah besar saat ini bisa segera terselesaikan, tidak hanya permukaan, tapi sampai ke akar dan yang terlibat di dalam produksi dan peredaran.
Karena banyaknya kasus kecurangan itu akhirnya fakta mengenai penanganan rokok ilegal seakan sia-sia, yang muncul di mata masyarakat saat ini adalah; apabila ada penyitaan 100 dus berisi rokok ilegal, apa yang dilakukan selanjutnya setelah operasi tangkap tangan? Berdamai lalu memperingatkan? Adakah tindak lanjut secara hukum, yang tegas tanpa menimbulkan dugaan suap oleh produsen rokok ilegal kepada pegawai Bea Cukai?.
Apakah benar dugaan masyarakat tentang peredaran rokok ilegal serta permainan pita cukai palsu ini didukung juga oleh kecurangan yang dilakukan pegawai Bea Cukai? Entahlah. Rasanya optimisme saya selama 1-2 tahun ini melihat kerja Bea Cukai yang sungguh-sungguh membantu memberantas rokok ilegal mendadak menguap.
Kasus pita cukai palsu yang menempel di rokok ilegal tetap menimbulkan pertanyaan demi pertanyaan, apakah Ditjen Bea Cukai sebenarnya tahu tapi tidak mampu berbuat apa-apa? Alasannya apa?
Sebelum itu, persoalan produsen rokok ilegal tak kunjung selesai, peredaran yang makin masif, ditambah dugaan suap dari produsen rokok ilegal terhadap oknum Bea Cukai. Apakah institusi ini akan menyusul beberapa institusi negara yang lain, yang sudah minim kepercayaan masyarakat tentang kinerja mereka selama puluhan tahun?
Dari banyaknya contoh kasus dan tanda tanya besar tentang kinerja Ditjen Bea Cukai, kalian, atau saya bisa menyimpulkan, bahwa mungkin kinerja yang dimaksud adalah; hikmah kenaikan cukai rokok memunculkan banyak lubang keuntungan; permintaan pasar yang tinggi terhadap rokok ilegal, para vendor nakal yang juga mendapat kesempatan untuk mendapat keuntungan dari proses produksi rokok ilegal serta oknum aparat yang tentu menemukan celah agar pundi-pundi uang bermunculan dan cinta tidak bertepuk sebelah tangan.