rokok ilegal
OPINI

Rokok Legal Dicekik, yang Ilegal Disayang

Bila ada bisnis yang bikin cepat kaya raya sehingga mampu membeli apa saja, termasuk pejabat, ialah bisnis rokok ilegal

Loyalitas konsumen rokok terhadap aktivitas merokok memang bisa dibilang tinggi. Hal ini yang membuat sejak dahulu kala rokok senantiasa dijadikan sumber pendapatan negara. 

Usut punya usut, kecenderungan loyal terhadap rokok telah membuat perekonomian lokal bergerak. Pabrik-pabrik  rokok yang menyiasati resesi ekonomi dunia dengan penghematan bahan baku agar biaya tetap rendah tetap dibeli oleh konsumen. Dibandingkan dengan industri lain, industri rokok terbilang cepat pulih. 

Melihat kondisi tersebut pemerintah kolonial maka muncul pemikiran untuk menjadikan industri rokok sebagai pundi emas untuk mengisi kas negara yang kering akibat resesi ekonomi di tahun 1930-an.

Tak lama kemudian muncullah kebijakan pengaturan tentang industri rokok. Termasuk di antaranya soal bea ekspor, bea masuk impor, dan soal pita cukai. Besaran pengutipan yang harus disetorkan kepada negara juga diatur. 

Cara Kolonial Diadopsi Sri Mulyani 

Cara berpikir untuk menjadikan industri rokok sebagai sumber pendapatan negara berlanjut ketika Indonesia Merdeka. Namun, belakangan semakin brutal tanpa mempertimbangkan kelanjutan industri rokok dan menjaga mata rantai produksi yang menggunakan bahan baku lokal serta tenaga dari orang Indonesia sendiri. 

Faktanya, negara terus menaikkan tarif cukai dengan progresif tanpa peduli keberlanjutan industri rokok. 

Sejak 2015 sampai 2022 pemerintah era Jokowi, dalam hal ini Sri Mulyani Indrawati sebagai pemegang kebijakannya, telah menaikkan tarif cukai sebesar 86,69%. 

Secara lebih rinci pada 2015 pemerintah menaikkan tarif cukai rokok 8,72%, pada 2016, 2017, dan 2018 masing-masing sebesar 11,19%, 10,54%, dan 10,4%. 

Pada 2019 tarif cukai tidak dinaikkan karena suara para pekerja yang terlibat dalam industri rokok perlu diambil hatinya sekaligus dibutuhkan dalam pemilu. Jutaan petani tembakau, cengkeh, pabrik, dan industri yang terkait dengan rokok menjadi sangat penting di sini, maka perlu diberi kelonggaran. 

Setahun kemudian, rapel. Tahun 2020 tarif cukai dinaikkan sebesar 23%. Tahun 2021, 2022, dan 2023 sebesar 12,5%, 12%, dan 10%. 

Berhenti Beli Rokok Legal

bea cukai menyita rokok ilegal

Kenaikan tarif cukai yang terjadi di atas kewajaran tersebut membuat harga rokok melambung tinggi dan tidak terbeli oleh konsumen.

Tetapi, konsumen rokok bukan berarti menghentikan aktivitas pengusir stres ini. Yang dilakukan oleh para rokok ialah menghentikan membeli rokok legal. Ia mencari produk subtitusi rokok dengan membeli tembakau sendiri dan meraciknya, berpindah ke rokok legal yang lebih murah, dan membeli rokok ilegal tanpa dikenai pungutan cukai. Cara lebih ekstrim lagi dengan menanam tembakau sendiri tetapi jarang dipilih. 

Maka, belakangan di berbagai daerah pun menjamur toko tembakau sebagai konsekuensi dari kebijakan tarif cukai yang mencekik. 

Itu yang terlihat. Yang tidak terlihat dan menjadi momok menakutkan bagi keuangan negara dan menggerogoti pabrik rokok resmi yang menjalankan usaha dengan legal yakni keberadaan rokok ilegal. 

Jumlahnya tidak diketahui pasti berapa produksi rokok ilegal, namun secara nyata membuat pabrik-pabrik yang bergerak secara legal kehilangan pendapatannya. 

Data resmi Kementerian Keuangan juga menunjukkan terjadi penurunan produksi rokok. Pada 2019 mencapai 356,6 miliar batang. Pada 2021 sebanyak 334,8 miliar batang. Penurunan terjadi juga pada 2022, perkiraan penurunan signifikan bahkan diperkirakan akan terjadi mulai 2023. 

Jumlah pabrikan yang beroperasi juga mengalami penurunan. Bila pada 2007 sebanyak 4.793 pabrik rokok sedangkan pada 2021 hanya tersisa 1.003 pabrik rokok. 

Kabar dari pabrikan, di mana sejumlah pabrik besar mengalami penurunan pendapatan. Gudang garam pada 9 bulan pertama di tahun 2022 mencatatkan laba bersih sebesar Rp1,497 triliun atau anjlok 63,7% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yakni Rp4,134 triliun. Penurunan yang sama terjadi di pabrik-pabrik sejenis PT HM Sampoerna yang kini menjadi milik Philip Morris International serta Bentoel juga mengalami nasib serupa. 

Angka-angka di atas barangkali disambut bahagia oleh rezim kesehatan yang mendorong turunnya jumlah perokok di Indonesia. Bahwa formulasi untuk menghentikan orang merokok berhasil dengan menerapkan tarif cukai tinggi.

Jebakan Angka

Tren penurunan dari kinerja industri rokok terlihat dari angka-angka di atas, baik dari segi jumlah produksi, jumlah pabrik, dan laba bersih yang diterima oleh pabrikan rokok. 

Yang mengalami tren kenaikan dari tahun ke tahun meskipun jumlah rokok yang diproduksi semakin sedikit ialah pendapatan negara dari rokok (cukai hasil tembakau). Pada tahun 2014 pendapatan cukai hasil tembakau sebesar Rp139,12 triliun menjadi Rp218,62 triliun pada 2022. 

Penyebab dari kenaikan cukai hasil tembakau ini dikarenakan kebijakan tarif cukai yang progresif tetapi di sisi lain justru menghancurkan industri rokok yang menjadi sokoguru perekonomian nasional. 

Selama ratusan tahun industri rokok berkembang perlahan-lahan, terus memperbaiki diri sehingga mampu menggantikan raja di negeri sendiri dengan mengalahkan industri rokok putih yang juga diminati. 

Penyerapan bahan baku lokal melalui tembakau dan cengkeh membuat roda perekonomian berkembang sampai desa-desa. Tembakau di Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan budidaya cengkeh menyebar dari Aceh hingga Papua dan menjadi komoditas penting di Indonesia Timur. 

Di sektor hilir, konsumen lokal dari penduduk Indonesia membuat industri rokok senantiasa bisa bertahan dari krisis ke krisis. 

Tetapi, kebijakan cukai yang diketok oleh Sri Mulyani justru menjadi tiang gantungan bagi industri rokok yang bergerak ilegal. Data-data tren penurunan di atas adalah pergerakan rokok resmi yang beredar di pasaran. 

Sedangkan rokok ilegal justru mendapat celah untuk berkembang pesat dengan kenaikan cukai yang brutal. Kita tidak bisa mengetahui datanya secara pasti, yang kita tahu rokok ilegal mudah ditemui tidak hanya daerah pedalaman saja tetapi juga di kota-kota dan ditawarkan secara terbuka di marketplace dan media sosial. 

Di sini pertanyaannya, mengapa kita tidak berpikir bila tren penurunan produksi rokok, jumlah pabrik, dan pendapatan dari pabrik rokok yang terjun bebas sebenarnya tidak menguap, melainkan diambil alih oleh rokok ilegal? 

Bila benar asumsi tersebut, produksi rokok ilegal telah menyamai atau bahkan melebihi jumlah produksi peringkat teratas pabrik rokok terbesar yang ada di Indonesia. Entah itu Gudang Garam atau Sampoerna. 

Rokok Menjadi Bisnis Negara

Dengan kebijakan tarif cukai yang baru, menambah beban biaya yang harus ditanggung oleh konsumen bila membeli rokok yang legal. Selain cukai hasil tembakau yang besarannya mencapai 57% dari harga rokok, konsumen juga dibebani oleh pajak rokok yang besarannya sebesar 10% dari tarif cukai, PPN yang besarnya 9.1% dari harga rokok, serta PPh Badan sebesar 2,5% dari total profit. 

Secara keseluruhan porsi dari pendapatan dari sebungkus rokok, 78% masuk ke kas negara. Sedangkan sebesar 22% masuk ke perusahaan rokok yang menanggung biaya bahan baku, upah dan tenaga kerja, biaya iklan, distribusi, dan margin profit perusahaan. 

Secara tidak langsung, pabrik rokok menjadi bisnis yang memberikan pemasukan besar bagi negara. Dengan peraturan yang dirancang dengan demikian rupa membuat perusahaan-perusahaan rokok secara berkelanjutan menjadi lumbung rupiah bagi negara. Seperti BUMN saja. 

Namun, di sini pemerintah tidak perlu menginvestasikan modal, capek-capek memproduksi, berpikir untuk beriklan, dan tidak terkena imbas apabila mengalami kerugian. 

Pendapatan itu disetorkan semua pabrikan yang bergerak secara resmi secara berkesinambungan. Angkanya juga semakin besar dari tahun ke tahun. 

Sedangkan dari sisi pabrikan sendiri mengalami degradasi tidak hanya dari segi pendapatan, pikiran mereka harus bekerja keras untuk membuat rokok dengan harga paling murah meski menurunkan kualitas dengan mengurangi bahan baku. Untuk iklan pun sangat terbatas dengan berbagai batasan. 

Cara-cara demikian harus dilakukan pabrikan agar bisa bertahan, supaya dengan marjin 22% saja dari harga sebungkus rokok mereka masih bisa mendapatkan pendapatan. 

Rokok Ilegal Tumbuh Subur

contoh merek rokok ilegal

Kenaikan cukai yang terjadi secara progresif membuat peluang bagi tumbuh suburnya bisnis rokok ilegal. Hal ini adalah konsekuensi dari arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah. 

Dengan komponen penentu harga dari sebungkus rokok yang beredar secara legal di Indonesia, 78% yang masuk ke kas negara sudah menjadi nilai lebih bagi keberadaan rokok ilegal. 

Sebab, salah satu yang dipangkas dari keberadaan rokok ilegal adalah setoran ke negara. Tanpa adanya cukai dan komponen pajak harga rokok yang dijual Rp 25 ribu, maka harga riilnya senilai Rp 5.500 semata. 

Menarik kan? 

Bagi pebisnis rokok ilegal sebenarnya cukup mengejar harga riil saja. Mengingat konsumen rokok tidak lagi mampu membeli rokok legal yang beredar luas. 

Sedangkan rokok menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan. Sama seperti orang membutuhkan aktivitas menyenangkan yang membuat relaksasi dan menghindari stres entah itu dengan jalan-jalan ke tempat wisata, menikmati kopi dan teh, ke mal, dan lain sebagainya.

Yang dibutuhkan konsumen adalah rokok dengan harga lebih murah. 

Dengan begini, rokok ilegal pun laku keras di pasaran karena menjadi salah satu alternatif bagi perokok di tengah kenaikan harga rokok yang terjadi. Tak perlu iklan pun rokok ilegal sudah dicari oleh konsumen. 

Dari segi bahan baku pun, rokok ilegal telah mengambil tembakau dan cengkeh dengan harga terendah. Sedangkan, untuk tempat pengolahan meskipun harus sembunyi-sembunyi juga relatif lebih mudah daripada membuat pabrik legal yang harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah. 

Apalagi di era sekarang dengan perkembangan teknologi yang pesat, membuat rokok sigaret kretek mesin relatif tidaklah sulit. 

Tindakan Negara?

Konsekuensi dari kenaikan tarif cukai hasil tembakau ialah maraknya peredaran rokok ilegal diakui juga oleh Sri Mulyani. 

Dari keterangan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja Menteri Keuangan Bersama Komisi XI DPR di Gedung DPR/MPR/DPR, Jakarta Senin 5 September 2022. 

Dari total penindakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hingga semester 1-2022 ini sebanyak 2,26 juta kasus lebih dari setengahnya adalah perkara hasil tembakau. Secara rinci nilainya mencapai 58,24% dari keseluruhan kasus. 

Tetapi angka itu tidak menunjukkan apa pun, selain hanya angka barang sitaan yang berhasil dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Tidak membuktikan bahwa ada ‘perang’ yang dilakukan negara terhadap rokok ilegal sehingga banyak pabrik rokok ilegal tutup (atau berganti legal) dan sejumlah pengusaha yang menjalankan bisnis gelap itu ditangkap. 

Yang kerap dipertontonkan adalah pemusnahan rokok sitaan dan paling banter operasi tangkap tangan. 

Sedangkan, produksi rokok ilegal masih berlanjut. Para pengusahanya pun masih bebas berkeliaran, barangkali juga plesir ke tempat terpencil nan indah dengan mengendarai mobil mewah atau moge mahal, sambil berpikir cara pemasaran lebih aman. 

Makin ke sini, merek rokok ilegal yang beredar makin beragam yang menandakan bisnis ini mempunyai banyak peminat.

Barangkali, para pemain baru ini berdatangan karena mendengar kisah sukses para pendahulunya. Yang konon katanya, dengan bisnis rokok ilegal mampu membuat orang cepat kaya raya, punya duit banyak sehingga sampai mampu membeli apa saja, termasuk pejabat dan hukum.