pajak rokok untuk bpjs
OPINI

Tak Ada Pajak Rokok, Tak Ada pula Jaminan Kesehatan

Pajak rokok menjadi penyelamat kepusingan orang-orang kesehatan atas selalu boncosnya BPJS Kesehatan.

Rokok, yang acap kali dituding sebagai penyebab tunggal manusia kehilangan hak sehat, justru menjadi juru selamat karena sebagai penyokong jaminan kesehatan. 

Penerimaan cukai rokok yang selalu melampaui target dari awal hingga kini, menjadi cuan yang lezat bagi pemerintah, khususnya program jaminan kesehatan. 

Dari cukai, turunannya adalah pajak rokok. Sejak tahun 2009, pajak ini berfungsi untuk mendukung program jaminan kesehatan. 

Dalam pasal 31 yang tercantum dalam UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terdapat penjelasan bahwa penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. 

cukai pajak rokok

Dalam pelayanan kesehatan masyarakat terdapat empat poin khusus yaitu:

  1. Pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan masyarakat.
  2. Penyediaan smoking area.
  3. Aktivitas masyarakat tentang bahaya merokok.
  4. Iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok.

Jadi, pajak besar yang dipungut dari rokok ternyata berfungsi untuk kampanye bahaya merokok. Sesuatu yang positif (karena mendapat uang) digunakan untuk sesuatu yang berkebalikan (promosi iklan bahaya merokok).

Dukungan pajak dari rokok untuk jaminan kesehatan tidak berhenti sampai di peraturan tersebut. Pemerintah mengeluarkan Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang penjelasannya adalah memaksimalkan penggunaan earmark pajak rokok sebagai kontribusi daerah dalam mendukung Program Jaminan Kesehatan. 

Ada banyak pasal yang terkandung dalam perpres tersebut. Namun, dukungan tersebut secara implisit hadir dalam pasal 99 yaitu:

  1. Pemerintah Daerah wajib mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan.
  2. Dukungan Pemerintah Daerah dilakukan melalui:
  3. Peningkatan pencapaian peserta di wilayahnya.
  4. Kepatuhan pembayaran iuran.
  5. Peningkatan pelayanan kesehatan.
  6. Dukungan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam rangka menjamin kesinambungan program Jaminan Kesehatan.

Kata pajak rokok memang tidak tertera dalam pasal tersebut. Akan tetapi, dalam pasal 99 nomor 2d itulah dukungan hadir melalui pajak rokok yang mana hak masing-masing daerah provinsi/kabupaten/kota. 

Kemudian, dalam pasal 100 terdapat poin yang mencantumkan ketentuan dukungan pajak rokok untuk jaminan kesehatan yaitu:

  1. Besaran kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat 6 ditetapkan 75% dari 50% realisasi penerimaan pajak rokok bagian hak masing-masing daerah provinsi/kabupaten/kota.
  2. Kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 langsung dipotong dan dipindahbukukan ke rekening BPJS Kesehatan.
  3. Ketentuan lebih lanjut tentang kontribusi dan mekanisme pemotongan diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

Dari perpres itulah yang kemudian (lagi-lagi) pemerintah menerbitkan peraturan melalui menteri keuangan. PMK No. 128/PMK. 07/2018

Dalam pasal 9 yang tertuang dalam peraturan menteri keuangan terdapat penjelasan kontribusi pajak rokok yaitu nilai kewajiban daerah minimal 37,5% dari realisasi penerimaan pajak rokok, termasuk pemotongan yang telah dilakukan dan disetorkan ke rekening BPJS Kesehatan. 

Dari penjelasan di atas betapa pemerintah begitu terstruktur dan masif tentang bagaimana mengoptimalkan nilai yang tertuang dari pajak rokok untuk jaminan kesehatan, lebih khusus BPJS Kesehatan. 

Tidak hanya terstruktur melainkan begitu rinci dan detail dalam menentukan pemotongan pajak rokok. Betapa pajak rokok sangat di-dewa-kan untuk biaya kesehatan masyarakat Indonesia. 

Maka, akan sangat ganjil jika kita menemukan BPJS defisit sementara penerimaan negara melalui cukai rokok (yang di dalamnya terdapat pajak) melalui melampaui target. Ke mana dana pajak rokok yang seharusnya untuk pelayanan kesehatan? Apakah benar-benar optimal untuk pelayanan kesehatan atau kampanye antirokok?

Baca: Biang Masalah Defisit BPJS Memang Perokok

Semestinya pemerintah harus sadar bahwa dalam UU No. 28 Tahun 2009 belum sepenuhnya dilakukan, khususnya pasal 3 ayat 2 yaitu penyediaan smoking area

Jika begini caranya, sama saja pemerintah hanya mau cuan dari pajak rokok, tetapi enggan memanusiakan para perokok yang selalu setia menyumbangkan dana untuk pelayanan kesehatan.