Kehadiran Keppres Nomor 25 Tahun 2022 sudah jelas ingin membunuh Industri Hasil Tembakau (IHT) tanpa terkecuali.
Upaya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk membunuh Industri Hasil Tembakau (IHT) semakin gencar dan masif. Setelah sukses mendorong pemerintah untuk menaikkan cukai rokok, kali ini mendesaknya (lagi) untuk segera revisi PP 109/2012. Dan presiden pun menyambutnya dengan mengeluarkan Keppres Nomor 25 Tahun 2022.
Benarkah se-urgen itu bagi Presiden untuk mengeluarkan Keppres Nomor 25 Tahun 2022, yang salah satu dari 27 isinya adalah revisi PP 109/2012?
Jika alasannya adalah untuk menurunkan prevalensi perokok anak, alasan tersebut justru tidak relevan dengan data terbaru. Sebab, data terkini yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021 menyatakan bahwa jumlah perokok anak turun.
Dari tahun 2019 sebesar 3,87% menjadi 3,69% pada 2021. Ini data paling baru dan semestinya dijadikan acuan daripada data dari Riskesdas yang masih mencantumkan tahun 2018. Lalu, jika alasannya adalah untuk mengatur larangan iklan rokok. Tunggu dulu. Setiap iklan rokok telah mengikuti aturan yang ada di dalam PP tersebut. Semestinya penegakkan dan pengawasan lebih layak didahulukan ketimbang revisi.
Upaya pemerintah melalui keppres tersebut betul-betul membuat Industri Hasil Tembakau pantas khawatir. Memangnya apa saja usulan mereka terkait revisi PP 109/2012? Mari kita tinjau.
Keppres Nomor 25 Tahun 2022: Usulan Revisi PP 109/2012
Setidaknya ada tujuh usulan dari Kemenkes terkait revisi PP 109/2012 yaitu:
No | Kerangka Isu | Teks Usulan Revisi |
1 | Pictorial Health Warning | Pasal 17 ayat 4 huruf a dan b |
2 | Warna huruf dan tulisan info kesehatan | Pasal 17 ayat 4 huruf c, pasal 19, pasal 22, pasal 23 |
3 | Rokok elektronik | Penjelasan pasal 1 ayat 1 dan 2 |
4 | Iklan, promosi, sponsorship di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, media teknologi informasi |
|
5 | Larangan penjualan rokok batangan | Pasal 25 huruf d |
6 | Kawasan Tanpa Rokok (menghapus frasa mengiklankan dan mempromosikan) | Pasal 50 ayat 2 |
7 | Pengawasan | Pasal 25A dan 25B |
Pictorial Health Warning
Mereka menyasar kepada Pictorial Health Warning atau peringatan gambar kesehatan. Dalam pasal 17 ayat 4 huruf a dan b, disebutkan bahwa peringatan bagian depan dan belakang memiliki luas 40%.
Nah, rencana mereka adalah memperluas bagian tersebut menjadi 90%. Alasannya, selama ini orang-orang masih dengan mudah membeli rokok, khususnya anak-anak.
Padahal, isu tersebut seharusnya sudah mentah dan dapat terjawab karena jumlah perokok anak turun pada 2021. Jika ada rencana menurunkan volume produksi rokok, tentu saja mereka sudah berhasil. Bayangkan saja, dari tahun 2013 yang 346 miliar batang, pada tahun 2020 menciut menjadi 322 miliar batang.
Jadi, rencana usulan pertama semestinya GUGUR.
Warna Huruf dan Tulisan Info Kesehatan
Kedua, warna huruf dan info kesehatan. Jika mengacu teks usulan tersebut, sebenarnya ada rencana apa lagi, Kemenkes? Informasi terkait tar dan nikotin sudah ada di sisi kiri atau kanan dan informasi tidak ada batas aman juga telah tertuang di bungkus.
Jika ingin merevisi pasal 23, justru akan aneh. Semestinya pasal tersebut ditegakkan dan diimplementasikan saja. Kan, sudah jelas bahwa ada sanksi administratif bagi pelaku industri yang tidak mencantumkan informasi tar dan nikotin. Pun, jika tidak mencantumkannya, sudah jelas rokok ilegal dan harus ada penindakan.
Rokok Elektronik
Ini persoalan baru. Sebab, baru beberapa tahun terakhir rokok elektronik bergerak secara massif. Sampoerna dengan IQOS-nya dan BAT dengan VUSE-nya. Pada intinya, Kemenkes juga ingin memberikan aturan ketat terhadap rokok elektronik.
Iklan, promosi, sponsorship di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, media teknologi informasi
Usulan keempat ini yang paling kompleks karena menyangkut dua hal yaitu pengendalian dan pelarangan.
Ini unik. Kalo kamu membaca dengan saksama, sebenarnya sudah dijelaskan pada PP 109/2012 pasal 27 tentang iklan rokok meliputi pencantuman angka 18+, tidak mencantumkan nama produk, tidak menampilkan wujud atau bentuk rokok, dan lain sebagainya. Itu sudah dijalankan dan diterapkan.
Pasal 29 yang berkaitan dengan penayangan iklan rokok pada jam tertentu dari pukul 21.30 – 05.00 di media penyiaran, itu pun juga sudah dijalankan. Kalo alasannya masih banyak anak yang menonton iklan tersebut, semestinya pengawasan yang ditegakkan, bukan peraturannya yang direvisi.
Dalam pasal 31, jika direvisi, apa faedahnya? Industri rokok telah membayar pajak terkait pemasangan iklan tersebut. Pun, telah mengikuti aturan yang tersedia di pasal 27.
Andaikata tidak sesuai ketentuan dari a-d maka pasti pihak berwenang akan menurunkan iklan tersebut. Namun, justru akan kontraproduktif. Ada banyak warung kelontong yang bergantung dari penjualan rokok. Bahkan, tidak jarang banyak warung yang memberikan slogan “rokok, sembako, dan barang lainnya.”
Dengan demikian, masih banyak warung yang bergantung pada rokok dan itu terlihat iklan rokok yang tergantung di warung. Artinya, sama saja pemerintah menghambat perekonomian UMKM.
Pasal 38, sih, masih mengacu pada pasal 36 dan 37 terkait brand image. Pasal itu sebenarnya tinggal diterapkan dan diawasi pelaksanaannya daripada harus direvisi.
Larangan penjualan rokok batangan
Pasal 25. Revisi yang dimaksud dalam pasal ini adalah penambahan terkait larangan penjualan rokok eceran. Jelas-jelas ini menciderai para penjual angkringan atau warteg yang biasanya menyediakan penjualan rokok batang. Sebab, mereka justru lebih untung menjual rokok ecer daripada satu bungkus langsung.
Apakah maksud pemerintah adalah mematikan UMKM? Jika benar demikian, oh tentu saja pemerintah zalim kepada rakyat. Rokok batangan adalah strategi paling sederhana bagi perokok untuk merekatkan daya dukung sosial.
Kawasan Tanpa Rokok (menghapus frasa mengiklankan dan mempromosikan)
Pasal 50 ayat 2 adalah pasal yang lengkap karena terdapat frasa menjual, mengiklankan, mempromosikan. Namun, dua kata terakhir hendak dihapus. Ini namanya bukan pengendalian melainkan pelarangan. Padahal, sekali lagi, rokok itu barang legal. Lalu, apa sulitnya untuk melaksanakan dan menindak jika memang ada pelaku yang tidak sesuai daripada harus membuat aturan baru.
Pengawasan
Kuncinya adalah pengawasan dan penindakan. Namun, yang paling penting adalah penyuluhan serta edukasi. Industri Hasil Tembakau sudah melakukannya, dan salah satu contohnya ada di bungkus rokok.
Apakah itu masih kurang?
Keppres Nomor 25 Tahun 2022 Berupaya Mematikan IHT
Sejak 2012 hingga kini tercatat ada 446 regulasi yang mengatur tentang tembakau. Rinciannya, 400 khusus untuk pengendalian tembakau, 41 tentang cukai hasil tembakau, dan 5 untuk isu ekonomi atau kesejahteraan pelaku IHT.
Dari angka tersebut sudah jelas tidak ada keadilan yang benar-benar utuh bagi pelaku Industri Hasil Tembakau. Sudah jelas, patgulipat antara pemerintah dengan Kementerian Kesehatan melalui Keppres Nomor 25 Tahun 2022 ingin mematikan hajat hidup masyarakat Indonesia. Ini bukan lagi persekongkolan jahat melainkan ada hegemoni kuasa yang ingin membumihanguskan IHT.
Maka, hanya ada satu kalimat yang pantas menyudahi perdebatan ini: Tolak Revisi PP 109/2012.