Lonceng kematian terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT) kembali ditabuh oleh kaum anti-rokok. Jika sebelumnya mereka mendesak pemerintah untuk mempromosikan larangan menjual rokok batangan, kini mereka meminta pemerintah untuk melarang total iklan rokok tanpa terkecuali.
Sontak saja, seperti menabuh genderang perang, usulan larangan total iklan rokok menuai kecaman dari berbagai pihak. Salah satu pihak yang mengkritik usulan tersebut adalah Ketua Asosiasi Televisi Swasta Nasional (ATVSI), Syafril Nasution. Menurutnya, iklan rokok adalah penyumbang pendapatan terbesar iklan bagi televisi.
Data dari Nielsen pun menunjukkan besaran pendapatan televisi dari iklan rokok. Pada 2021, iklan rokok menyumbang pendapatan sebesar Rp9,1 Triliun pada 2021. Tahun 2022, pada semester I tercatat bahwa iklan rokok mampu menyumbang Rp4,5 Triliun.
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa kontribusi iklan rokok terhadap televisi sangat membantu pendapatan. Bahkan, tidak hanya dibantu dari segi pendapatan melainkan juga jumlah pekerja yang terlibat dalam pengerjaan iklan rokok. Setidaknya terdapat 725.000 pekerja yang mencari nafkah di dalam iklan tersebut.
Lalu, apa alasan sebenarnya di balik pelarangan total iklan rokok?
Menerka Alasan Pelarangan Total Iklan Rokok
Pedoman dasar tentang aturan iklan tersebut sebenarnya telah tertuang dalam PP 109/2012. Di pasal 27 telah tertulis bahwa iklan rokok tidak boleh menampilkan produk, tidak menayangkan wujud atau bentuk rokok, dan wajib mencantumkan angka 18+. Dari situ saja sudah klir bahwa iklan tersebut telah diatur sedemikian rupa agar tidak mengajak orang untuk merokok.
Kemudian, cek di pasal 29. Ini adalah pasal yang berkaitan dengan jam siaran. Silakan kamu cek saja. Adakah iklan tersebut yang tayang di luar pukul 21.30-05.00? Sependek pengetahuan dan pengalaman penulis saat menonton tayangan televisi, belum pernah ada. Jadi, di sini pun klir bahwa iklan tersebut telah mengikuti pedoman dasar.
Yang aneh justru ada keinginan dari kaum anti-rokok untuk merevisi pasal 31. Ini berkaitan dengan pemasangan baliho, umbul-umbul, dan semacamnya di luar ruangan. Penulis yakin para pengusaha serta pabrikan telah mengikuti aturan yang berlaku. Mulai dari tata cara pemasangan hingga ketentuan harus membayar pajak.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh, justru kehadiran spanduk tersebut bagi pedagang toko kelontong memberikan keuntungan. Tidak jarang banyak pedagang yang mencantumkan dengan jelas “Rokok, Sembako, dan Kebutuhan Sehari-hari”. Bahkan, tidak dapat dipungkiri bahwa rokok menjadi sumber pendapatan bagi para pedagang. Jika diatur lagi, ini sama saja pemerintah tidak ingin para pedagang tersebut menjadi sejahtera. Atau boleh dibilang pemerintah ingin mematikan UMKM.
Wacana Pelarangan yang Serampangan
Ini bukan pertama kalinya, kaum anti-rokok melakukan wacana tentang rokok. Sudah ratusan kali mereka mendengungkan bahwa perlu ada revisi PP 109/2012. Kali ini, yang disasar adalah iklan rokok. Perlu diketahui bahwa industri kreatif sedang dalam masa pemulihan akibat pandemi. Maka, sejatinya pemerintah perlu aktif untuk mendukung pemulihan industri kreatif.
Sayangnya, tampak hal tersebut diabaikan oleh pemerintah dan justru lebih menuruti kaum anti-rokok. Padahal para pekerja kreatif yang berhubungan dengan industri tembakau memiliki tanggung jawab besar. Mereka harus patuh dengan aturan yang tertuang sangat rinci dan detail dalam PP 109/2012.
Jika pemerintah selalu mengabaikan kontribusi industri hasil tembakau khususnya di dunia kreatif, barangkali pemerintah memang ingin berjalan di tempat saja. Tidak mau mendengar apa keluhan dari satu sisi dan lebih melaksanakan perintah dari kaum anti-rokok.