Mahalnya pita cukai rokok mengindikasikan lemahnya pengawasan dan penindakan rokok ilegal di Indonesia.
Suatu ketika, sejumlah petani asal Jember asik menikmati sebatang rokok ilegal dengan merek dan kemasan mirip Djarum Super MLD isi 20 batang.
Namanya saja sudah rokok ilegal, tentu harganya pun jauh lebih murah bagi petani, dibandingkan rokok legal dengan pita cukai yang mahal.
Harga rokok-rokok ilegal itu hanya Rp7.000 per bungkus. Bandingkan dengan rokok legal MLD yang sudah menyentuh harga di atas Rp 32.000 di tingkat toko kelontong.
Harga murah, rasa tak buruk-buruk amat, tentu jadi jalan produsen rokok ilegal menjadikan surga cuan dibalik mahalnya cukai rokok.
Namun, bila negara dalam hal ini Dirjen Bea dan Cukai berteriak kencang dengan slogan perangi rokok ilegal, tentu juga harus dipertanyakan, seberapa ketat pengawasan mereka?
Fakta di lapangan, rokok ilegal sangat mudah dijumpai. Mahalnya cukai rokok, sejatinya tidak membuat perokok tak ambil pusing dan legowo. Tembakau yang ditanam petani secara mandiri juga jadi alternatif yang tak kalah nikmat dan hemat.
Indonesia jadi salah satu negara dengan penghasil tembakau terbesar, namun harga rokok legal selangit. Lantas mengapa rokok ilegal dengan santai tetap berjajar mentereng di toko toko pelosok desa?
Tentu kamu sudah bisa menjawab. Lemahnya pengawasan bea cukai jadi salah satu semua praktik itu masih terjadi.
Sementara kebijakan kenaikan cukai rokok, sejatinya menjadi senjata makan tuan. Rokok mahal, jadi peluang bisnis menggiurkan bagi produsen rokok ilegal.
Bisnis dengan cuan besar ini tentu tidak mudah diberantas. Tingginya budaya korupsi di birokrasi Indonesia juga jadi salah satu pemicunya.
Terbaru, ketegasan yang terkesan setengah setengah seringkali tampil di lembaga Bea Cukai.
Pemberantasan rokok ilegal, seringkali hanya bersifat laporan, penyitaan produk dan penangkapan distributor. Bukan pelaku utama pembuatan rokok ilegal.
Contohnya, Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean C Madura Pamekasan, Jawa Timur, menjadi sorotan media massa.
Pada Selasa 11 April 2023, petugas Bea dan Cukai Madura hanya bisa mengamankan berang bukti rokok tanpa pita cukai merk Flash.
Namun sejumlah awak media dilarang mendokumentasikan bukti sitaan tersebut. Pihak bea dan cukai hanya menangkap sopir yang membawa satu truk tronton rokok ilegal tersebut.
Rokok ilegal yang rencananya dibawa ke luar wilayah Madura ini, tentu terang terangan melintas di jalan nasional yang dikerjakan dengan dana APBN.
Namun, 2,8 juta batang rokok tersebut hanya berakhir menjadi barang sitaan, dan terburu-buru disampaikan ke media.
Bila memang serius, dan menjadi kebanggaan, harusnya kantor Bea dan Cukai tangkap produsen rokok yang sudah jelas diketahui berasal dari Kecamatan Pasean Pamekasan. Supaya tidak memengaruhi mahalnya pita cukai.
Setelah berhasil menangkap dan menghentikan produsen rokok ilegal, baru memamerkan kinerja mereka ke media.
Lantas, masyarakat sebagai penikmat rokok legal dengan cukai mahal -dan menjadi pemasukan besar pajak untuk negara- tentu boleh berasumsi bahwa kinerja Kantor Bea dan Cukai masih lemah.
Atau mungkin sudah ada kesepakatan dibalik meja dengan produsen rokok ilegal, agar penindakan tidak dilanjutkan?