logo boleh merokok putih 2

Sajian Rokok Lebaran Adalah Budaya Khas Manusia Indonesia

sajian rokok lebaran

Sajian rokok lebaran adalah budaya khas masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa. Tidak jarang, merek rokok menjadi penanda kelas di pedesaan.

Adanya sampiran dan isi adalah bagian dari kelengkapan sebuah pantun. Pula sajian rokok sebagai perekat sosial di ruang percakapan manusia agraris. Pantun tanpa sampiran hanya melahirkan bentuk bidal. Bidal adalah produk sastra yang juga bagian dari puisi lama masyarakat Nusantara.

Pantun dan bidal adalah produk budaya masyarakat kita yang kaya akan pertautan nilai-nilai akulturatif. Keduanya diungkap melalui medium tuturan, perhelatan lisan. Tuturan adalah output dari daya kreatif dan keramah-tamahan manusia Indonesia yang meluhurkan adab, demikian pula produk kretek. 

Pada perayaan lebaran, produk berbahan baku tembakau dan cengkeh ini menjadi penegas adab manusia Indonesia dalam memaknai suatu penghormatan dan keakraban. Namun, makna ini kemudian terdistorsi oleh nilai-nilai baru, akses pemutakhiran nilai yang didesakkan melalui pergaulan global. Rokok dinilai sebagai suguhan yang membahayakan. Di sisi ini kerap terbuka ruang kontroversi antar kalangan.

Namun, jika kita telisik saja pada arsip budaya lama, dapat kita temukan asal-usul mengonsumsi tembakau melalui kebiasaan menginang sebagai simbol pemuliaan. Berlaku di berbagai perhelatan penting. Di pulau Jawa pada abad lampau, pinang, sirih, gambir, kapur dan tembakau, merupakan penanda produk budaya ramah tamah masyarakat Nusantara.

Pada beberapa prasasti peninggalan abad ke sembilan sampai abad ke sepuluh masehi, budaya tersebut tertampilkan. Berita tentang dinasti Sung pada abad kesepuluh sampai abad keempat belas masehi mencantumkan sirih dan pinang sebagai salah satu mata dagangan yang diekspor dari pulau Jawa.

Hal ini menandakan betapa kaya komoditas yang dihasilkan masyarakat agraris Jawa. Tak heran kemudian, jika di beberapa daerah penghasil tembakau; Temanggung dan Wonosobo, menyuguhkan tembakau di sela varian kudapan tradisional. Ini merupakan bentuk kesantunan yang lazim. Bila ditilik dari dimensi ekonomi, keduanya punya nilai yang setara di mata ekonomi.

Sajian Rokok Lebaran dan Budaya Indonesia

sajian rokok lebaran di indonesia

Kita tarik arah pandang kita pada budaya masyarakat lama, ketika aktivitas menginang sebagai salah satu bentuk keramahtamahan universal, pasalnya dapat dinikmati oleh berbagai kalangan mulai dari anak muda hingga orang tua, mulai dari rakyat biasa hingga raja-raja. Bukankah budaya universal manusia selalu mencirikan hal-hal yang sakral di dalamnya.

Maka, lazim pula produk budaya tersebut disajikan pada tamu sebagai tanda keramahtamahan dan adab kesantunan. Bahkan, di beberapa pulau di Indonesia, tidak hanya disuguhkan untuk orang yang masih hidup. Lazim pula sebagai suguhan dalam upacara penguburan bagi  roh orang mati , serta sesaji bagi para leluhur dalam upacara adat. 

Secara medis, sirih dan pinang dinilai sebagai obat yang mengandung antiseptik serta memberi kenikmatan tersendiri. Seturut perubahan zaman, dimana semua lini mengalami pemutakhiran nilai, maka produk tembakau kemudian hadir menggantikan suguhan tersebut. Betapapun itu, fitrah kebudayaan mengisyaratkan hidup yang bergerak dinamis.

Percakapan seputar budaya pokok dan budaya tandingan di dalam ruang interaksi sosial akan terus berupaya menegaskan posisi eksistensialnya. Lahirnya produk sigaret kretek mesin dan sigaret kretek tangan adalah dua entitas yang mencirikan keunggulan budaya suatu masyarakat. Manusia Indonesia selalu memiliki daya olah kreatif yang khas, itulah kita.

Mengingat pula, keberadaan rokok yang merupakan sajian pada ruang keakraban masyarakat (perekat sosial), tak terkecuali pada perayaan lebaran. Hal ini menandai adanya itikad baik manusia Indonesia dalam menggulungkan tujuan pemuliaan (arete) antar individu dan sosial.

Secara empiris, di lingkung sosial saya yang mayoritas hibrid, aktivitas silaturahmi antar tetangga tak hanya ditandai melalui adanya pertukaran suguhan berupa ketupat-opor ataupun kue lebaran. Rokok yang disediakan pada meja lebaran saat aktivitas kunjung mengunjungi pun terjadi, ini telah menjadi kelaziman. Meski tak selalu sama dimaknai, namun secara intrinsik dapat menguatkan nilai persaudaraan dan peleburan.

Bagi Anda yang merasa asing dengan adanya simbolisasi suguhan penghormatan berupa tembakau dan bumbu penyertanya, saya sarankan berkunjunglah ke lingkungan pedesaan di Wonosobo. Masyarakat sekitar lereng ini menjadikan tembakau garangan sebagai menu sajian lazim saat kita bersilaturahmi.

Bahkan, di era kontemporer ini, produk tembakau dengan berbagai mereknya, turut melengkapi menu hampers alias bingkisan yang diantar kepada kolega yang berlebaran. Bingkisan semacam ini tak ubahnya corak pantun yang mengisyaratkan adanya sampiran dan isi, adanya kemasan dan konten (isi) di dalam bingkisan.

Maka, jika di meja lebaran Anda belum ada penanda yang menegaskan ciri komoditas Indonesia, di antaranya produk kretek, itu artinya belum purna lebaran Anda sebagai manusia Indonesia. 

Sah-sah saja memang, jika kemudian digantikan dengan permen, tapi, kok ya rancu rasanya jika sepanjang silaturahmi hanya berisi aktivitas melahap panganan. Pasalnya, kebiasaan mengunyah dan mengunyah sepanjang waktu, itu lebih sering terlihat pada kehidupan ternak yang banal semacam sapi.

Bukankah kita sedang merayakan budaya lebaran manusia, Bos? Cmiiw.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Khothibul Umam

Khothibul Umam

Penggemar tembakau, dalang wayang Tenda. Tinggal di Semarang