Hari Tanpa Tembakau Sedunia tahun 2023 mengusung tema “Tanam Makanan, Bukan Tembakau” dengan narasi bahwa menanam tembakau telah berkontribusi krisis pangan global.
Karenanya, tema kampanye HTTS tahun ini demi mendorong pemerintah untuk mengakhiri subsidi penanaman tembakau dan menggunakan tabungan untuk mendukung petani beralih ke tanaman yang lebih berkelanjutan yang meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
Dalam konteks Indonesia, dorongan dari antirokok sebenarnya telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan petani tembakau sebagai penerima pupuk bersubsidi. Hal ini tertuang dalam Permentan No. 10 Tahun 2022 tentang Penyaluran Pupuk Bersubsidi.
Sejak dikeluarkan peraturan tersebut berarti petani tembakau tidak lagi diberikan kemudahan bercocok tanam untuk mengembangkan tembakau yang sejatinya merupakan komoditas perkebunan strategis bangsa Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Padahal, penyediaan pupuk bersubsidi sangat diharapkan oleh petani tembakau di Indonesia, yang terlanjur bergantung dari keberadaan pupuk untuk meningkatkan produktivitas tembakau.
Tentu bukan kebetulan semata kebijakan distribusi pupuk bersubsidi yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian justru sejalan dengan arah yang diharapkan agenda antirokok dunia?
Di samping itu, melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) kerap digunakan untuk membuat program yang justru tidak mendukung keberlanjutan dari pembudidayaan tembakau.
Program-program di sentra-sentra perkebunan tembakau justru mengusung agenda antirokok dunia sebagai upaya penghentian budidaya tembakau. Petani dipaksa untuk menanam komoditas lainnya. Dana untuk membiayai program-program tersebut justru didapat dari perdagangan produk hasil tembakau yang dikenai pungutan cukai.
Tetapi, meski demikian masif upaya tersebut kenapa petani tembakau tetap menanam tembakau?
Hal ini dikarenakan tembakau adalah komoditas unik, di mana penanamannya dilakukan di masa kemarau atau musim ketiga. Di musim itu, tanah sedang libur untuk menanam tanaman pangan karena hujan tidak datang.
Bahkan, di sentra-sentra perkebunan tembakau ketika musim ketiga tidak ada tanaman lain yang bisa tumbuh.
Seperti dikatakan oleh Dimyati, seorang petani tembakau di Temanggung, ketika musim tembakau di kebun-kebun mereka tidak ada tanaman lain yang bisa tumbuh. Bahkan rumput pun tidak bisa tumbuh lantaran lahan teramat kering.
Keadaan sebaliknya pada tanaman tembakau, itulah masa-masa terbaik bagi tembakau bisa tumbuh bahkan semakin tidak ada hujan malah mampu menghasilkan tembakau dengan kualitas terbaik.
Kondisi seperti ini yang sama sekali tidak dipahami oleh antirokok, dan sayangnya juga para pemegang kebijakan di Indonesia, sehingga setiap kali disodorkan proposal mereka justru mengiyakan.
Padahal, dari kebijakan dan program-program antirokok yang diadopsi di Indonesia terdapat nasib keluarga yang turun-temurun menggantungkan hidup dari menanam tembakau.