proyek antirokok
OPINI

Proyek Anti Rokok Melalui RUU Kesehatan

Kementerian Kesehatan tidak pernah berhenti berulah. Baru-baru ini, salah satu kementerian yang cukup digdaya di negeri ini mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang memuat berbagai pasal. Salah satunya pasal yang mendiskreditkan tembakau. Pasal ini ditengarai sebagai proyek besar kubu anti rokok. Mengapa demikian?

Dalam pasal 154, hasil tembakau, yang kemudian diusulkan diubah redaksinya menjadi produk tembakau, diletakkan sama kedudukannya dan menjadi bagian dari zat adiktif. Nah, selain hasil tembakau, terdapat pula narkotika, alkohol, dan hasil olahan tembakau lainnya. 

Sontak saja, terdapat banyak kontra dari berbagai lembaga yang salah satunya adalah ormas terbesar di Indonesia, PBNU. Mereka menolak RUU Kesehatan karena dianggap akan mengancam hajat hidup para petani dan keseluruhan pelaku industri hasil tembakau (IHT). Selain itu, pasal tersebut juga berpotensi menjadi pasal karet karena multitafsir. 

Lalu, apakah hanya satu pasal tersebut yang membuat ramai jagat di dunia maya maupun nyata? Ternyata tidak. 

3 Pasal yang Aneh

perokok berekspresi

Dalam pasal 155, ada banyak frasa yang dihapus dalam usulan tersebut. Salah satunya penggunaan hasil tembakau yang berfungsi untuk kosmetik dan bahan herbal. Menurut RUU tersebut, hasil tembakau termasuk ke dalam daftar negatif sehingga tidak layak diperdagangkan apalagi dikonsumsi. 

Padahal, jika mengacu data-data pada zaman dahulu, tembakau boleh digunakan untuk kosmetik dan bahan herbal. Tembakau memiliki banyak khasiat bagi kesehatan tubuh. Namun, entah kenapa, seiring berjalannya tahun, tembakau memiliki asosiasi negatif. 

Di pasal 156, mereka (para pengusung RUU Kesehatan) mencoba melakukan standarisasi kemasan. Salah satunya mencantumkan peringatan kesehatan. Masalahnya, selama ini rokok-rokok yang pernah kamu lihat di toko-toko, seluruhnya mencantumkan peringatan kesehatan kecuali rokok ilegal. 

Jika ada standarisasi kemasan, mereka sebenarnya ingin mengontrol penuh para pelaku industri hasil tembakau harus berperilaku sesuai apa kemauan mereka. Ini yang patut diwaspadai. 

Kemudian dalam pasal 157 yang tentu saja menuai polemik. Mereka mencoba menghilangkan kata wajib agar pengelola tempat kerja atau tempat umum tidak perlu repot-repot memberikan ruang merokok. 

Hal ini sudah bisa dipastikan akan mencabut hak konstitusi perokok. Hak yang mana seharusnya diperoleh perokok untuk merokok di ruang merokok. Ini sama saja mereka seenaknya saja tidak menganggap perokok adalah manusia yang mana memiliki hak untuk merokok. Ingat, aktivitas merokok adalah aktivitas legal. 

RUU Kesehatan Memang Mengincar Tembakau, Bukan yang Lain

perokok berkumpul

Jika kamu mencermatinya dengan baik, sebenarnya RUU Kesehatan ini lebih condong untuk mengurusi tembakau, bukan yang lain. Dari pasal 154 yang memuat zat adiktif, mengapa hanya tembakau dan segala turunannya yang dicecar oleh, sebut saja, kaum antirokok? 

Mengapa tidak ada pasal-pasal lainnya yang mengurusi tentang narkotika, alkohol, atau hasil olahan tembakau lainnya? Maka menjadi wajar ada kecenderungan atau motif bahwa RUU kesehatan adalah “program” kaum antirokok. 

Mulai dari memasukkan hasil tembakau ke dalam zat adiktif, standarisasi kemasan, mengubah peraturan pemerintah menjadi peraturan menteri, hingga mencerabut hak hidup perokok dengan menghilangkan kata wajib bagi penyelenggara atau pengelola tempat kerja atau tempat umum sehingga tidak perlu menyediakan ruang merokok. 

Agenda ke depan bagi perokok akan semakin berat. Apalagi setelah ini ada hari tanpa tembakau sedunia. Hari yang penulis yakin akan ada grand design untuk mencerabut tembakau dari tanah Nusantara. 

Sudah seharusnya kita berhimpun dan bergerak untuk tidak sekadar mengawasi, melainkan juga melangkah agar segala sesuatu yang telah memberikan penghidupan masyarakat Indonesia bisa tetap terjaga dan lestari.