Sejak dulu buruh kerap identik dengan hal yang buruk. Buruk bukan karena perilaku, lebih ke arah buruk karena nasib. Biar bagaimanapun, buruh kerap kali dianggap sebagai masyarakat kelas 3, orang rendahan, tak pantas mendapatkan sesuatu. Lantas, jika sudah buruh, buruh kretek pula, bagaimana nasibnya?
Satu dari sekian narasi panjang kampanye antirokok di Indonesia, khususnya terkait nasib buruh kretek, mereka selalu dianggap sebagai pesakitan. Sudah nasib buruk, gaji kecil, kerjanya di pabrik kretek pula. Tidak jarang buruh kretek diisukan membawa penyakit untuk keluarganya. Pertanyaannya, seburuk itukah nasib buruh kretek?
Nyatanya, fakta di lapangan justru menunjukkan hal berbeda dari beragam narasi antirokok. Perihal gaji kecil, tentu harus dilihat konteks besaran upah minimum kota atau kabupatennya terlebih dulu. Dengan UMK Kudus di kisaran Rp 2,4 juta, ya memang segitu angka yang kurang lebih bakal diterima para pekerja. Itu belum termasuk jika lembur juga ya.
Jika orang antirokok, yang kebanyakan melihat dari kacamata Jakarta, melihat gaji tersebut kecil, maka yang perlu dikritik tentu adalah penentu kebijakan upah murahnya. Tentu saja kita tak boleh memalingkan muka dari Pemerintah Kota, Pemerintah Provinsi, juga Kementerian Ketenagakerjaan. Ya mereka yang menentukan besaran upah, harusnya mereka juga yang dituntut atau disalahkan soal upah kecil itu.
Lalu, masih soal penerimaan pekerja, buruh kretek justru mendapatkan THR secara utuh dan tidak pernah telat dibayarkan. Kalau tidak percaya, silakan cek di pemberitaan bagaimana perusahaan rokok yang dianggap jahat itu tidak mengikuti cara perusahaan di sektor lain yang telat membayar THR atau bahkan tidak sama sekali.
Hal ini justru menunjukkan keuntungan menjadi buruh kretek. Setidaknya, prinsip dasar pengupahan telah dilakukan dengan benar sesuai aturan yang berlaku di republik ini. Kalau mau menyebut perusahaan jahat, ya sebenarnya ada banyak sektor lain yang pantas disebut begitu. Misalnya, perusahaan tekstil atau media yang dimiliki politisi.
Hal lain yang juga membantah klaim buruknya nasib para pekerja di perusahaan rokok adalah soal bantuan yang kerap diberikan pada mereka. Setidaknya, ada alokasi DBH-CHT yang diberikan pada pekerja, misalnya lewat BLT atau bantuan lainnya. Di sektor lain, jangankan dapat bantuan, dapat upah yang sesuai aja kadang susah.
Terakhir, soal para buruh kretek yang katanya membawa penyakit untuk keluarganya. Aduh gimana ya, kebohongan semacam itu sebaiknya nggak perlu dihiraukan. Lah gimana, kalau klaim pekerja membawa penyakit, kenapa keluarga para buruh tetap hidup hingga hari ini? Kalaupun tidak menggunakan hidup sebagai indikator, dicek saja jika mereka ya sehat-sehat saja.
Lah gimana, yang dibilang bawa penyakit saja sudah bekerja di pabrik hingga puluhan tahun dan mereka tidak sakit atau kenapa-napa? Kok bisa ya ada orang senangnya nyebarin hoax.
Fakta-fakta di atas memperlihatkan betapa nasib buruh kretek menjadi buruk justru karena kampanye antirokok. Ketika kampanye anti rokok dilakukan dan menghasilkan kebijakan, para pekerja justru terancam kehilangan pekerjaannya. Kalau mereka kehilangan pekerjaan, harusnya bukan Cuma perusahaan yang disalahkan, tetapi juga kelompok antirokok itu.
Kalau mau dibandingkan dengan sektor lain, ya para buruh kretek justru masih mendapatkan keuntungan dan nasib yang lebih baik. Perusahaan rokok ini sudah takut dengan ancaman kebijakan, jadi mereka pasti akan menaati aturan yang ada sebaik-baiknya. Termasuk di urusan ketenagakerjaan.