wacana membunuh petani tembakau
OPINI

Wacana Membunuh Petani dan Ekonomi Indonesia Pada HTTS 2023

Menanam tembakau adalah kegiatan kultural yang berkaitan dengan kelangsungan hidup masyarakat tani. Namun, praktik budaya itu kian hari kian ternacam wacana politik dagang yang memainkan isu kesehatan sebagai kedoknya.

Wacana bernuansa normatif yang terus saja direpetisi lewat berbagai media itu mengandalkan sifat oksimoron pemerintah dan ambivalensi masyarakat kita (negara dunia ketiga) yang dihegemoni oleh sistem ekonomi-politik global.

Di dalam wacana pengendalian tembakau, aktor yang terlibat memainkan isu kesehatan pastinya WHO. Lewat badan kesehatan dunia itulah, para sponsor dari sektor farmasi dan korporasi rokok dunia berswadaya untuk melancarkan tujuan monopoli mereka.

Munculnya traktat FCTC (Framework Convention of Tobacco Control) yang dikeluarkan pada dua dasawarsa silam, tepatnya 21 Mei 2003, menjadi alat untuk menyandera negara-negara penghasil tembakau.

Indonesia salah satu negara peserta yang secara aktif telah mengadopsi klausul FCTC ke dalam regulasi kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP 109/2012) serta sejumlah produk kebijakan turunannya. Traktat FCTC yang didasarkan pada target pengendalian tembakau ini, jika dirunut sejarahnya berkaitan dengan bisnis obat-obatan yang menggunakan kekuatan politik The Big Pharma. 

Tujuannya jelas, untuk menyisihkan eksistensi penyembuhan tradisional (yang sering dicap tidak ilmiah) yang kemudian diganti dengan terminologi pengobatan allopathic (obat-obatan modern).

Upaya untuk membunuh praktik budaya pertembakauan itu tak hanya berkedok isu kesehatan, isu lingkungan, isu kemiskinan, dan isu pangan yang pada HTTS 2023 ini tengah dimainkan. Dikait-kaitkan pula pada isu stunting.

Targetnya tak lain untuk menyingkirkan jangkar ekonomi yang menjadi sumber devisa negara. Sebagaimana kita ketahui, kontribusi Industri Hasil Tembakau (IHT) bagi APBN bernilai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Namun, perlu diwaspadai adanya wacana global yang berusaha menggerus sektor ekonomi tembakau melalui isu yang mereka mainkan.

Jika dibanding-bandingkan dengan sektor ekonomi lainnya, belum ada komoditas yang setangguh dan menguntungkan tembakau. Itupula salah satu yang mendasari keyakinan kultural masyakat tani di lereng Sindoro-Sumbing masih melangsungkan ekonomi pertembakauan.

Dari menanam tembakau para petani dapat menafkahi keluarga, menyekolahkan anak, bahkan, mampu membiayai ongkos pergi haji pasca panen raya. Kondisi menguntungkan itu masih dapat dirasakan pada tahun-tahun sebelum 2015, dimana regulasi cukai belum begitu masif mencekik.

Mungkin belum banyak orang yang belum paham kaitan regulasi cukai yang juga berdampak terhadap serapan tembakau petani. Sederhananya, jika tariff cukai naik maka otomatis pabrikan akan mengurangi beban produksinya.

wacana membunuh rokok

Salah satunya dengan memangkas kuota bahan baku yang dibeli dari petani. Ini baru dari sisi tembakau, belum lagi dari sektor ingredient rempahnya, sebagaimana kita tahu, produk kretek adalah komoditas yang memiliki pasar yang khas dan menguntungkan. 

Gerakan antitembakau global yang bermain lewat isu normatif kesehatan dan kesejahteraan kerap kali berupaya mendeligitimasi sektor IHT. Tilik saja dari cara-cara mereka bermain melalui desakan regulasi tentang bahaya rokok yang dibungkus dalil kesehatan. Bahkan sampai mengatur tata niaga rokok yang kelewat absurd, terkait larangan menjual ketengan serta menempatkan rokok ke dalam golongan narkoba.

Regulasi absurd itulah yang kemudian mengundang reaksi penolakan banyak pihak. Mengingat regulasi yang berkaitan dengan rokok pastilah akan membawa dampak beruntun bagi petani dan stakeholder lainnya.

Peringatan HTTS 2023 yang ditandai pada 31 Mei ini, dimana rezim antitembakau memframing tembakau sebagai ancaman penyebab malnutrisi di beberapa kasus. Sementara, jika ditilik lebih dalam, tidak selalu ada kaitannya tembakau dengan persoalan pangan dan pemenuhan gizi.

Sederhananya jika kita lihat dari angka luasan yang trennya mengalami penurunan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), perkebunan tembakau di Indonesia seluas 202.500 hektare (ha) pada 2022. Luas tersebut lebih rendah 5,24% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang seluas 213.700 ha.

Melihat trennya, luas perkebunan tembakau Indonesia menunjukkan tren menurun. Penurunan luas perkebunan tembakau paling dalam sebesar 28,67% pada 2013. Berdasarkan kepemilikannya, perkebunan tembakau yang dikelola oleh rakyat mencapai 201.800 ha pada 2022. Sementara, perkebunan tembakau berskala besar tercatat sebesar 700 ha.

Adapun, perkebunan tembakau Indonesia hanya berada di 15 provinsi. Jawa Timur menjadi provinsi dengan perkebunan tembakau paling luas pada 2022, yakni 95.500 ha.

Jika kita bandingkan dengan fokus pemerintah terkait pengembangan Food Estate yang datanya menyebutkan sasaran luas food estate tahun 2022 ditetapkan sekitar 340 hektar, tahun 2020 dikembangkan 322 hektar sehingga menjadi 662 hektar.

Angka luasan tersebut relatif memadai untuk menunjang target ketahanan pangan, sebagai solusi dari banyaknya lahan pertanian yang dikonversi menjadi lahan pembangunan. Tanpa harus kita bandingkan dengan sektor tembakau tentunya. Di dalam konteks ini, mestinya yang menjadi fokus pemerintah adalah terkait pengawasan dan proses pengadaannya. Ini yang oleh banyak kalangan kerap dipertanyakan.

Jangan sampai terjadi sama seperti di sektor regulasi rokok, lemahnya pengawasan dan pelaksanaan amanat regulasi, malah justru menyalah-nyalahkan keberadaan IHT. Artinya, lemahnya pengawasan dan konsistensi pemerintah akan berdampak negative bagi ekonomi masyarakat serta target pemerintah dalam upaya mencipta kejahteraan serta keadilan pangan.

Sekaligus pula yang penting untuk dicermati adanya wacana politis dari kepentingan tertentu untuk membunuh sektor produktif bangsa ini. Salah satunya yang bermain melalui isu HTTS 2023 yang mengarah pada upaya membunuh karakter petani tembakau serta ekonomi Indonesia.