Narasi tentang aktivitas merokok makin hari makin merusak nalar saja, sebab segala upaya dilakukan demi menghentikan orang memiliki kebiasaan merokok.
Dua dekade lalu, kebiasaan merokok senantiasa dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan yang dialami oleh perokok.
Kampanye yang luar biasa gencar dan diulang-ulang ini akan dampak kesehatan rokok membuat banyak orang mempercayai bahkan menganggap bahwa dengan tidak adanya rokok, maka umat manusia akan sehat semua.
Bahkan seorang dokter ketika memeriksa pasiennya, secara tidak sadar akan bertanya, apakah Anda merokok?
Bila jawabannya, iya. Maka itu menjadi pembenaran bahwa rokok penyebab masalah.
Bila jawabannya, tidak, maka muncul pertanyaan selanjutnya, apakah di rumah ada keluarga yang merokok? Di tempat kerja, lingkungan, atau di ruang publik bertemu dan berdekatan dengan orang yang merokok? Ya, jawabannya menjurus para rokok yang menjadi akar persoalan segala penyakit.
Berbagai penyakit yang alami seseorang dari jantung, hipertensi, kolesterol, asam lambung, jantung koroner, paru-paru, impotensi, dan lain sebagainya selalu dikaitkan dengan rokok.
Argumentasi yang tidak lengkap ini meskipun janggal tetapi banyak orang mempercayai. Apalagi kampanye dilakukan terus-menerus, dan diulang-ulang, sehingga dianggap sebagai kebenaran.
Padahal, nalar yang menyempitkan penyelesaian persoalan hanya kepada rokok membuat akar penyakit menjadi abu-abu dan sulit ditentukan.
Kita semua paham bahwa suatu penyakit bisa muncul disebabkan bukan oleh faktor tunggal. Ada banyak faktor yang memberi pengaruh. Di samping itu, tidak hanya rokok saja. Segala yang berlebih akan memberi dampak bagi tubuh. Bahkan sesuatu yang dianggap baik sekalipun.
Upaya Adu Domba Perokok dan Non Perokok
Perkembangan perang terhadap rokok dinilai tidak terlalu berhasil, sehingga muncullah secondhand smoke, dimana akibat dari rokok tidak hanya pada orang yang merokok saja, tetapi memberi pengaruh terhadap orang-orang di sekitarnya.
Gagasan tentang secondhand smoke ini berhasil menempatkan ‘pengawas’ di lingkungan sosial. Aktivitas merokok yang sebelumnya biasa-biasa dilakukan kemudian harus bertenggang rasa dengan sesama manusia yang nonperokok.
Tetapi, kampanye yang dilakukan tidak berhenti di sana. Belajar dari keberhasilan kampanye di tahap pertama, maka kini aktivitas merokok dituding sebagai penyebab persoalan sosial di masyarakat.
Hipotesanya, bila banyak orang percaya bahwa tembakau menjadi penyebab berbagai penyakit, berarti hal sama bisa terjadi dengan tuduhan bahwa rokok menjadi penyebab dari semua problem sosial yang ada.
Persoalan dari kemiskinan, pencemaran lingkungan, bencana kelaparan, tingginya inflasi, bahkan yang baru-baru ini, aktivitas merokok dikaitkan dengan anak yang stunting.
Sayangnya, pemerintah justru menjadi kaki tangan untuk menyebarluaskan kampanye tersebut. Dengan semangat pula menunjuk rokok sebagai penyebab persoalan.
Bila tuduhan ini dipercaya, maka akan mudah bagi pemerintah untuk lari dari tanggung jawab, sebab adalah tugasnya menyediakan lapangan pekerja sehingga rakyatnya bebas dari kemiskinan, menyiapkan infrastruktur kesehatan untuk menjaga anak-anak dari kekurangan gizi, juga menjaga agar rakyatnya terbebas dari bahaya kelaparan.
Di samping itu, pemerintah juga memberi karpet merah dari perusahaan multinasional farmasi yang bekerjasama dengan badan kesehatan dunia untuk mengambil alih pasar nikotin.