Hampir tiga dekade, buku Nicotine War karya Wanda Hamilton tentang bisnis nikotin dan perang dagang diluncurkan ke publik. Selama tiga dekade itu pula, buku tersebut sudah beberapa kali ganti penerbit. Bahkan, jika tidak berkenan membaca buku cetaknya, kamu bisa membaca soft copy di bukukretek.com. Namun, lebih dari tiga dekade, tampaknya belum ada pengakuan atau perubahan dari rezim kesehatan bahwa nikotin adalah bisnis kesehatan.
Ada yang perlu kamu ketahui tentang nikotin. Senyawa yang terdapat di berbagai tumbuhan seperti kentang, tomat, cabai, terong, dan tembakau telah mendapatkan perhatian begitu besar oleh rezim kesehatan. Selain sebagai sumber pestisida ramah lingkungan, nikotin memiliki khasiat dan manfaat yang luar biasa bagi manusia.
Sayangnya, rezim kesehatan tidak bisa mengakuisisi nikotin menjadi hak paten. Alhasil, tanamannya saja yang perlu dihilangkan. Oleh karena tidak mungkin menghilangkan kentang, cabai, tomat, terong, dan sejenisnya maka sasaran utamanya adalah tembakau.
Mengapa hanya tembakau? Karena tembakau adalah bahan utama rokok. Dan rokok, adalah common enemy dari rezim kesehatan. Rokok dianggap olahan tembakau yang tidak bermanfaat baik bagi sendiri maupun orang lain. Rokok menyebabkan kemiskinan, stunting, kualitas hidup menurut dan sederet akibat negatif yang dicap oleh rezim kesehatan.
Nikotin dan Rezim Kesehatan di Indonesia
Indonesia adalah hunian bagi perokok. Itu menurut statistik dari lembaga Statista pada 2022 yang menyatakan bahwa jumlah perokok, khususnya pria, menempati urutan pertama di dunia dengan persentase lebih dari 70%.
Tentu saja persentase itu sungguh menyedihkan bagi anti rokok. Semestinya angka tersebut bisa turun atau malah berubah menjadi 0%. Namun, antirokok lupa bahwa di Indonesia merokok adalah kebiasaan yang sudah turun temurun sejak sebelum WHO hadir yang kemudian berkampanye bahwa rokok merusak tubuh.
Rezim kesehatan sebenarnya memahami hal tersebut. Ketika mereka ingin mencoba melepaskan kebiasaan perokok menemui jalan terjal. Maka, sesuai pernyataan Wanda Hamilton, jika kebiasaan tersebut tidak bisa disingkirkan, lebih baik dibuat menjadi bisnis.
Rezim kesehatan berupaya mencari cara agar bisnisnya lancar. Salah satunya tetap mendapatkan ceruk perokok, tetapi dengan berusaha anti terhadap perokok. Akhirnya, mereka mengeluarkan jurus bahwa merokok bukanlah kebiasaan melainkan kecanduan.
Di Indonesia, kata candu mendapatkan penjelasan sebagai sesuatu yang negatif. Maka ketika merokok dianggap candu, rezim kesehatan menyediakan layanan berhenti merokok secara gratis. Maksud dari layanan tersebut untuk melepaskan kecanduan tersebut.
Alternatif lainnya, mereka menciptakan produk semacam koyok atau permen kunyah yang mana ternyata di dalamnya juga terdapat nikotin. Itu artinya, pergerakan rezim kesehatan untuk melenyapkan rokok menjadi ambivalensi.
Di satu sisi, rezim kesehatan tampak khawatir dengan kebiasaan merokok, tetapi di sisi lainnya, mereka tetap mencari cuan dengan mengadopsi kebiasaan para perokok yaitu butuh asupan nikotin.
Merokok atau Tidak, yang Penting Bisnis Nikotin
Jika mengacu analisis di atas, rezim kesehatan di Indonesia seperti acuh tak acuh dengan merokok. Tampaknya mereka meyakini bahwa merokok atau tidak adalah sebuah pilihan. Yang bukan pilihan adalah bagaimana caranya tetap mengoptimalkan perokok untuk tetap merokok namun bisa beralih produk dari sebelumnya kretek menjadi tidak kretek (koyok, permen kunyah, dan semacamnya)
Mereka melakukan berbagai intrik dengan melakukan penelitian mendalam kepada perokok. Dan salah satu intriknya adalah merokok tapi tidak menggunakan tembakau melainkan menerapkan nikotin cair. Mulanya dari limbah tembakau (sisa daun dan batang tembakau) untuk kemudian menjadi hasil produk tembakau lainnya (HPTL).
Mulanya intrik, kemudian bisa dijadikan bisnis, dan ternyata menghasilkan cuan. Memang, bisnis nikotin selalu gurih sampai akhir zaman.