catatan kritis RUU Kesehatan
data

Catatan Kritis Menyoal RUU Kesehatan

RUU Kesehatan terus menuai polemik dan mengalami penolakan dari berbagai pihak. Penolakan itu seringkali muncul dari lima Organisasi Profesi (OP) yang bergerak di wilayah kesehatan. Mulai dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNII), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Daftar Isi

Secara khusus, produk Omnibus Law ini berpotensi memberi dampak buruk bagi kelangsungan para pelaku di sektor kesehatan. Lebih utama dari itu, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait organisasi keprofesian.

Tidak hanya sampai di situ, dari pihak DPR juga menginterupsi pengesahan RUU tersebut. Beberapa anggota komisi mengatakan tak sepakat membawa RUU ini dibawa ke rapat paripurna dalam waktu dekat ini. Hal ini lantaran RUU masih memiliki sejumlah persoalan mendasar.

Sebagai masyarakat biasa, saya pun menilai ada beberapa aspek mendasar yang harus dikritisi dari poin-poin yang berkaitan dengan hajat hidup masyarakat luas. Terlebih dari sektor komoditas tembakau, ini dari sisi saya sebagai konsumen rokok.

Dimana pada penjabaran di dalam RUU Kesehatan, jelas disyaratkan pada Pasal 154 sampai 157 yang boleh dikatakan bertabrakan dengan amanat konstitusi (UUD 45). 

Berikut catatan kritis atas beberapa poin cacat nalar pemerintah dalam memaknai rokok sebagai produk legal. Termasuk pula dalam konteks aktivitasnya, dimana perbuatan merokok seperti disetarakan dengan tindakan ‘kriminal’.

#1

Terkait Pasal 154 (3), dinyatakan bahwa zat adiktif dapat berupa: a. narkotika; b. psikotropika; c. minuman beralkohol; d. hasil tembakau; e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya. Kosakata ‘hasil’ diubah menjadi kata ‘produk’. Bagi publik yang tidak mencermati secara spesifik, sepintas seperti biasa saja pengubahan kata tersebut.

Namun, dari pengubahan kata ini justru semakin menegaskan bahwa produk berupa rokok termasuk narkotika. Secara langsung, rokok dimasukkan ke dalam golongan terlarang. Ini adalah upaya delegitimasi terhadap rokok, sebagai salah satu produk konsumsi yang berstatus legal yang kemudian menjadi semakna dengan barang ilegal alias terlarang dijual bebas, mengisyaratkan terlarang pula dikonsumsi oleh masyarakat.

Ketidakpastian hukum di sini ternyatakan jelas, mengingat tembakau adalah komoditas perkebunan yang telah diatur aspek budidayanya maupun industri pengolahannya. Secara hukum, telah dijamin melalui pungutan cukai atas produknya, aspek produksi maupun peredarannya juga dikenai pungutan pajak. Kok melalui RUU ini, rokok menjadi semakna dengan barang ilegal?!

#2

Terkait Pasal 157 (3), dimana terdapat pula upaya delegitimasi terhadap keberadaan konsumen rokok, terbukti dengan penghapusan kata wajib dalam menyediakan tempat khusus merokok. Ini satu hal krusial yang menegaskan bahwa aktivitas merokok bukan lagi kegiatan yang dijamin sebagai hak warga negara dalam mengonsumsi barang legal. Lebih lanjut, pula bertentangan dengan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

#3

Terkait itikad perencanaan dibentuknya RUU Kesehatan, warga masyarakat tidak melihat adanya upaya yang berfokus pada persoalan riil kesehatan. Justru yang krusial untuk dipertanyakan adalah terkait marwah kesehatan yang dimaknai oleh pihak otoritatif kesehatan, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Dapat ditilik melalui penjabaran Bab I lembar tentang Ketentuan Umum, yakni adanya pembentukan lembaga yang disebut Badan Karantina Kesehatan Nasional (BKKN). 

Ini adalah lembaga Pemerintah setingkat kementerian yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang dalam menyelenggarakan urusan kekarantinaan kesehatan. Entah atas urgensi persoalan macam apa menjadi penekanan pemerintah. Menilik penjabaran ini, justru berimplikasi searah dengan agenda pengendalian tembakau. 

Sebagaimana yang telah diketahui, secara dimensi politik, gerakan antitembakau global memiliki skema yang masif dalam upaya memuluskan targetnya memperlakukan rokok dan perokok, termasuk pula masyarakat yang dapat dengan mudah dilabeli sebagai ‘suspect’ atas suatu kondisi tertentu (KLB) yang berkaitan dengan gangguan kesehatan. 

Artinya, keberadan lembaga tersebut rentan dimainkan secara politis oleh Kemenkes untuk menjalankan roadmap dari kepentingan politik tertentu, di antaranya agenda pengamanan dan pengendalian tembakau.

Dari penjelasan kritis ini saya mencoba berpikir objektif juga terhadap upaya yang dilakukan pemerintah terkait isu kesehatan di Indonesia. Bahwa, Omnibus Law RUU Kesehatan sesungguhnya dihadirkan pemerintah untuk memperbaiki problem riil di masyarakat, akan akses kesehatan yang merata dan berkeadilan. Semoga saja begitu adanya.

Brengseknya, kecurigaan saya terhadap pemerintah yang kerap rentan ‘masuk angin’ dalam menyikapi persoalan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, contohnya saja dalam mengelola anggaran pengentasan stunting yang beberapa waktu lalu disindir Presiden Jokowi.

Kecurigaan itulah yang terus berakumulasi mendorong intuisi politik saya menilai RUU yang tengah mendekati masa pengesahannya itu. Semoga keliru belaka apa yang saya asumsikan ini.

Mengingat lagi yang sudah-sudah, di antaranya UU Cipta Kerja sebelumnya, itu sama sekali tak menjawab persoalan krusial pada dunia perburuhan di Indonesia. Dimana buruh di Indonesia kemudian hanya diposisikan sebagai tenaga kontrak yang rentan diperlakukan diskriminatif.

Bahkan, sampai hari ini regulasi tersebut tak menjadi jawaban atas meningkatnya angka pengangguran akibat diterapkannya UU Cipta Kerja di negeri ini.

Atas dasar itu pula, kecurigaan terhadap kinerja pemerintah yang rentan disusupi kepentingan politik tertentu, untuk tidak menyebut politik investasi, maka wajar  RUU Kesehatan pun demikian meruncingkan kecurigaan. Ditambah lagi konstelasi kepentingan bisnis industri farmasi dan MNC rokok di Indonesia, dalam kurun satu dekade ini semakin memperkuat kuku investasinya, di antaranya dengan membangun wajah bisnis nikotin yang berkedok kesehatan sebagai bagian dari industri strategis.