Ketika Rokok Ilegal Merajalela, Pabrik Rokok Legal Bertumbangan
Pabrikan

Ketika Rokok Ilegal Merajalela, Pabrik Rokok Legal Bertumbangan

Rokok ilegal di pasaran merajalela. Peredarannya yang masif adalah akses dari tingginya pungutan cukai, harga rokok menjadi mahal mendorong konsumen beralih. Menyasar rokok yang lebih murah, baik di kisaran 10.000 bahkan yang di bawahnya. Pilihan itu menjadi make sense, daripada tidak ngebul.

Sejak 2016, tarif cukai mengalami kenaikan yang sudah melewati asas keterjangkauan industri. Dimana perubahan regulasi tarif CHT  (Cukai Hasil tembakau) dan pemangkasan layer cukai terjadi, sejurus target simplifikasi menuju single tariff. Otomatis, hal ini berakibat pada rokok golongan I yang mengalami penurunan produksi.

Terbukti dari penerimaan CHT semester I 2023 diprediksi mengalami penurunan. Melorotnya penerimaan cukai tersebut terjadi untuk pertama kalinya dalam 5 tahun terakhir. Hal itu diungkapkan Pengamat Ekonomi Kun Haribowo.

Menurutnya, untuk pertama kalinya dalam 5 tahun terakhir, penerimaan cukai rokok akan mengalami penurunan hingga 6%-14% di semester I 2023.

Pada Februari lalu, menteri Keuangan Mulyani mengakui sendiri, bahwa penurunan produksi pada awal tahun 2023 terjadi disebabkan oleh kenaikan tarif CHT yang mulai berlaku di 2023. Berdasar catatan, produksi hasil tembakau sebesar 15,8 miliar batang pada Januari 2022, namun pada Januari 2023 jumlah tersebut menurun menjadi 15,6 miliar batang.

Dari menurunnya produksi rokok itu, Sri Mulyani justru berdalih bahwa itu bagian dari tujuan dinaikkannya cukai rokok, menurunkan jumlah produksi. Faktanya, rokok ilegal merajalela dan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. 

Meski golongan 2 mengalami kenaikan sebesar 3,6% dari 4,5 miliar batang menjadi 4,7 miliar batang. Peningkatan jumlah produksi paling signifikan pada golongan 3, tumbuh 51,3% yakni dari 2 miliar batang menjadi 3 miliar batang pada Januari 2023.

Produsen level lima besar memang lebih menyasar produksi sigaret golongan 2 dan 3. Manuver itu dilakukan agar tetap bisa menjaga siklus produksi yang terus terancam regulasi. Sementara, banyak orang yang bergantung hidup dari sektor kretek.

Dulu, di tahun pandemi berlangsung, rokok berjuluk rokok ‘corona’ istilah di masa itu untuk rokok ilegal demikian masif di pasaran. Pasalnya, kenaikan tarif cukai pasca tahun politik 2019 melambung gila-gilaan, rata-rata 35 peresen. Banyak pabrikan yang bertumbangan. Kenaikan di atas 10 persen yang ditandai sejak 2016, membuat produsen level lima besar mau tak mau bermanuver.

Salah satunya Philip Morris (PM) melalui brand Marlboro, merilis dua jenis rokok tanpa filter yang salah satunya bermain mengakali pita cukai KLM (klembak menyan). Euforia rokok murah mendapatkan konteksnya. Kemunculan rokok murah adalah respon logis atas kemunculan produk selevelan; Patra (GGRM), Envio, Diablo, belakangan Arja. 

setumpuk rokok murah

Adanya asas pemanfaatan kondisi pasar selain pula mengakali celah riskan, itu menjadi sinyal atas kondisi ekonomi negara yang tidak kondusif. Dari sisi pabrikan, umumnya ketika sudah belanja kuota bahan baku yang sebagian besar menumpuk di gudang, termasuk di antaranya tembakau impor. Ya tentu harus bisa dirasionalisasi kembali untuk biaya produksi.

Senyampang itu, ramai di pemberitaan, rokok Apache justru kena pukul. Hingga salah satu pabriknya di Blitar tutup. Banyak pekerja rokok kehilangan pekerjaan. Tentu bukan karena kalah oleh kemunculan dua produk baru itu. Akar persoalannya ada di regulasi cukai yang dijadikan instrumen utama politik pengendalian tembakau di Indonesia.

Sebetulnya, sejak tahun 2010 sinyal penurunan jumlah pabrik rokok sudah terlihat nyata. Tercatat pada 2011 terdapat sejumlah 1.540 pabrik,  2012 turun menjadi 1.000 pabrik, 2013 sejumlah 800 pabrik, tahun 2014 sejumlah 700 pabrik, 2015 sejumlah 600 pabrik, 2016 dan 2017 sejumlah 487 pabrik. Di tahun-tahun selanjutnya hanya tinggal ratusan pabrik saja.

Kita ambil analisa gampangnya dari perbandingan angka itu, ke mana beralihnya para pelaku IHT yang dulu bercukai? Sementara, secara ekonomi sudah terbiasa hidup dari sektor rokok, sudah punya akses dari lingkup perputaran bisnis tembakau. Ke mana kalau bukan ke sektor rokok juga.

Pasca terbitnya PP 109 tahun 2012, banyak industri skala rumahan yang gulung tikar. Dalam kondisi terseok, regulasi muncul justru mempersulit gerak usaha pabrikan kecil. Hantaman kenaikan cukai, pembatasan sosial di era pandemi, merosotnya daya beli dan agenda simplifikasi yang mengacu pada role industri rokok asing. Itu semua berakumulasi dan problematik, hingga pabrikan sejenis Apache pun tak sanggup lagi bertahan.

Secara sejarah budaya industrinya, Indonesia berbeda dengan negara-negara produsen rokok putih. Tak heran jika kita memiliki layer golongan cukai yang lebih variatif. Ada produk kretek tangan, kretek mesin, cerutu kretek, tembakau iris, klembak menyan, dst. Karakter majemuk itu yang hendak diseragamkan ke dalam terminologi single tariff. Jelas berat bagi pabrik skala rumahan mengejar kesetaraan modal.

Pabrikan besar yang masih sanggup bertahan di tengah kondisi buruk ini ya terpaksa mengambil beberapa siasat efisiensi; pengurangan tenaga kerja dan pemangkasan jam operasional. Ditambah pula berlaku pembatasan kuota bahan baku. Tidak hanya pada tembakau, cengkeh sebagai isian kretek juga terdampak.

Komponen tembakau yang terdiri dari tiga bahan baku; tembakau nasi, tembakau lauk, dan tembakau sayur, banyak yang kemudian diutak-atik secara komposisi. Misalnya semula dari sebatang rokok terdapat 50% nasi, 30% lauk, 20% sayur, sangat mungkin komponen tembakau yang lebih murah yang diperbanyak. Ini tidak mengherankan sebagai satu dari manuver untuk mengurangi beban produksi. 

Perlu diketahui, komponen tembakau lauk, dimana secara piramida harga tergolong di puncak, lebih mahal dari harga dua komponen tembakau pokok lainnya. Nasibnya tidak lagi berjaya seperti dulu. Petani tembakau di Temanggung banyak yang meradang akibat kondisi ini. Lauk yang biasa dikenal srintil banyak yang tak terserap.

Akumulasi dari gambaran di atas dapat diserap dari beragam keluhan perokok, terutama perkara keganjilan pada citarasa rokok yang biasa mereka akses. Lalu, tembakau yang tak terserap itu dikemanakan? Ya pastinya dijual secara ecer dan lebih murah. Kebanyakan para pemain rokok ilegal membeli jenis tembakau bermutu rendah bahkan yang diecer itu, rendah artinya dari sisi jenis, kualitas, dan treatment-nya.

Perokok berkantong pas-pasan tak ada pilihan lain selain asal bisa ngebul, soal terjamin tidaknya kualitas rokok itu urusan nanti. Artinya, rokok ilegal yang tidak lolos uji BPOM yang merajalela itu semakin hari semakin mendapatkan pasarnya. Mengingat, para perokok terutama kretekus adalah golongan konsumen loyal. Pembuktiannya sederhana, ketika perokok tak mampu membeli SKT golongan 1 karena naik harganya, maka membeli rokok tiruannya masih dianggap wajar.

Betapapun itu, pasca pandemi dan tak berlaku lagi pembatasan sosial, kondisis ekonomi masyarakat tidak lantas pulih seperti sediakala. Pelambatan ekonomi terus terjadi, menurunnya daya beli masyarakat terhadap rokok bercukai terus merosot. Otomatis, menjelaskan keterpurukan pabrik rokok bercukai. 

Inilah konsekuensi logis yang negara harus tanggung sebagai kerugian, akibat dari kenaikan tarif cukai yang mengabaikan keterjangkauan industri. Kalau sudah begitu, pemerintah bisa apa selain menyalahkan dan menghadirkan bantalan; rokok dan perokok lagi? Basi.