merokok penyebab stunting?
OPINI

Benarkah Merokok Menjadi Penyebab Utama Stunting di Indonesia?

Indonesia darurat stunting. Begitulah kira-kira Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengabarkan kepada masyarakat bahwa harus ada pembenahan tentang pola pikir orang tua terhadap anak. Salah satunya adalah pemenuhan kualitas gizi terhadap anak. Kebanyakan tidak terpenuhi dengan baik karena orang tua lebih memilih menggunakan uangnya untuk merokok ketimbang makanan berprotein. Pertanyaannya, benarkah demikian? Benarkah merokok menjadi penyebab utama anak-anak Indonesia mengalami stunting? Semua pertanyaan ini akan terjawab setelah kamu membaca artikel di bawah ini hingga tuntas.

Rokok, Merokok, dan Stunting

rokok, merokok, dan stunting

Rokok acap kali dituduh sebagai penyebab utama terjadinya stunting anak-anak Indonesia. Maka dari itu, Kementerian Kesehatan gencar sekali untuk mengabarkan kepada orang tua bahwa jangan sampai menyalahgunakan uang yang seharusnya untuk membeli makanan bergizi, tetapi lebih memilih membeli rokok.

Jika melihat data dari World Health Organization (WHO), ada tiga penyebab utama stunting yaitu gizi buruk, infeksi berulang, dan kurangnya stimulasi psikososial. Dari ketiganya, tidak ada rokok sebagai penyebab utama. Jika pun ada, pasti akan dimasukkan ke dalam bagian dari gizi buruk. Dan, ini sudah penulis jelaskan pada paragraf sebelumnya.

Lalu, Kementerian Kesehatan mengabarkan ke seluruh daerah tentang bahaya stunting yang bisa mengakibatkan anak tidak sehat, dan bahkan mengakibatkan keterbelakangan mental dan fisik pada anak. Tentu saja, dari risiko-risiko tersebut membuat orang tua khawatir.

Namun, patut diketahui, ada fakta-fakta yang menarik tentang keterkaitan antara perilaku merokok dan stunting. Fakta-fakta ini berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 terkait stunting yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Persentase Merokok pada Penduduk Usia di Atas 15 tahun menurut Provinsi (2020-2022) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik.

Ada 16 provinsi di Indonesia, yang menurut SSGI, berada di bawah rata-rata angka stunting nasional. Kamu perlu mengetahui fakta, rata-rata angka stunting nasional adalah 21,6%. Itu masih di atas anjuran WHO sebesar 20%. Delapan provinsi di antara 16 tersebut antara lain:

  1. Lampung: 15,2%
  2. Jambi: 18%
  3. Sumatera Selatan: 18,6%
  4. Jawa Timur: 19,2%
  5. Bengkulu: 19,8%
  6. Banten: 20%
  7. Jawa Barat: 20,2%
  8. Jawa Tengah 20,8%

Sedangkan data perilaku merokok di Indonesia, ada 13 provinsi yang masih di atas persentase rata-rata penduduk merokok. Kamu perlu mengetahui bahwa persentase penduduk merokok di Indonesia saat ini adalah 28,26%. Adapun delapan provinsi di antara 13 tersebut antara lain:

  1. Lampung: 33,81%
  2. Bengkulu: 32,16%
  3. Jawa Barat: 32,07%
  4. Banten: 31,21%
  5. Sumatera Selatan: 30,49%
  6. Jawa Tengah: 28,72%
  7. Jambi: 28,62%
  8. Jawa Timur: 28,51%

Dengan membandingkan kedua data di atas maka Anda akan menemukan paradoks. Delapan provinsi tertinggi dengan perilaku penduduk merokok di Indonesia ternyata tidak berbanding lurus dengan provinsi-provinsi tertinggi yang mengalami stunting. Justru delapan provinsi tersebut merupakan provinsi-provinsi terbaik dalam penanganan stunting.

Paradoks tentang Merokok

paradoks tentang merokok

Maka dari itu, apabila mengacu data di atas, perilaku merokok tidak berbanding lurus dengan terjadinya stunting. Bahkan, yang menarik adalah Provinsi Lampung menempati posisi pertama untuk perilaku merokok, tetapi daerah asal Kangen Band itu juga mendapatkan posisi ketiga untuk penanganan stunting terbaik. Sebuah paradoks yang unik, bukan? Dari perbandingan kedua data ini seharusnya Kemenkes belajar, ya.

Jadi, kekurangan gizi yang berkualitas bukan karena orang tua yang merokok, melainkan mereka yang tidak tahu prioritas. Sudah semestinya gizi untuk anak didahulukan daripada yang lain.

Untuk Kemenkes, lakukanlah pendataan secara lebih holistik serta komprehensif. Jangan-jangan, orang tua yang tidak bisa memenuhi gizi anak bukan tidak tahu prioritas melainkan karena ketiadaan akses dan terjebak dalam sistem yang bernama kemiskinan struktural.