persoalan gizi telur dan rokok
OPINI

Telur, Rokok, dan Stunting: Menggugat yang Luput dari Persoalan Gizi

Pada banyak media kerap kali narasi seputar telur, rokok, dan stunting menjadi tanda isu atas problem gizi di Indonesia. Kampanye makanan bergizi berbasis 4 sehat 5 sempurna besutan Orba, yang dulu dikenalkan sebagai solusi yang didorong untuk menjawab pula isu stunting pada rezim bebas tapi sopan kala itu.

Namun lucunya, sampai hari ini angka konsumsi telur jika kita indeks, lebih banyak dirujuk dan menduduki peringkat atas dibandingkan dengan sumber protein lainnya. Sementara, varian sumber protein di Indonesia sejatinya sangat beragam dan berlimpah; ikan (laut-tawar), kacang-kacangan, unggas daging putih, susu, dsb. Sayangnya, sumber protein variatif itu minor disuarakan.

Bahkan, belakangan kampanye konsumsi telur kerap diperbandingkan dengan belanja rokok. Landasan kampanye ini dinilai dari kacamata rezim statistik dan rezim kesehatan yang memberi stigma perokok adalah masyarakat berpendapatan rendah. Maka, telur dipandang relevan diakses mengingat harganya yang relatif terjangkau dan mudah diakses bersetara dengan harga rokok golongan satu per bungkus.

Logika ini alih-alih untuk menjawab pemenuhan persoalan gizi sekaligus untuk mengejar target menekan angka stunting atas rujukan WHO yakni (harus) kurang dari 20%. Di sisi lain, jika kita tilik dari aspek produk konsumsi, di antaranya tembakau, terasa betul adanya upaya yang mereduksi bahkan menegasikan manfaatnya dari kebutuhan masyarakat. Dari sini kecurigaan kita dapat lebih meruncing.

Mengingat lagi masyarakat berflowers di Indonesia, persoalan rokok dan stunting ini tergolong isu kontroversial. Pada beberapa kalangan, perkara anak stunting kerap dikaitkan pula dengan mitos ‘petaka’ yang mengacu pada kepercayaan (hukum tabur-tuai) tertentu. Tak selalu bisa disalahkan terkait wilayah kepercayaan,

Demikian pula dalam memaknai kesehatan, simpul mitos juga digunakan untuk menjelaskan suatu gangguan kesehatan. Sementara, klaim ahli medis kerap menunjukkan upayanya melalui penjelasan ilmiah. Penjelasan ilmiah pun tidak berarti bersih dari bias kepentingan tertentu, walhasil bermuara pada mitos pula.

Harus diakui memang, literasi tentang gizi dan kesehatan di Indonesia relatif minim. Untuk tidak membilang bahwa ada problem politik pendidikan yang kronis. Tetapi, naif saja jika perokok dituding tidak peduli pemenuhan gizi keluarga hanya karena mampu menyisihkan uang untuk meredam penat melalui rokok.

Untuk menjelaskan secara ilmiah, misalnya terkait konsumsi susu yang cukup dapat menambah nutrisi, menjadi penting untuk pencapaian Angka Kecukupan Gizi (AKG), ini memang belum sepenuhnya optimal. Terutama kecukupan gizi anak ketika 1.000 hari pertama kelahiran (HPK). 

Kekurangan gizi dalam 1.000 HPK bisa menyebabkan gangguan-gangguan kesehatan. Ketika hal tersebut diabaikan, maka kemampuan dan produktivitas SDM pada masa depan niscaya terganggu. Di sinilah fenomena stunting mendapatkan konteksnya. Terkait paradigma prioritas ASI dan susu formula.

Orang tua perokok, bukan tidak paham tentang prioritas kebutuhan susu, telur, atau sumber gizi lainnya. Hanya saja,  gerakan kampanye antirokok kerap memanfaatkan isu stunting dengan framing negatif terhadap rokok dan perokok, sehingga variabel lain dari persoalan stunting tertutupi. Salah satunya terkait aksesibilitas sumber-sumber gizi dan pangan.

Dalam hal pemenuhan target gizi ini tentu saja bukan hanya peran orang tua yang dituntut, pemerintah dan stakeholder pangan punya andil penting pula dalam penyediaan dan pemerataan gizi.

Di dalam konteks ini, kita mencoba meneroka persoalan produk konsumsi yang didorong sebagai komoditas kebutuhan protein di masyarakat. Dimana menurut ahli gizi di Indonesia, prevalensi stunting ini disebabkan konsumsi protein hewani dan susu pada balita masih rendah di masyarakat kita, termasuk gangguan gizi lainnya.

Perlu diketahui lagi, variabel masalah gizi juga terjadi karena adanya penurunan aktivitas fisik masyarakat, gangguan pola makan anak, serta kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi kandungan gula garam lemak. Hal tersebut adalah faktor yang berkontribusi pada tiga masalah gizi (triple burden of malnutrition) keluarga di Indonesia.

penjual telur dan rokok

Ketiga, masalah gizi tersebut terkait kekurangan gizi, kelebihan berat badan, dan kekurangan zat gizi mikro dengan anemia. Jika tidak ditangani secara baik dan sesegera mungkin, hal ini akan berkontribusi pada berbagai penyakit kronis di kemudian hari. Ini yang penting menjadi perhatian semua pihak, tidak lantas semua itu dikaitkan dengan asap rokok dan belanja rokok di masyarakat.

Pertanyaan lanjutannya, apakah pemerintah sudah menciptakan keadilan pangan dan gizi seturut amanat regulasi? Anggap saja belum ya, bukan tidak. Buktinya proyek food estate yang memakan dana triliunan rupiah masih terus dipertanyakan.

Namun, dalam upaya menekan angka stunting, pemerintah tetap melakukan upaya yang signifikan. Ini yang menarik. Setidaknya, sejauh ini angka stunting sudah turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di 2022 berdasar data SSGI, implikasinya belum memenuhi yang ditargetkan WHO.

Tentu perkara pemenuhan gizi ini bukan hanya soal angka. Sama halnya terkait pemenuhan protein untuk masyarakat, mestinya tak hanya berfokus pada perkara belanja telur jika sekadar untuk menjawab target angka. Melainkan tentang bagaimana negara menciptakan iklim inklusif atas kebutuhan protein di masyarakat. Jika suatu masyarakat tercukupi proteinnya dari ikan laut, ya tidak harus dipaksakan berdasarkan standar protein telur.

Lucunya, di era post truth ini, glorifikasi terhadap telur ayam di Indonesia terasa lebih merona narasi penekanannya dibanding dengan dorongan sumber protein lain, misalnya kacang merah atau kacang hitam, yang selain berprotein tinggi, lemak sehat, dan mengandung antosianin untuk meningkatkan fungsi otak.

Terus, ini sebetulnya ada kepentingan apa di balik komoditas telur lebih dipopulerkan dibanding dengan lainnya? Di sinilah kecurigaan kita terhadap permainan kartel pangan, dalam upaya menstandarkan daftar belanja domestik.

Kita awali dari apakah telur sebagai komponen gizi masyarakat kita menyehatkan? Pertanyaan ini didasarkan tendensi saya yang perokok memang, mengingat ramainya isu yang menyandingkan perbandingan belanja telur dengan rokok.  Sementara, rokok sebagai produk legal juga ada pada posisi kebutuhan yang menunjang kelangsungan belanja protein untuk keluarga.

Sumber protein yang dikonsumsi sehari-hari sejatinya tidak selalu aman juga bagi kesehatan, memiliki kandungan berisiko. Kita bongkar saja ya, pada sektor telur ayam misalnya, pemberian pakan ternak bercampur Antibiotic Growth Promoters (AGP) jelas berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Penggunaan AGP ini sudah dimulai sejak 1950 di Inggris, dan mulai dilarang sejak masuk tahun 2000. 

Kerja hulu-hilir industri peternakan; industri telur dan pakan ternak misalnya, dalam upaya mengejar keuntungan yang cepat-berlipat patut dipertanyakan jika masih menggunakan AGP. Apakah kesehatan konsumen juga menjadi prioritas? Atau sebaliknya, itu urusan lain di luar profit yang harus diraup untuk menambal beban lainnya.

Bukan lagi rahasia memang, bahwa residu antibiotik pada jaringan otot ayam atau telur (akibat pemberian AGP), membuat manusia mengalami resistensi (kebal) pada beberapa jenis antibiotik. Ditambah lagi, ada pemahaman keliru yang beredar luas di masyarakat.

Awam beranggapan, ayam disuntik hormon pertumbuhan sehingga berpengaruh pada pertumbuhan manusia yang mengkonsumsi dagingnya. Muncul pemahaman, anak wanita lebih cepat mengalami datang bulan atau anak sekarang cenderung banyak yang obesitas. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, pakan ayam dicampur antibiotik.

Menurut seorang ahli kesehatan, jika manusia mengonsumsi daging atau telur ayam yang diberi pakan AGP, maka dampaknya akan mengalami resistensi pada beberapa jenis antibiotik. Pemakaian AGP pada pakan ternak, menuntut manusia untuk mencari antibiotik-antibiotik baru. Inilah keniscayaan atas pengetahuan dan budaya manusia.

Belum lagi jika kita jelaskan unsur Aflatoksin B1 yang termakan oleh ternak yang bersumber dari fungi aspergillus flavus, akan dimetabolisme menjadi aflatoksin M1 yang terdeposisi dalam daging, susu dan telur.  Apa itu tidak berisiko bagi konsumen?

Aflatoksin, terutama aflatoksin B, merupakan aflatoksin yang paling toksik ; aflatoksin ini termasuk golongan senyawa yang bersifat karsinogenik, genotoksik, hepatotoksik pada manusia.

Pada hewan bersifat nefrotoksik, sehingga menyebabkan gangguan fungsi metabolisme, absorbsi lemak, penyerapan unsur mineral, dan juga menyebabkan perdarahan, memar, kerusakan kromosom dan kegagalan program vaksinasi.

Selain itu aflatoksin bersifat imunosupresif yang mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh. Walaupun jawaban simplifikatifnya kembali ke soal perawatan atau pengelolaan ternak yang harus terjamin baik. Maka, sepadan pula dengan pertanyaan bagaimana negara mengelola APBN untuk memenuhi target pembangunan dan pemerataan kesejahteraan. 

Jika lebih banyak kebocorannya, niscaya berdampak terhadap rakyat yang bergantung dari tata kelola yang dikawal pemerintah. Kinerja pengawasan pemerintah terhadap sumber-sumber pangan dan pendistribusian pangan ini yang perlu kita cermati lanjut.

Jangan sampai, hanya karena tidak beres dalam hal tata kelola pangan dan gizi, lantas saja rokok dan perokok yang dijadikan bantalan untuk menutupinya.