Tobeko menjadi toko tembakau dan rokok terbesar di Jogja. Ratusan jenis rokok serta beragam varietas tembakau dijual di sini.
Namanya Budi Nugroho. Jejak zaman terlihat dengan jelas di setiap kerutan di wajahnya. Matanya teduh, menandakan tumpukan pengalaman tersimpan di sana. Badannya kokoh berisi. Sedikit mengintimidasi siapa saja yang kali pertama berjumpa dengannya. Orang banyak mengenalnya sebagai Pak Anang dan Tobeko adalah salah satu “anak kesayangannya”.
Saya menemui beliau pada Januari 2021, beberapa waktu setelah pandemi dinyatakan tak lagi lethal seperti sebelumnya. Awalnya saya mengira akan diterima di dalam “etalase” Tobeko. Namun, sore itu, saya diajak ke belakang rumahnya yang menyambung dengan “anak kesayangannya” itu.
Begitu masuk ke dalam rumahnya, saya disambut pemandangan yang menyenangkan. Semua serba warna cokelat. Seperti “tembakau matang” yang siap dinikmati siapa saja. Seakan-akan saya masuk ke dalam dunia Pak Anang. Dunia tembakau. Yang menjadi jualan utama Tobeko. Toko legendaris itu.
Legenda Tobeko di Jogja
Waktu itu, circa 2020, setelah pandemi menghantam Indonesia, terjadi sebuah “ledakan”. Anak-anak muda mencoba mengisi waktunya dengan sebuah kegiatan kuno. Sebuah kegiatan yang bahkan lebih tua ketimbang republik ini dan menjadi embrio aktivitas menyenangkan dan menenangkan yang kita tahu sekarang: merokok.
Ledakan toko tembakau di Indonesia, khususnya Jogja, memang keniscayaan. Setelah pandemi, perokok dihantam oleh kenyataan pahit lainnya: kenaikan cukai. Perokok, seperti layaknya makhluk hidup yang terjebak dalam situasi survival, beradaptasi. Maka, tingwe menjadi pilihan. Yang mana, secara otomatis, menaikkan pamor tembakau eceran maupun pabrikan seperti Violin atau Virgin yang diproduksi oleh PT Taru Martani.
Dan, kala itu, hanya ada 2 toko tembakau yang menduduki top of mind perokok Jogja. Ya, 2 toko ini sama-sama menempati posisi pertama karena status legenda yang melekat. Mereka adalah Toko Wiwaha yang sudah berusia 103 tahun dan Tobeko, yang membawa aura muda ke dalam palagan per-tembakau-an.
Ya, banyak orang mengenal Tobeko sebagai toko ritel rokok dengan koleksi merek yang luas. Namun, toko ini menjadi legenda dengan tulang punggungnya adalah tembakau. Dan, momen pandemi, kenaikan cukai, dan tren tingwe semakin mengangkat derajat Tobeko ke level yang lebih tinggi lagi.
Tobeko yang mampu “membaca zaman”
Tingwe, sebagai budaya, mungkin akan bertahan sangat lama. Namun, sebagai tren, akan ada saatnya ombak pasang menjadi surut.
Pak Anang, dengan senyumnya yang lebar dan menenangkan, menjelaskan arus zaman. Jadi, dari sisi bisnis, semakin banyak toko tembakau, potongan “roti yang dinikmati” akan semakin kecil. Margin keuntungan mengecil.
“Nanti, ketika selisih keuntungan cuma Rp1.000, mungkin banyak toko yang tidak bisa bertahan. Mulai capek karena keuntungannya makin kecil.”
“Cuma yang besar yang bisa bertahan, Pak?”
“Jelas. Kalau keuntungannya cuma Rp1.000, mending jualan rokok eceran. Untungnya bisa Rp1.500,” jawab Pak Anang setelah menyalakan satu batang rokok dan mengisapnya dalam-dalam.
Memang, jika diperhatikan, tren tingwe sudah mengalami penurunan di awal 2021. Mungkin, tidak banyak yang bisa membaca arus zaman. Namun, Pak Anang mampu melakukannya.
Januari 2021, Tobeko bertahan dengan lima cabang di Jogja dan satu di Solo. Pak Anang memprediksi tren ini akan “habis” pada akhir 2021. Dan, prediksinya terbukti jitu. Setelah 2021, tren kembali ke rokok murah. Orang mengenalnya sebagai “rokok kelas 2”. Nah, di posisi ini, Tobeko sudah bersiap dan memang menjadi salah 1 spesialisasi mereka. Maksudnya, kalau mencari rokok dengan “nama aneh”, kamu akan menemukannya di Tobeko. Yang mana, toko lain belum tentu punya.
Kemampuan membaca arus zaman ini membuat Tobeko, dalam hal ini, Pak Anang, bisa bertahan. Dan kini, di 2023, Tobeko sudah membuka 2 cabang baru, yaitu di daerah Jalan Wates dan Jalan Kaliurang.
Tobeko yang bisa dengan mudah “menempel”
Namun, apa yang membuat Tobeko bisa dengan cepat masuk ke dalam kotak top of mind perokok? Selain kemampuan menyediakan tembakau dan rokok secara lengkap, kita juga perlu menganalisisnya dari sisi marketing. Khususnya strategi penamaan toko.
Erika Voeller, seorang brand strategist, mengungkapkan setidaknya ada 5 karakter dari sebuah brand yang kuat. Mari menggunakan Tobeko sebagai alat untuk melakukan identifikasi dari pendapat Erika tersebut.
Pertama, distingtif. Maksudnya, sebuah brand itu wajib stand out from the competition. Nama yang distingtif itu akan menghilangkan kebingungan di antara target audiences. Tobeko? Sudah jelas. Namanya mudah unik dan mudah diingat. Satu kata, tapi bisa menggambarkan industri di mana mereka menjadi besar.
Kedua, autentik. Konsumen itu selalu ingin engage dengan sebuah brand yang benar-benar mewakili misi, misi, dan core values. Misalnya, konsumen menemukan rokok murah dan tembakau enak di Tobeko. Sudah sangat sesuai dengan kebutuhan konsumen, bukan?
Ketiga, mudah diingat. Erika Voeller punya istilah sendiri untuk poin ini, yaitu short and sweet. Pendek dan manis. Mudah diucapkan dan dicari secara online. Intionya sih catchy di telinga. Persis seperti Nike atau Starbucks. Tobeko? Kamu bisa memenggal nama “Tobeko” menjadi 3 bagian: to, be, dan ko. Jika diucapkan, terasa simpel dan manis.
Keempat, tahan banting. Sebuah brand harus tahan banting menghadapi perubahan. Khususnya perubahan strategi dagang, perubahan produk (yang masih 1 field usaha), dan ekspansi. Tobeko sudah teruji. Ketika ia bertahan dengan 2 lini kekuatan, yaitu tembakau TIS dan rokok murah. Dan, sekarang, ia berkembang semakin besar.
Kelima, bisa dipertahan. Maksudnya, sebuah brand itu bisa dipertahankan secara legal. Brand sebaiknya tidak meniru. Beda dengan autentik yang merujuk ke core value. Bisa dipertahankan mengarah ke keaslian sebuah brand itu sendiri. Dan, kok kayaknya nggak ada Tobeko lain selain Tobeko-nya Pak Anang.
Bakal semakin besar
Kebutuhan akan “rokok kelas 2” membuat Tobeko akan bertahan dalam waktu lama. Bahkan, jika dugaan saya tidak meleset, mereka akan semakin membesar. Ingat, ketika tahun bertambah, potensi kenaikan cukai selalu menjadi wacana. Saat cukai semakin menyebalkan dan menimbulkan derita, rokok murah akan menjadi primadona.
Selain itu, ingat selalu bahwa tingwe itu sebuah tren. Dan, selayaknya tren, ia bisa terulang kembali. Mengingat kebiasaan perokok di Indonesia yang eksploratif dan berani mencoba hal baru, tren tingwe pasti akan kembali. Oya, saat ini, tembakau dengan rasa sudah menjadi pesaing vape. Jadi, yah, saya yakin, Tobeko akan ada di pusat pusaran tren tingwe yang akan mampir sekali lagi.