ganjar petani tembakau
OPINI

Ganjar Pranowo dan Gimmick Pro Tembakau

Ganjar Pranowo, calon presiden yang diusung oleh PDI Perjuangan untuk pilpres 2024 kerap kali menyerukan keberpihakan kepada petani tembakau. 

Hal ini bukanlah hal baru bagi yang mengikuti kiprah politik Ganjar Pranowo. Bahkan ketika ia hendak maju menjadi Gubernur Jawa Tengah silam, Ganjar dijuluki sebagai Senopati Tembakau oleh para petani tembakau di Temanggung karena dalam kampanyenya senantiasa menjanjikan akan membela petani tembakau.

Namun, dalam perjalanannya agak sulit bagi Ganjar Pranowo untuk membela kepentingan petani tembakau karena kebijakan pertembakauan lebih banyak ditentukan di pusat. 

Kini, ketika hendak maju dalam pilpres ia juga memikat stakeholder di bidang pertembakauan, terutama petani tembakau yang berada di hulu industri hasil tembakau. 

Dalam publikasi yang dibuat dengan tajuk “Simalakama Petani Tembakau” Ganjar menyatakan bila persoalan tembakau adalah soal peluang dan keberpihakan. Peluang karena di tanah air Indonesia merupakan tempat tembakau-tembakau terbaik di dunia hadir. Keberpihakan artinya yakni kemauan bagi kita, pemerintah dalam mengawal aliran pendapatan sampai kepada petani secara baik. Bukannya malah petani yang terkena imbas dari kebijakan yang ada. 

Dampak kenaikan cukai misalnya, membuat setoran yang dibayar oleh pabrik kepada pemerintah meningkat, tapi dampak seriusnya justru kepada petani karena pabrik harus makin berhemat komponen biaya. Salah satunya ya, biaya bahan baku yakni tembakau dan cengkeh. 

Melihat dari pekerja yang terlibat dalam industri hasil tembakau tanah air memang relatif besar karena terdapat setidaknya 7 juta orang petani dan keluarganya. Hal itu belum ketambahan pekerja pabrik dan keluarganya, petani cengkeh dan keluarganya, serta usaha-usaha lain yang berkaitan dengan industri ini. Kesemua itu diikat dari adanya industri hasil tembakau. 

Tetapi apakah benar nantinya seorang Ganjar Pranowo berani pasang badan untuk melindungi hak-hak petani tembakau?

Setidaknya, sama halnya ketika Gus Dur menjadi presiden yang membubarkan BPPC yang memonopoli perdagangan cengkeh dan menutup keran impor cengkeh sehingga harga cengkeh menjadi melambung? Tak hanya sampai sana, karena Gus Dur juga menerbitkan peraturan untuk memberikan hak beriklan bagi produk rokok pada jam yang telah ditentukan.

Sayangnya, keberpihakan membutuhkan keberanian untuk menerbitkan sebuah regulasi yang berlawanan dengan suara dari pihak luar. Utamanya kepentingan asing yang ingin Indonesia tidak menjadi sentra industri hasil tembakau. Keberpihakan artinya membuat regulasi yang mampu mensejahterakan petani tembakau dan cengkeh yang berada di hulu industri hasil tembakau. 

Tentang Cukai dan Daya Beli Konsumen

merokok

Dalam konteks kekinian lebih rinci keberpihakan artinya keberanian bagi presiden terpilih untuk meninjau lagi kesanggupan industri untuk menahan laju kenaikan cukai hasil tembakau. Bila laju kenaikan cukai dilakukan setiap tahun tanpa diimbangi dengan kemampuan negara untuk meningkatkan pendapatan rakyatnya, maka produk rokok bercukai akan terkena imbasnya karena tidak lagi terbeli oleh konsumennya. 

Konsumen akan mencari produk alternatif yang lebih murah, di antaranya melinting sendiri dan yang terbanyak menjadi pilihan adalah beralih untuk mengonsumsi rokok ilegal yang ditawarkan dengan harga terjangkau dan mudah diperoleh. 

Mengurangi Ketergantungan Impor Bahan Baku

impor bahan baku

Langkah ini efektif untuk mensejahterakan rakyat. Seperti halnya yang dilakukan oleh Gus Dur untuk menutup keran impor cengkeh yang membuat harga cengkeh menjadi naik.

Demikian halnya dengan tembakau, bila keran impor dibatasi, maka perlu upaya keras dari pemerintah untuk melakukan penelitian dan mengembangkan tembakau-tembakau dengan karakteristik tertentu yang dibutuhkan industri untuk kemudian dikembangkan di tanah air. Hal ini cukup berhasil dilakukan di NTB yang mulai membudidayakan tembakau jenis virginia untuk kebutuhan rokok kretek jenis MILD

Akses Pupuk Bersubsidi bagi Petani Tembakau

Walaupun tembakau dinyatakan sebagai komoditas strategis perkebunan, tetapi itu hanyalah di atas kertas. Dalam praktiknya, kini petani tembakau seperti dibiarkan saja menghadapi anomali iklim yang sulit diprediksi. Termasuk tidak lagi dapat menerima pupuk bersubsidi. 

Padahal, kualitas daun tembakau sangat ditentukan ketepatan dalam waktu membudidayakan. Tembakau terbaik justru dapat dihasilkan petani apabila di akhir masa panen tanaman tembakau tidak terkena hujan. Di hari-hari ini, anomali cuaca makin sulit ditentukan sehingga sulit bagi petani menentukan masa tanam dan panen yang tepat. Artinya, menanam tembakau sekarang menjadi sangat berisiko. 

Dalam pengusahaan yang penuh risiko itu pula, subsidi pupuk tidak diberikan. Bahkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), jarang sampai kepada petani dalam mendukung pembudidayaan tembakau. Yang ada adalah agenda-agenda alih tanaman dari tembakau ke tanaman lain. 

Padahal, keputusan petani untuk menanam tembakau tidaklah asal. Seperti halnya di Temanggung, daerah yang kerap kali didatangi Ganjar, di sana tanah yang ada tidak cocok untuk ditanami komoditas lain. Bahkan rumput sulit tumbuh selama kemarau. Hanya tembakau satu-satunya yang dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan pendapatan yang baik pula bagi keluarga petani. 

Tetapi, semua kebijakan untuk membela petani tembakau bukanlah hal yang populer bagi seorang pemimpin Indonesia ke depannya. Beranikah Ganjar menepati janji-janjinya kepada petani tembakau itu atau pro tembakau hanyalah gimmick untuk mendapatkan suara petani tembakau?