Produk tembakau alternatif sebagai produk substitusi kerap kali diklaim lebih aman dari rokok konvensional. Alasan promotifnya karena perbedaan teknis mengonsumsinya yang tanpa dibakar. Konon, rokok alternatif lebih tidak ada tar dibanding udud kretek yang dikenal eksis lebih dulu, jauh sebelum Sultan Agung mendapat halaman khusus dalam sejarah Jawa sebagai raja yang hobi sebats.
Namun, benarkah produk substitusi yang juga berkandungan nikotin itu lebih tidak berisiko? Sebagaimana untuk jenis e-cig atau vape yang kerap menyublimkan tagline heat not burn, yang karena teknisnya diuapkan lantas lebih menyehatkan, sehingga, pemerintah tidak perlu melihat ada urgensi untuk membuat aturan secara khusus?
Sementara faktanya, produk tembakau alternatif yang lazim beredar ya tetap menggunakan tembakau. Di antaranya Chewing Tobacco (Tembakau Kunyah), Snuff Tobacco (Tembakau Hisap), Snus (Tembakau tempel), Dissolvable Tobacco. Beberapa jenis produk yang cukup masif di pasaran ini, sejatinya bukan produk baru baru amat sih. Pada tahun 80-an di negara-negara Eropa, melalui riset Wanda Hamilton diungkap secara gamblang akan efek kesehatan yang dialami para pengguna produk tembakau alternatif (koyo nikotin).
Bahkan, dalam periode masifnya di Indonesia, tidak sedikit pakar yang menyoroti bahaya dari produk vape atau e-cig yang kerap mengandalkan narasi sebagai pengentas ketergantungan rokok. Rokok elektrik digadang-gadang tidak berbahaya karena tidak beresidu.
Faktanya, Ellen Rome, M.D., dokter anak dan kepala Pusat Pengobatan Remaja di Cleveland Clinic Children’s, Ohio, AS menyebutkan unsur bahayanya bagi kesehatan. Vape umumnya mengandung propilen glikol dan gliserol yang dapat terurai menjadi formaldehyde dan acetaldehyde yang dikenal sebagai karsinogen. “juga bisa mengandung logam seperti timah, nikel, dan arsenik, yang diketahui berbahaya bagi tubuh manusia,” imbuhnya.
Artinya, di balik segala klaim ‘lebih aman’ itu ada persoalan yang tak sesederhana yang kita bayangkan. Untuk itu pula, produk alternatif tersebut termasuk diatur ke dalam PP 109 tahun 2012 dan dalam konteks pungutan cukainya juga diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan mengenai tarif cukai tembakau sejak 2017. Hingga kemudian pada 18 Juli 2018, Bea Cukai menyerahkan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) perdana pada pengusaha produk tembakau alternatif.
Lucunya, beberapa kalangan yang kerap bermain isu kesehatan dalam melariskan produk substitusi tersebut, mendaku keberatan terhadap pungutan cukai senilai 57% yang dinilai terlalu tinggi. Dianggap sebagai bukti bahwa pemerintah Indonesia masih menganggap produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang sama tingginya dengan rokok konvensional.
Padahal ya produk konsumsi mana sih yang tak memiliki faktor risiko. Dari sisi keberatan itu justru semakin memperjelas adanya motif bisnis yang tak sesederhana isu kesehatan yang dijadikan tameng untuk mendiskreditkan rokok.
Seturut itu, justru yang muncul dan terus mengemuka adalah soal isu revisi PP109. Dimana puncaknya pada Juli 2022 lalu, PP yang mengikat semua produk berbasis tembakau itu justru bertendensi politis yang mengarah pada sigaret konvensional.
Dimana melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (KEMENKO PMK) secara resmi telah melakukan uji publik revisi PP 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan dengan beralasan dilakukan demi masa depan anak bangsa.
Muatan pokok pada revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 meliputi: Ukuran pesan bergambar diperbesar; Rokok elektrik diatur; Iklan, promosi, dan sponsorship yang berkaitan dengan produk rokok diperketat; Penjualan rokok batangan dilarang; serta Peningkatan fungsi pengawasan pengendalian konsumsi tembakau.
Sementara, PP 109 tanpa perlu direvisi saja sudah sangat ketat dan memukul stakeholder yang menggantungkan hidupnya dari rokok. Setidaknya sejak tahun 1999, munculnya regulasi tentang rokok sudah banyak pabrikan rokok kecil yang bangkrut, selebihnya terseok-seok akibat naiknya tarif cukai setiap tahunnya dan semakin mengarah pada isu penyeragaman tarif (single tariff) yang berimplikasi pada terjadinya oligopoli ekonomi, dimana hanya produsen besar saja yang mampu bertahan.
Di dalam konteks ini, mestinya pemerintah lebih memikirkan nasib pabrikan rokok yang terdampak regulasi. Ketimbang menambah beban melalui revisi PP 109 yang muatannya menghamba pada politik pengendalian tembakau global (FCTC).
Sebagaimana yang kita pelajari melalui tesis Nicotine War, bahwa di balik isu kesehatan yang menjadikan rokok sebagai global enemy, terdapat kepentingan bisnis nikotin yang sempat gagal atas klaim paten nikotin. Lantas bermanuver melalui produk tembakau alternatif yang sejauh ini di Indonesia belum ada aturannya secara khusus. Bukan apa-apa, produk alternatif yang kerap menggunakan isu kesehatan itu di Amerika Serikat justru telah banyak makan korban dari kalangan remaja.
Mengingat lagi, di banyak negara lain, tidak hanya di Asia, produk substitusi rokok itu telah diatur sangat ketat peredarannya, bahkan sampai tingkat pengawasannya. Pemerintah kita seharusnya lebih cermat dan tanggap dengan sikap preventif dari dari negara-negara yang mengatur ketat produk alternatif rokok.
Sementara di Indonesia, agenda pengendalian konsumsi rokok dimana targetnya menekan angka produksi, justru membawa dampak kontraproduktif dengan maraknya peredaran rokok ilegal, menjadi ironi dengan target pengendalian.
Jika memang pemerintah serius ingin menekan prevalensi perokok anak, mestinya bukan revisi PP 109 yang diulungkan. Lebih baik jika aturan untuk produk tembakau alternatif itu yang dibuat. Ya dengan catatan, buang dulu itu mental politik tukar tambah.