legacy jokowi
OPINI

Legacy Pertembakauan Jokowi, Pembunuh atau Penghidup IHT?

Era pemerintahan Jokowi adalah masa-masa mengenaskan bagi Indutri Hasil Tembakau (IHT). Realitas Industri Hasil Tembakau ini, terutama sektor kretek yang sangat terpukul oleh regulasi. Terhitung sejak 2015, Jokowi sudah menaikkan cukai sampai 70%. Akhir tahun 2015 ini pula menjadi gong kenaikan tarif cukai rokok di atas 10%.

Jika ditilik dari sisi penerimaan negara dari sektor cukai rokok, sejak tahun 2013, tercatat penerimaan cukai selalu berada di atas Rp 100 triliun. Target realisasinya pun meningkat sampai Rp 200 triliun. Meski besar devisa yang didapat, pemerintah melalui Kementerian Keuangan justru mengeluarkan peraturan yang tidak berpihak kepada industri rokok.

Dalam perkara cukai, kebijakan kerap dibuat dengan tujuan mendapatkan dana segar untuk mengongkosi pembangunan negara–selain untuk kepentingan rezim kesehatan, yakni pengendalian konsumsi rokok.

Sementara, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk daerah penghasil cukai sudah diatur ke dalam PMK serta juklak pengalokasiannya. Namun, dalam pelaksanaannya di banyak daerah, tidak berjalan dengan baik.

Selain kerap kali tidak tepat sasaran, sudah sejak lama sebenarnya politik anggaran di pusat dan daerah membuat tujuan dan keberadaan DBHCHT menyimpang dari manfaat dan peruntukannya.

Bahkan, antirokok pun turut menikmati dana dari hasil tembakau. Dana segar yang diincar dari industri rokok dianggap sebagai upaya rasionalisasi kampanye kesehatan yang mengandalkan narasi negatif rokok. Di era Jokowi, gerakan antirokok mendapat peluang mulus untuk mencapai beberapa goal politiknya. 

Penyusunan kebijakan terkait tarif CHT (Cukai Hasil Tembakau) nyaris tidak menyentuh kepentingan stakeholder pertembakauan, yaitu pengendalian konsumsi rokok, penerimaan negara, dan pemberantasan rokok ilegal. Termasuk regulasi yang mengamanatkan alokasi minimal 50% dari CHT untuk program JKN

Selain diperas dari sisi devisanya ini justru memperkuat klaim antirokok bahwa rokok adalah pembunuh dan musuh kesehatan. Sehingga harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perkara kesehatan masyarakat. Perkara kesehatan yang kompleks dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya, justru dibantalkan kepada industri rokok.  

Pada tahun politik menjelang periode kedua Jokowi naik, cukai produk tembakau memang tidak naik. Angka peredaran rokok ilegal pun kecil. Di tahun ini menjadi bukti bahwa regulasi cukai memiliki dampak serius bagi iklim usaha rokok.

Namun, di periode kedua itu Joko Widodo bisa diklaim sebagai presiden dengan beban janji politik paling besar dalam sejarah Indonesia.Di seluruh basis pendukungnya, Ia menjanjikan keberpihakan jika menang. Termasuk pada petani tembakau di Temanggung, yang turut memenangkan Jokowi di pemilu 2019.

jokowi meninggalkan legacy buruk untuk tembakau

Tetapi sekali lagi, itu hanyalah modus politik. Pasca dirinya terpilih lagi, regulasi cukai pada periode 2020-2021 mengalami lonjakan kenaikan tarif yang gila-gilaan yang menyentuh 23%. Periode ini menjadi periode paling menyesakkan bagi petani, pabrikan, juga konsumen yang sebagian besar beralih. Peredaran rokok ilegal turut melonjak persentasenya.

Ketika Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Atas terbitnya Perpres ini, walhasil dampaknya tak hanya mengancam periuk petani yang panenannya tak terserap pabrikan. Lantaran pabrikan terbebani pembelian cukai yang naik tarifnya, artinya beban produksi bertambah.

Angka produksi rokok golongan satu pun mengalami penurunan signifikan. Efisiensi terjadi di semua golongan industri rokok. Terlebih ketika Indonesia dihantam pandemi. Kebijakan pembatasan sosial menambah buruk keadaan. Perlambatan ekonomi semakin terasa di semua lini usaha. Daya beli lesu.

Kemudian pasca pandemi di tengah upaya pemulihan ekonomi, pada akhir 2022 lalu, kenaikan tarif CHT untuk 2023 dan 2024 dipukul rata 10% yang membuat usaha rokok harus ekstra bersiasat di tengah daya beli publik yang terguncang pasca naiknya BBM dan dicabutnya sejumlah subsidi pupuk, hal ini jelas berdampak terhadap inflasi kebutuhan pokok.

Salah satu yang bisa dilihat sebagai legacy pertembakau era Jokowi adalah dengan semakin rampingnya golongan cukai rokok. Jika diukur dari tahun 2009 terdapat 19 layer, pada 2022 menjadi 8 layer. Kondisi ini sejalan dengan target politik antirokok terkait isu simplifikasi cukai yang ujungnya adalah single tarif. 

Jika single tarif itu terjadi, tentu sektor industri rokok kecil yang akan kepayahan dan mati, karena kalah secara modal dibanding industri (big three) besar. Di sinilah, disparitas harga untuk produk substitusi mendapatkan konteks pasarnya.

Ditambah dengan dilancarkannya kerja politik antirokok dalam menggolkan target revisi PP 109, di antaranya larangan menjual rokok secara ketengan dan pembatasan promosi di internet. Ini jelas memberi multiply effect bagi sektor usaha yang secara tak langsung  bergantung dari rokok.

Dampak besar dari tekanan regulasi ini ditambah lagi dengan buruknya cuaca yang merongrong petani tembakau. Persoalan gagal panen dari tahun ke tahun terjadi di sejumlah daerah, seperti NTB misalnya. Terakhir di Jawa Timur, wilayah Jombang dan Jember. Lalu, mitigasi apa yang bisa pemerintah lakukan terhadap sektor yang berkontribusi besar bagi kas negara ini?

Pada era Jokowi ini pula politik diversifikasi mulai terasa pelaksanaannya. Muncul di beberapa daerah permintaan terhadap talas beneng sebagai pengganti tembakau untuk tujuan ekspor. Tidak sedikit petani yang beralih tanam, mengingat harga tembakau yang anjlok dan biaya produksi yang tak seimbang dengan pendapatan.

Regulasi yang diterbitkan pada rezim yang menjunjung slogan kerja kerja kerja ini justru menyapu satu-satu lapangan kerja bagi masyarakat yang bergantung pada industri rokok. Sebagaimana terakhir yang kita ketahui dengan tutupnya pabrik kretek Apache di Blitar. 

Disusul pula dengan turunnya penerimaan Pada 2023 hingga semester I, turun hingga -12,45%. Angka tersebut terjadi pada bulan Mei 2023. Bahkan, untuk pertumbuhan tahun per tahunnya, turun mencapai -33,50%. Ini menjadi indikator genting atas nasib IHT di Indonesia, dan preseden buruk atas legacy pertembakauan di era Jokowi.

Apa nanti yang bisa dibanggakan dari matinya sektor kretek, bagaimana wajah IHT yang digadang-gadang pemerintah sebagai sektor padat karya nan strategis. Jika kemudian berakhir menghiasi buku kronik pertembakauan dan pelengkap isi museum belaka.

Setelah itu publik luas barulah tersadarkan, bahwa ada yang lebih membunuh hajat hidup masyarakat di balik segala narasi negatif terhadap rokok yang dicap membunuh.