Mitos Omong Kosong Bahwa Vapor Bikin Perokok Pindah ke Lain Hati
Review Rokok

Mitos Omong Kosong Bahwa Vapor Bikin Perokok Pindah ke Lain Hati

Beberapa tahun yang lalu saya menjadi bagian dari sebuah project di sebuah kabupaten di DIY. Tugas saya adalah merancang sebuah konten dan menjaga engagement konten tersebut di media sosial. Sebuah tugas yang mungkin terlihat sederhana, tetapi rumit ketika menjalankannya. Social Media Specialist pasti paham.

Seperti biasanya, saya agak sulit lepas dari aktivitas menyeruput kopi dan membakar rokok. Apalagi ketika harus merancang konten, lalu menulis. Dua “kawan” itu harus selalu ada. Orang bilang, kopi dan rokok adalah sejoli. Dua unsur yang membuat neuron-neuron di otak bekerja lebih giat.

Nah, masalahnya adalah, saya bekerja di sebuah ruangan ber-AC. Bahkan ada tanda larangan merokok di sana. Sebagai perokok yang baik, tentu saya menghormati larangan tersebut. Kalau mau merokok, saya harus meninggalkan ruangan. Jadi, setiap kali menulis, saya memilih berada di ruang tamu. Sebuah kondisi yang agak memaksa saya beradaptasi dengan hape untuk menulis.

Vapor dan “paksaan halus”

rokok dan vapor

Ketika mengemban tanggung jawab itu, saya harus membawahi beberapa anak muda. Orang-orang yang bisa segera menerjemahkan konsep yang telah disusun menjadi konten lanjutan untuk beberapa media sosial. Nah, ketika saya masih setia ditemani sejoli kopi dan rokok, anak-anak muda ini sudah beralih ke vapor. Ada yang menggunakan mod, ada juga pod (device yang terkenal beberapa bulan kemudian).

Melihat saya masih setia dengan Djarum Super dan LA Ice, anak-anak muda ini mulai menggoda saya. Pertanyaan pertama yang sudah biasa terlontar adalah, “Kenapa suka Djarum Super, Mas?”

Jawaban untuk pertanyaan ini mungkin terdengar aneh. Jadi, saya sudah merokok Djarum Super sejak awal SMA. Iya, masih di bawah umur. Maafkan saya dan mohon jangan ditiru. Saya menyukai merek rokok ini karena aroma dan rasanya yang agak manis. Selain itu, mendapatkan asap yang tebal memberi sensasi sendiri.

Nah, tepat pada saat itu, mereka merespons. “Kalau cuma ngejar asap, mending ganti vapor, Mas. Masak nggak mau nyoba.” Iya, itu jawaban mereka. Sebuah jawaban yang menunjukkan kalau mereka nggak menyimak penjelasan saya soal aroma dan rasa.

Jujur saja. Saya sebetulnya tertarik mencoba vapor. Bukan karena soal rasa atau sensasi asap tebal. Ketertarikan itu lahir karena lingkungan. Tapi, saya takut pindah ke lain hati. Maklum, saya itu termasuk “petualang rasa”. Saya agak mudah tertarik mencoba rokok mereka lain hanya karena penasaran dan mood saat itu.

Melihat saya tetap teguh kepada “dua sejoli” di atas, anak-anak muda itu sengaja menyorongkan device vapor masing-masing. Saya agak “dipaksa” mencoba mod, lalu pod. Pokoknya saya tidak mau. Titik.

Awal mencoba vapor

Awalnya adik dan sepupu saya. Mereka sudah mencoba vapor dan jatuh cinta kepadanya. Adik saya selalu menyimpan vapor di pouch yang dia bawa. Sementara itu, sepupu saya menggunakan mod dengan merek Hexohm. Katanya, saat itu, Hexohm adalah yang terbaik. Selain lebih mahal ketimbang merek lainnya.

Selama beberapa bulan saya memikirkan betul ajakan untuk pindah ke vapor. Iya, hal remeh seperti ini saja saya pikirkan secara mendalam. Dasar Cancer.

Pada akhirnya, saya meniatkan diri untuk mencoba vapor. Tentu saja tidak membeli, tetapi meminjam punya sepupu saya. Mod memang memberikan sensasi yang saya sukai dari Djarum Super, yaitu asap tebal. Malah sangat tebal dan banyak, dengan backsound suara khas dari mod yang pasti kamu tahu.

Nah, untuk pod, saya mendapatkan sensasi halus dan rasa buah yang mengiringi. Intinya, karena saya suka rokok dengan sensasi menthol dan rasa buah, maka jadi sudah. Saya jadi semakin dekat dengan pod. 

Saat ini, saya menggunakan pod merek Oxva, spesifiknya, Oxva Slim Pro. Liquid yang sedang saya nikmati adalah Foom Iced Cappucino dan dan Icy Manggo. Setelah mencoba banyak merek, entah kenapa, saya lebih cocok dengan variasi rasa dari Foom.

Hal 2: Mitos yang sebetulnya omong kosong belaka

Mitos yang sebetulnya omong kosong belaka

rokok vapor

Nah, sepanjang penasaran lalu mencoba, saya sering mendengar soal mitos ini. Katanya, ada sebuah pertarungan yang panas antara vapor dan rokok. Seakan-akan dua benda ini saling dan harus bermusuhan. Saya rasa itu cara berpikir yang sungguh sesat. Buat apa membenturkan soal selera, preferensi, dan kenikmatan? Dasar kocak!

Lagian, vapor dan rokok itu menyajikan sensasi yang berbeda. Output untuk masing-masing konsumen sudah pasti tidak sama. Mana yang lebih bisa memberikan kenikmatan? Ya tergantung selera masing-masing. Titik.

Misalnya saya yang menggunakan Oxva Slim Pro. Selain pod, saya masih menyimpan dan mengonsumsi rokok, Djarum Super dan Esse Change Double. Yah, mau gimana. Kalau habis makan, yang paling cocok untuk selera saya tetap Djarum Super. Sementara itu, Esse Change Double adalah rokok yang menyenangkan ketika bersosialisasi setelah bekerja. Ngopi dengan teman atau ketemu klien, misalnya.

Oleh sebab itu, vapor vs rokok ya sebatas mitos. Bahkan omong kosong belaka. Benda yang bisa memberikan kenikmatan dan relaksasi tidak untuk dibenturkan, tapi dirayakan. Karena artinya, pilihan orang itu jadi beragam. Dan, semua sejajar. Kenikmatan adalah otonomi masing-masing dan bukan hak kita untuk menghakimi.