Petani tembakau di Jember bagian selatan terancam gagal panen di musim tanam tahun ini. Hujan deras yang mengguyur sehari semalam membuat sawah-sawah terendam air sehingga banyak tanaman tembakau yang rusak. Para petani tembakau di Kecamatan Ambulu dan Wuluhan pun terancam rugi dalam tanam tembakau kali ini.
“Kemarin bangun, sekarang tidur. Tadi pagi dibangunkan gak mau. Apakah kecapekan?” Tanya akun Sapta Tani, mengomentari tanaman tembakaunya yang tampak lesu di grup Facebook Komunitas Petani Jember (KPJ).
Hujan terjadi sepekan terakhir memang di luar perkiraan. Pemerintah melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebenarnya telah memperkirakan adanya potensi terjadi El Nino yang membuat musim kemarau tahun ini akan lebih kering dari 3 tahun terakhir.
Prediksi tersebut yang membuat semakin banyak petani yang mencoba peruntungan dengan menanam tembakau.
Apalagi beberapa tahun ini penjualan tembakau rakyat di daerah Jember mengalami lonjakan harga akibat pergeseran selera rokok yang diminati konsumen, dari golongan 1 menjadi golongan 2 dan 3 dikarenakan kebijakan peningkatan tarif cukai. Di samping itu, produksi tembakau yang dijual lintingan juga meningkat sehingga membuat produksi tembakau tetap terserap.
Dalam keterangan yang disebarkan Kominfo Jember, terjadinya hujan yang tidak sesuai prediksi ini dikarenakan adanya anomali cuaca. Berdasarkan analisis dinamika atmosfer terkini dari BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I Juanda menunjukkan aktifnya gangguan atmosfer MJO (Madden Julian Oscillation), gelombang atmosfer Ekuatorial Kelvin, dan Gelombang atmosfer Ekuatorial Rossby. Ketiganya memberi pengaruh terhadap potensi peningkatan terbentuknya awan kumulonimbus yang dapat memicu terjadinya cuaca ekstrem seperti hujan lebat yang disertai petir. Cuaca ekstrem ini akan berlangsung dari tanggal 7 Juli hingga 13 Juli 2023 di sebagian wilayah Jawa Timur.
Iwan Manaf, petani tembakau di Jember juga mulai khawatir. “Alhamdulillah seger maneh. Mugo-mugo slamet tandurane. Gak sido neng Papua maneh,” katanya.
‘Ke Papua’ maksudnya adalah pergi merantau untuk bekerja apa saja untuk menutup kerugian dari bertani seperti yang dilakukan banyak warga di Jember bagian selatan. Bila yang ada tabungan hewan biasanya dijual untuk persiapan bila menghadapi kegagalan dalam bertani.
Tanpa Bantuan Pupuk dan Aliran DBHCHT Tak Kembali ke Petani Tembakau
View this post on Instagram
Petani tembakau memang hidup tanpa sandaran dari pemerintah meskipun di kabupaten yang menjadikan komoditas tembakau sebagai lambang kemakmuran Kabupaten Jember.
Komoditas tembakau kini pun telah dicoret untuk mendapatkan distribusi pupuk bersubsidi oleh pemerintah. Yang ada semua usaha untuk budidaya tembakau adalah inisiatif dari petani sendiri, dari lahan, bibit, pupuk, obat-obatan dan pestisida, serta biaya tenaga kerja. Juga risikonya pun ditanggung semua oleh petani.
Apalagi bila tanah yang digunakan untuk menanam bukan milik sendiri maka penyewa untuk menanam tembakau akan dihargai berbeda dari harga wajar untuk tanam komoditas lain.
Di saat terjadinya bencana seperti sekarang ini petani tembakau seharusnya menjadi perhatian. Bukan saja karena karena tembakau menjadi lambang kemakmuran Kabupaten Jember, tetapi karena dari mereka sebenarnya yang menghasilkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sehingga mengalir kembali ke daerah. Termasuk Jember.
Sayangnya, pemanfaatan DBHCHT justru tidak ada yang dikembalikan kepada petani tembakau, melainkan biasanya untuk program lain yang justru membuat petani tidak lagi menanam tembakau.
Seperti saat terjadinya bencana yang menimpa petani tembakau di Kecamatan Ambulu dan Wuluhan, Jember, misalnya. Kabar tentang bencana banjir yang menimpa petani tembakau terdengar melalui radio bersamaan dengan sosialisasi pasar murah yang dibuat oleh Pemkab Jember dengan menggunakan DBHCHT.
Lalu, bagaimana dengan nasib petani tembakau yang mendatangkan DBHCHT?
Miris…