Pohon Cengkeh Warisan di Bukubualawa
EKSPEDISI CENGKEH

Pohon Cengkeh Warisan di Bukubualawa

Bukubualawa berarti ‘bukit cengkeh’. Kampung Bukubualawa terletak di Jailolo, Halmahera Barat. Kampung ini dinamai Bukubualawa lantaran di bukit-bukitnya terdapat pohon cengkeh yang selamat dari pemusnahan besar-besaran oleh Belanda pada abad ke-16 dan 17.

Setelah sekian abad pemusnahan pohon cengkeh oleh Belanda, tak ada orang di kampung yang mengetahui bila di bukit itu masih terdapat pohon cengkeh. Warga Bukubualawa juga kehilangan ingatan akan tanaman yang diburu berbagai suku bangsa itu. Sampai pada 1960-an, seorang pedagang dari Ternate datang ke kampung mereka. Pedagang inilah yang membuktikan di bukit itu terdapat pohon cengkeh

Kebetulan harga cengkeh saat itu sedang melambung. Hud Sulaiman (50 tahun) seorang penjaga ‘Cengkeh Apo’ –pohon cengkeh tertua di dunia– di Ternate yang sempat melakukan survei bukit-bukit di Jailolo. Seluruhnya ada 12 bukit yang menyembunyikan pohon cengkeh. Pohon-pohon ini diyakini oleh warga setempat sebagai jenis yang sama dengan jenis yang kemudian disebut cengkeh Zanzibar yang terkenal lebih pedas dibanding cengkeh lokal. 

Bahkan bila melakukan bapatah (memisahkan bunga atau buah cengkeh dari tangkainya), lama-kelamaan tangan terasa panas karena rasa pedasnya. Sejak saat itu penduduk Bukubualawa secara berkala pergi kembali ke hutan untuk memanen cengkeh. 

Pohon-pohon cengkeh tua itu tak ada yang memiliki. Dengan sedikit kerja keras melakukan perjalanan darat sekitar dua sampai tiga jam dari kampung, mereka akan tiba di bukit cengkeh. Orang yang bersedia memetik, dengan sendirinya menjadi pemilik pohon cengkeh tersebut. Tak ada surat resmi kepemilikan. 

Namun, setiap warga bisa mengenali siapa pemilik pohon cengkeh yang ada di sana, Mereka saling mengenal baik satu sama lain. Setiap musim panen berlangsung, orang-orang Bukubualawa banyak yang pergi ke Ternate. Mereka menyerahkan cengkeh hasil panen ke pedagang dari Ternate tersebut. Pedagang itu juga mempunyai gedung bioskop. Selain menyetorkan cengkeh, penduduk Bukubualawa mendapatkan bonus menonton bioskop secara cuma-cuma.

petani cengkeh bukubualawa

Seorang petani Bukubualawa beristirahat di sela pemanenan cengkeh.

Sampai dasawarsa 1950-an sampai 1960-an saat ditemukannya kembali cengkeh di Bukubualawa, jarang ada orang yang membudidayakan cengkeh di sana. Menurut cerita warga setempat, pohon cengkeh mereka telah dibeli semua oleh para pedagang sejak zaman Belanda. 

Awalnya hanya buahnya, lalu kulitnya, sampai akhirnya juga pohonnya. Pohon-pohon cengkeh pun sulit ditemui sejak saat itu. Ini adalah versi lain kisah pemusnahan cengkeh oleh Belanda. Pada tahun 1599, harga cengkeh masih 35 real per bahar (550 pon), naik menjadi 50 real pada 1610, dan 70 real pada 1620. Harga per pon cengkeh tersebut setara dengan 7 gram emas. Tingginya harga cengkeh membuat Belanda bersikap protektif bagi sumber kas kerajaan dan para pemegang saham VOC itu. Dengan segera Belanda menyerang dan menguasai pelabuhan Makassar di mana Inggris, Portugis, Spanyol, dan para pedagang China selama ini mendapatkan cengkeh dengan harga yang lebih murah. Kesepakatan dengan penguasa lokal pun dibuat yang mengharuskan mereka menyerahkan seluruh hasil cengkeh hanya pada VOC. 

Imbalannya, Belanda memberikan perlindungan militer dari serangan pihak lain. Tindakan penguasaan itu termasuk pemusatan produksi cengkeh hanya di pulau-pulau Ambon dan Lease. Armada laut diperkuat, patroli rutin dilakukan. Dengan kapal kora-kora, pasukan Kompeni berpatroli ke pulau-pulau menjaga komiditas utama ini tak diselundupkan. Meriam ditembakkan, penduduk setempat melarikan diri ke pedalaman, kemudian kebun-kebun cengkeh dibakar habis. 

Sampai abad ke-18 monopoli atas cengkeh dan pala di Kepulauan Rempah-Rempah sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Sampai, akhirnya, seorang berkebangsaan Prancis, Pierre Poivre, dibantu oleh juru tulisnya, M. Provost, berhasil menembus blokade pertahanan Belanda. Pada 6 April 1770, Provost mendarat di Pulau Gebe. 

Beberapa wargadi dermaga
Bukubualawa
sepulang dari
Jailolo menjual
hasil panen
cengkeh. Di latar
belakang, tampak
di kejauhan
adalah Pulau Hiri
di utara Pulau
Ternate.

Beberapa warga di dermaga Bukubualawa sepulang dari Jailolo menjual hasil panen cengkeh. Di latar belakang, tampak di kejauhan adalah Pulau Hiri di utara Pulau Ternate.

Dia berhasil memikat hati kepala suku setempat yang memerintahkan warganya mendatangkan bibit cengkeh dan pala dari daerah Patani di daratan besar Halmahaera. Bibit cengkeh curian itu diselundupkan, kemudian ditanam dan berkembang biak dengan baik di koloni-koloni Perancis di Zanzibar, Madagaskar, dan Martinique. Adapun bibit pala curian Provost berhasil ditanam dan berbuah pula di Granada. 

Sejak saat itu, cengkeh dan pala tidak lagi menjadi milik eksklusif Belanda. Kini, sebagian besar pohon cengkeh tua dari zaman kolonial tersebut hampir semuanya sudah ditebang. Pohon-pohon tersebut, meskipun masih berbunga, tapi tak lagi ada orang yang sanggup memanjatnya. Pohonnya sudah terlalu besar dan terlalu tinggi. Bibit-bibit baru pun ditanam mengantikannya. 

Sekarang, kala musim panen tiba, penduduk mengusung seluruh anggota keluarga ke hutan cengkeh. Semua kegiatan rumah tangga berlangsung di sana. Para sanak yang sedang berada di tempat lain pun kadangkala datang turut membantu. Mereka memerlukan tenaga lumayan banyak untuk memanjat pohon, memetik buah, dan membawa hasil panen cengkeh ke kampung. 

Mereka juga membutuhkan sapi-sapi untuk menarik gerobak kayu pengangkut cengkeh. Ketika mulai memahami sifat-sifat alamiah tanaman cengkeh, mulailah mereka melakukan pembibitan. Jarak tanam tak lagi dilakukan berdekatan, agar perkembangan cengkeh tidak terganggu. Dari cengkeh-cengkeh tua itulah bibit cengkeh dihasilkan. Bibitbibit terbaik diperoleh dari pohon-pohon tua dengan ketinggian lebih dari 20 meter yang cabang-cabang barunya berada pada ketinggian 5 meter. “Cengkeh ibarat kakak sulung. Ia bilang pada adiknya, pala dan kelapa: kamu boleh saja berhutang, nanti ketika saya datang, saya akan melunasinya,” jelas Awad Lolory, petani cengkeh dan Sekretaris Kesultanan Jailolo. 

Maksudnya, pala dan kelapa –yang bisa dipanen sampai 3 kali setahun– dianggap sebagai “adik-adik” cengkeh yang hanya panen sekali setahun. Jika hasil penen pala dan kelapa tak mencukupi selama setahun tersebut, maka hasil panen cengkeh yang menyusulnya akan menutupi kekurangan dari hasil panen pala dan kelapa, Hasil panen sang ‘kakak sulung’ inilah yang paling mendatang keuntungan ekonomis terbesar bagi para petani setempat.


Artikel ini adalah salah satu artikel di dalam buku Ekspedisi Cengkeh dengan judul asli Pohon Warisan di Bukubualawa. Selengkapnya baca di bukukretek.com