Konsideran PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Tembakau bagi Kesehatan dan iklan rokok.
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau Bagi Kesehatan
Pertanggungjawaban isi sebuah pasal dalam PP, umumnya dimuat di dalam Naskah Akademik atau bagian penjelasan. Apakah isi konsideran PP tersebut ilmiah atau tidak ataukah sekedar merupakan judgement, tanpa pertanggungjawaban akademis atau tanpa pembuktian ilmiah, di antara para pihak yang berbeda latar belakang atau berbeda kepentingan menjadi berbeda pendapat atas isi konsiderans tersebut.
Suatu produk hukum berupa peraturan perundangan harus menjadi peraturan yang tidak menghasilkan perbedaan kesempatan yang besar antar kelompok yang bervariasi kepentingannya. Apabila tidak memenuhi unsur tersebut, maka hukum hanya akan menjadi alat pemaksa yang bersifat tiran. Oleh karena itu hukum yang dibuat harus mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dalam masyarakat agar tidak terjadi konflik antar kelompok, khususnya dalam tahap implementasinya.
Hukum harus dapat berfungsi seperti lampu lalu lintas dengan para pengguna lalu-lintas yang taat peraturan, di satu sisi menghambat laju kendaraan agar tidak mendominasi arus kapan saja, di sisi lain memberi fasilitas agar pada sisi tersebut arus lalu-lintas berjalan lancar pada waktu yang tertentu. Bila lampu lalu-lintas tidak berfungsi dan pengguna jalan tidak peduli kepentingan pengguna lalu-lintas yang melintas, hasilnya adalah kekacauan.
Demikian pula pengaturan tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa tembakau bagi kesehatan harus mengakomodasi kepentingan baik perokok, bukan perokok, petani tembakau, produsen rokok dan kelompok kepentingan lain yang relevan.
Studi tentang rokok –termasuk kretek– di Indonesia sampai saat ini dapat dikatakan parsial untuk ukuran besaran dampak masalahnya, karena sering terbatas hanya pada beberapa aspek saja. Bahkan, ukuran sampelnya pun relatif kecil dan lebih bersifat hospital based research karena sampel diambil dari orang sakit yang datang ke rumah sakit.
Seharusnya, penelitian bersifat population based research dengan sampel diambil dari populasi dengan sebaran yang mempertimbangkan aspek aspek sosial, ekonomi, psikologi, kependudukan, pendidikan, gizi, iklim, kualitas lingkungan serta faktor-faktor lain yang diperlukan. Program riset seperti itu harus diinisiasi oleh pemerintah dan menjadi program nasional sebagai bentuk pertanggunggjawaban negara, mengingat isu negatif terkait tembakau dan rokok yang berhembus dari luar negeri jelas mengancam kelangsungan nasib jutaan rakyat Indonesia dan aset negara yang bernilai triliunan rupiah.
Apabila riset komprehensif belum dilakukan, sangat naif jika pemerintah sudah berani membuat kebijakan regulasi terkait rokok dan produk tembakau, seperti menetapkan defenisi tembakau sebagai zat adiktif dalam “UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan” pada Pasal 113 ayat (2). Pengaturan secara eksklusif tersebut juga mencerminkan adanya lobi kuat dari kelompok yang mempunyai kepentingan intern terhadap peraturan tersebut. Zat adiktif adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetik maupun semisintetik, yang dapat menyebabkan “penurunan atau perubahan kesadaran”, mengurangi sampai menghilangkan rasa sakit, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Dengan kata lain zat adiktif adalah zat-zat yang pemakaiannya dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan ketergantungan psikologis (drug dependence) serta menggangu kesehatan. Namun jika istilah zat adiktif hanya disandingkan dengan tembakau saja, hal itu dapat menimbulkan penafsiran seolah-olah zat adiktif hanyalah tembakau. Pada hal terdapat bermacam-macam jenis zat adiktif, seperti ganja, opium, kokain, sedativa dan hipnotika, nikotin, alkohol dan lain-lain.
Fungsi daripada peraturan pemerintah pada dasarnya adalah untuk melindungi warganya dari berbagai bahaya zat adiktif, karena itu sebaiknya dicamtumkan semua jenis zat tersebut dalam suatu aturan yang jelas dan tidak menimbulkan berbagai interpretasi dan menekan maupun mempersempit kehidupan masyarakat.
Zat adiktif, apapun bentuknya termasuk tembakau, adalah zat yang secara ilmiah dapat dinetralisasi. Namun demikian, informasi ilmiah tentang zat adiktif yang terkandung dalam tembakau cenderung didominasi oleh dampak yang merugikannya saja, sehingga memberi kesan bahwa zat adiktif yang terkandung dalam tembakau sepenuhnya buruk, dan selanjutnya menyimpulkan bahwa tembakau berbahaya.
Penyimpulan semacam itu mengabaikan bahwa tembakau juga mempunyai fungsi-fungsi yang positif di samping ada pengaruh negatif dari zat adiktif yang terkandung di dalamnya. Dikalangan masyarakat, khususnya mereka yang berkecimpung di dunia kesehatan, selama ini berkembang pandangan yang cenderung bersifat reduktif dalam menyikapi masalah rokok dan merokok. Dalam asap rokok secara simplikatif direduksi bahwa zat yang berbahaya adalah nikotin dan tar. Ini pandangan atau pendapat yang salah kaprah, sebab yang justru berbahaya dalam asap rokok adalah radikal bebas yang tercipta dari pembakaran rokok, bukan nikotin dan tar.
Dalam perspektif kuantum, nikotin bukanlah racun atau berbahaya bagi manusia karena elemen pembentuk nikotin sama dengan elemen pembentuk DNA manusia. Nikotin (C10H14N2) terbentuk dari unsur-unsur atom C, H dan N, sementara tubuh manusia sebagian terbesar juga dibangun oleh atom-atom unsur C, H, N dan O yang merupakan atom-atom pembangunan DNA. Keberadaan nikotin dalam tubuh manusia tidak merusak DNA, tetapi justru membersihkan DNA.
Nikotin akan larut keluar dari tubuh dalam bentuk keringat dan air seni hanya dalam beberapa jam. Dengan demikian, nikotin positif bagi manusia, sehingga kebiasaan merokok memberikan rasa nyaman karena DNA dibersihkan, energi menjadi lebih besar. Proses itu akan berlangsung optimal apabila rokok yang digunakan adalah divine kretek, yaitu rokok yang sudah disehatkan/dinanokan. Merokok dapat menjadi kebiasaan karena reaksi alamiah dari tubuh yang selalu ingin membersihkan struktur DNA dari “pencemaran” Hg* metal. Dalam hal ini jelas bahwa nikotin berfungsi membersihkan DNA, yang secara visual dalam penelitian ditunjukkan oleh nikotin dalam air membuat air berwarna kecoklatan.
Nikotin sejatinya sama dengan nasi (karbohidrat) dengan rumus kimia C(H2O)n yang terlarut sangat baik dalam air, kemudian dikeluarkan dari tubuh sebagai air seni dan keringat. Dengan penjelasan dasar sifat kimiafisika tersebut di atas bisa dipahami bahwa nikotin bukan zat adiktif. Jadi, indikator-indikator yang menunjukan sesuatu dikategorikan zat adiktif itu sebenarnya terlalu berlebihan kalau diterapkan pada tembakau. Karena addict itu dalam bahasa Inggrisnya bukan sekedar orang berulang kali membeli, berulang kali mengkonsumsi, tapi ada efek psikologis yang merusak, jadi ada psychological damage.
Orang yang merokok berbeda dengan orang yang mengkonsumsi narkotika seperti morfin, heroin atau kokain, karena efek sebagaimana mengkonsumsi narkotika yaitu efek ‘sakau’, itu tidak ditemukan dalam konsumen rokok. Pernyataan bahwa di dalam produk tembakau yang dibakar terdapat lebih dari 4.000 (empat ribu) zat kimia antara lain nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik itu terlalu berlebihan (over claim).
Hampir semua barang-barang konsumsi pasti ada ada zat-zat karsinogeniknya. Tapi dalam konteks ini, kenapa yang disasar hanyalah tembakau. Poin penting dalam PP itu, jika memang mengutip dari hasil penelitian yang kredibel dari institusi-institusi yang layak untuk dipercaya dan memiliki reputasi bagus dari sisi akademik. Sehingga pernyataan yang dibuat itu ada dasarnya secara akademik, sehingga cara berpikir yang mendasari lahirnya produk hukum tersebut haruslah memiliki kajian mendalam dan menyeluruh tentang dampak negatif dan positifnya dari sudut pandang kesehatan, sosial, ekonomi, dan juga kebudayaan.
Iklan Rokok
Gencarnya iklan, promosi, dan sponsor rokok dianggap berdampak pada semakin meningkatnya prevalensi merokok pada anak-anak. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa iklan, promosi, dan sponsor rokok menimbulkan keinginan anak-anak untuk mulai merokok, mendorong anak-anak perokok untuk terus merokok dan mendorong anak-anak yang telah berhenti merokok untuk kembali merokok.
Korelasi antara gencarnya iklan rokok dan dampak yang ditimbulkan yaitu semakin meningkatnya prevalensi merokok pada anak-anak, perlu mendapatkan justifikasi dari suatu penelitian yang jelas dan objektif. Iklan sebagai media informasi dan publikasi produk memang benar, tetapi iklan rokok merupakan sumber satu-satunya penyebab meningkatkan kuantitas perokok khususnya pada anak-anak, perlu dipertanyakan. Pernyataan dengan menggunakan landasan penelitian tersebut sangat tendensius, meskipun mungkin ada penelitian untuk masalah itu, namun tingkat validitasnya perlu diuji secara metodologis.
Hal ini dapat dilihat dari perumusan variabel penelitian, sebagai berikut : Varian 1) Iklan; Varian 2) Promosi; dan Varian 3) Sponsor rokok sebagai variabel independen (bebas) dihadapkan pada anak-anak perokok sebagai variabel dependen (terikat) dari segi penentuan populasi penelitian memiliki lingkup/objek/sifat yang berbeda-bedadan jika disatukan tidak jelas siapa respondennya, demikian pula teknik sampling yang akan digunakan. Karena itu diragukan hasil penghitungan statistik korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat, khusus dalam hal pengaruhnya yang signifikan, sebab sejak awal perumusan hubungan variabel itu sudah menunjukkan sifat tendensius.
Seseorang merokok tidak hanya dipengaruhi oleh suatu informasi yang diterima dari iklan, promosi maupun sponsor, tetapi juga karena dibentuk oleh lingkungan (keluarga ataupun masyarakat). Yang menjadi tidak jelas (dan cenderung adanya generalisasi) adalah bahwa iklan, promosi dan sponsor rokok penyebab utama meningkatnya prevalensi anak-anak merokok. Apalagi iklan-iklan rokok itu memiliki kecerdasan visual yang tidak mudah dicerna anak-anak, tidak eksplisit atau terang benderang seperti iklan susu dan menyembunyikan makna yang harus ditafsirkan khusus untuk segmen orang dewasa yang membutuhkan upaya lebih untuk menafsirkan. Misalnya “how long can you go”, “go a head”, “fine cute for fine taste”, dll.
Dalam hal perilaku atau kebiasaan merokok bagi anak-anak dan kalangan remaja, sejatinya faktor lingkungan lebih berperan, ketimbang iklan. Pengaruh lingkungan dimaksud adalah keluarga, bisa orang tua, saudara kerabat, paman, dan seterusnya. Termasuk dalam hal ini pergaulan teman-teman sebaya. Sementara itu, dalam lingkungan pergaulan teman sebaya, merokok dicitrakan sebagai simbol pergaulan. Sampai kini masih disebarkan anggapan (semu), bila remaja, khususnya laki-laki, dianggap kurang “macho” bila tidak merokok.
Dalam idiom remaja masa kini, dianggap “kurang gaul” bila masih enggan menghisap sigaret. Dari lingkungan keluarga, si anak meniru kebiasaan merokok, bahwa merokok adalah hal yang biasa, bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan, terkait masalah kesehatan. Yang paling utama, tidak ada larangan yang tegas. Anak-anak dan remaja melihat generasi yang lebih tua, dalam melakukan aktivitas apapun, tidak lepas dari sebatang rokok. Bahkan untuk aktivitas yang secara logika bertentangan, seperti olah raga, bermain bulutangkis, namun tetap sambil menghisap rokok.
Ditinjau dari segi psikologi, jika anak-anak merokok dimungkinkan karena masa anak itu memiliki sifat meniru, coba-coba (ingin tahu) atau melakukan sesuatu untuk menarik perhatian atau agar dikatakan berani dan hebat oleh kawan sebayanya. Jika penelitian terhadap anak-anak yang merokok menggunakan pendekatan psikologi sangat mungkin hasilnya akan berbeda. Dengan demikian pernyataan iklan, promosi, dan sponsor rokok berdampak pada semakin meningkatnya prevalensi merokok pada anak-anak itu perlu diuji secara metodologis tingkat kebenarannya, bukan dengan menggunakan trik-trik tertentu penelitian untuk pembenaran.
Walau begitu iklan tetap berperan penting, meski bukan untuk “merekrut” generasi baru perokok, namun lebih sebagai upaya mempertahankan ceruk besar konsumen perokok. Iklan lebih berperan dalam upaya, agar konsumen tidak berpindah ke merek lain, dan yang lebih penting, agar si perokok tidak meninggalkan kebiasaan merokoknya.
Jika kita mau melihat secara obyektif, ada hal yang positif terkait dengan perusahaan-perusahaan rokok sebagai sponsor, donatur, penyelenggara even-even olah raga nasional dan internasional dan pemberian beasiswa yang memberi pengaruh positif pada pertumbuhan dan perkembangan keolahragaan nasional serta pendidikan. Tentunya pada even-even tersebut perusahan akan menitipkan pesan sponsor. Jika hal seperti ini juga menjadi obyek larangan yang diatur dalam Pasal 26 s/d 40 PP No.109 Tahun 2012 maka apakah kegiatan-kegiatan olah raga dan beasiswa tersebut masih dapat diberlangsungkan?
Diversifikasi Produk Tembakau
Dalam Pasal 7 ayat (2), dinyatakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong pelaksanaan diversifikasi Produk Tembakau.
Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2), dinyatakan sebagai, (cukup jelas). Pada konteks logika hukum itu bisa melahirkan beragam interprestasi (multi interprestasi). Padahal nilai dasar dari hukum positif adalah adanya kepastian makna —tidak boleh membuka peluang adanya penafsiran ganda. Karena itu bisa menimbulkan problematika serius dari sudut kepastian hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 yang mengatur setiap peraturan pemerintah harus mengandung asas antara lain: 1) Asas dapat dilaksanakan, yaitu setiap pembentukan peraturan harus memperhitungkan efektifitas peraturan itu di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis; 2) Asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” yaitu setiap pembuatan peraturan harus benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Karena itu jika PP No. 109 Tahun 2012 tujuannya untuk melindungan kesehatan masyarakat, mengapa di dalam PP itu pada Pasal 7 (2) mengatur juga tentang diversifikasi produk tembakau yang tidak sejalan dengan undang-undang induknya (UU tentang Kesehatan), bahkan hal itu lebih tepat jika diatur melalui UU tentang Pertanian.
Pemecahan lahan pertanian tembakau dinilai sebagai diversifikasi untuk menemukan tanaman lain selain tembakau. Melihat fakta pertanian tembakau yang sudah lama berkembang di daerah-daerah Indonesia, kebijakan diversifikasi ini dinilai kurang tepat untuk menggeser pertanian tembakau yang ada, dimana kondisi tersebut sangat terkait dengan mata pencaharian masyarakat yang sudah melembaga. Alih-alih pertanian tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kalau dorongan pelaksanaan diversifikasi produk tembakau benar-benar akan dilakukan perlu pertimbangan terhadap alih-alih mata pencaharian para petani tembakau yang ada. Di samping itu, selama ini hasil bumi tembakau juga mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap pemasukan devisa bagi pemerintah, di mana Negara Indonesia menempati peringkat ke-7 sebagai produsen tembakau dengan kapasitas rata-rata produksi 165.000 ton per tahun. Dan hingga saat ini sektor tembakau dan ikatannya menyokong 10% s/d 15% pendapatan nasional.
Diversifikasi merupakan istilah yang sering digunakan dalam bahasa ekonomi. Logikanya adalah semua komoditas itu sebetulnya bisa dibikin dalam aneka rupa produk olahan, untuk tujuan peningkatan nilai tambah. Mengapa diversifikasi perlu dalam kegiatan ekonomi? Minimal karena dua pertimbangkan, yaitu pertama, mempertimbangkan nilai tambah, tentu pelaku ekonomi akan memilih diversifikasi kepada komoditas yang memberikan nilai tambah lebih besar, itu rumus bakunya ekonomi. Dia tidak mungkin akan melakukan pengelolahan untuk komoditas yang nilai tambahnya kecil karena tidak menguntungkan secara ekonomi.
Sedangkan yang kedua, diversifikasi komoditas itu, untuk mencegah agar kalau misalnya pada komoditas yang bersangkutan itu tiba-tiba selera masyarakat berubah, ada krisis atau apapun sebabnya sehingga permintaan terhadap produk itu tiba-tiba hancur maka dia masih memiliki cadangan pada komoditas lain. Dalam konteks tembakau ini, cara berfikir pemerintah adalah bahwa ketika itu dilakukan diversifikasi maka tembakau tadi itu bisa dimanfaatkan untuk komoditas yang dari sisi kesehatan lebih tidak ‘merusak’, seperti judgment yang dipakai pemerintah, misalnya sebuah pernyataan bahwa “tembakau itu bisa dilakukan untuk komoditas sabun maupun yang lain”. Nah kerangka itulah, yang dipakai oleh pemerintah.
Oleh karena itu, diversifikasi —apabila dianggap penting– mestinya betul-betul diarahkan bagi kesejahteraan petani tembakau. Perlu untuk dicermati sebagai catatan, dalam struktur industri rokok yang ada di Indonesia, nisbah ekonomi kepada petani (tembakau) merupakan yang paling kecil dibanding pelaku ekonomi yamg lain. Untuk itu, apabila misalnya ada diversifikasi tadi itu harusnya orientasinya pada kesejahteraan petani itu yang paling utama.
Diversikasi tanaman tembakau tidak cukup hanya berhenti pada peraturan tetapi harus diikuti oleh adanya program yang konkrit memperkenalkan budidaya selain tembakau yang sama menguntungkan bagi kalangan petani. Bertanam tembakau adalah budaya yang sudah berlangsung secara mengakar selama berabad-abad, dengan demikian tidak bisa dengan mudah diganti atau didiversifikasi.
Apabila, misalnya komoditi tersebut dianggap sebagai hortikultura untuk palawija, misalnya dari jagung ke singkong, itu tidak masalah, tetapi jika dari tembakau ke jagung atau ke singkong atau ke umbi-umbian itu sesuatu yang mustahil karena logika tanamannya berbeda, logika agrikulturalnya berbeda. Selain itu, hal ini sudah menjadi pengetahuan masyarakat petani selama ratusan tahun. Nah ini tidak mungkin dipotong ditengah jalan dipaksa untuk berubah ke jagung atau ke tanaman-tanaman pangan lainnya. Hal seperti inilah yang perlu diketahui oleh pemerintah, bahwa tidak mungkin mengubah satu pertanian yang memiliki komunitas dan pengetahuan khusus tentang itu untuk dirubah. Diversifikasi apabila dalam lingkup satu domain, sebagaimana dijelaskan diatas, misal dari jagung ke umbi-umbian atau sebaliknya, tidak masalah. Namun apabila dalam domain tanam yang berbeda, akan sulit dan sama halnya dengan penghilangan pengetahuan yang sudah terakumulasi selama ratusan tahun, yang notabene merupakan sebuah kekayaan budaya sebenarnya. Tehnik penanaman tembakau yang bisa bertahan sampai 120 tahun tidak bisa dianggap remeh, itu ilmu tersendiri. Kalau di diversifikasi ini dipaksakan, maka pengetahuan dan ilmu ini akan hilang nantinya. Jadi yang perlu digarisbawahi, jangan sampai dengan memaksakan penerapan diversifikasi ini nantinya kita kehilangan pengetahuan, akar sosial dan komunitas.
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (1) dan (2) mengandung ketidakjelasan apa yang dimaksud dengan “diversifikasi produk tembakau”. Apakah pengembangan jenis atau varian dari tembakau/ produk tembakau atau yang dimaksudkan adalah substitusi dari tembakau/ produk tembakau? Dalam persepsi Pemerintah dan Pemerintah Daerah “diversifikasi produk tembakau” dimaksudkan untuk mengalihkan sektor tembakau ke sektor yang lain. Dengan kata lain masyarakat yang bergerak dibidang pertembakauan didorong untuk alih fungsi dan alih profesi ke sektor yang lain. Jika demikian maka akan menjadi ancaman hampir 30 juta orang yang bergerak di sektor pertembakauan, baik secara langsung atau tidak langsung atau dalam sub sistem on farm maupun sub sistem off farm.
Jika “diversifikasi produk tembakau” dimaknai pemanfaatan tembakau diluar rokok, yaitu untuk obat-obatan, insektisida nabati, sumber protein nabati, pupuk organik, parfum dan minyak nabati, pertanyaannya adalah seberapa besar serapan bahan baku tembakau ini untuk produksi diversifikasi tersebut? Jika serapannya rendah, maka ujung-ujungnya yang dirugikan adalah petani tembakau. Karena hasil produksinya tidak diserap oleh pasar. Diversifikasi itu memang memberikan ruang untuk kemudian meniadakan kretek sebagai produk tembakau yang sudah ratusan tahun berakar urat pada kultur masyarakat Indonesia. Seharusnya bukan diversifikasi, tapi proteksi terhadap produk kretek dari tembakau. Seperti halnya kita memproteksi cagar budaya, seperti halnya kita melindungi rumah yang dibangun zaman Belanda.
Aturan ini, apalagi nanti pemerintah daerah didorong untuk melakukan pelaksanannya, ini yang sangat berbahaya sekali, karena sangat mudah misalnya ada infiltrasi-infiltrasi dari kekuatan-kekuatan global, yang kemudian akan membuat pemerintah daerah yang akhirnya menghasilkan Perda yang mematikan kretek, ini membuka lobi-lobi kekuatan-kekuatan global dalam industri rokok yang kemudian untuk bisa menguasai pasar, dan produsen-produsen kretek yang secara kultural telah ratusan tahun berurat dan berakar ini tidak bisa bertahan menghadapi infiltrasi.
Logikanya perlu dilihat dalam perspektif yang lebih luas, tidak hanya dari sudut pandang ekonomi, misalnya. Apabila dari sudut pandang ekonomi, mungkin saja tembakau bisa diolah menjadi apa saja —kendati penjelasan diatas disebut tidak akan mampu terserap pasar secara optimal diluar komoditi rokok. Untuk itu, perlu dilihat juga dalam perspektif sebagai produk budaya, sehingga perlu diproteksi. Dengan diproteksi itu maka diharapkan nilai tukar petani akan naik.
Kawasan Tanpa Rokok
Pasal 8 huruf d menyatakan “Kawasan Tanpa Rokok”. Dalam penjelasannya dikatakan, Pengaturan Kawasan Tanpa Rokok dimaksudkan untuk melindungi kesehatan individu dan masyarakat dari bahaya asap rokok.
Perihal kawasan tanpa rokok ini juga bisa multiinterpretatif: Yang dilarang keberadaan rokok pada area tertentu atau orang yang merokok pada kawasan tertentu? Orang dilarang membawa dan atau menjual rokok atau orang dilarang merokok di kawasan tertentu? Karena itu adalah dua materi yang berbeda. Pada poin penjelasannya disebutkan, “Pengaturan kawasan tanpa rokok dimaksudkan untuk melindungi kesehatan individu dan masyarakat dari bahaya asap rokok orang lain”. Lantas apa pemerintah sudah membuat sebuah regulasi yang baik untuk melindungi rakyat dari bahaya asap knalpot mobil?
Keputusan MK No. 57/PUU-IX/2011 jelas mempunyai kekuatan hukum sesuai dengan argumentasi yang diberikan, yang mana merokok atau tidak merokok merupakan hak setiap individu. Secara alami lingkungan kawasan umum, terdapat berbagai bahaya dari adanya asap yang dikandung di udara. Dari berbagai asap yang ada di udara tentu tidak hanya asap rokok yang dinyatakan membahayakan kesehatan manusia. Pernyataan kawasan “tanpa rokok” tanpa disertai kata “asap” yang tercantum pada pasal 8 huruf d cenderung mendiskreditkan rokoknya, bukan asapnya, padahal —apabila sepakat membahayakan– yang dianggap bahaya adalah asap yang mengandung radikal bebas hasil pembakaran. Jadi ketentuan tentang “kawasan rokok” itu sudah mengkotak-kotakan wilayah maupun udara, yang efeknya menjadi “pelabelan” atau cap baik buruk bagi siapa saja yang berada di kawasan tersebut. Sangat dimungkinkan kondisi itu suatu ketika dapat menyatakan “kriminalisasi” terhadap warga yang merokok, dimana tindakan itu sebenarnya bukanlah suatu tindak pidana.
Kawasan itu merupakan suatu teritori yang cukup luas, yang terdiri dari berbagai tempat, berbagai unit, berbagai satuan kerja, yang tidak masuk akal untuk ditindaklanjuti dengan penegakan hukum. Sebaikmya lokasi-lokasi kawasan tanpa rokok disebutkan saja secara eksplisit agar tidak menimbulkan tafsiran ganda. Dengan kata lain, tidak perlu kalimat bias seperti itu dan tempat lain yang ditentukan, seperti tranportasi publik, lembaga pendidikan, rumah sakit, dll.
Larangan Penggunaan Bahan Tambahan
Pasal 12 ayat 1 menyatakan: Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau dilarang menggunakan bahan tambahan kecuali telah dapat dibuktikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan. Dalam penjelasanya dikatakan: Yang dimaksud dengan “bahan tambahan” antara lain penambah rasa, penambah aroma, dan pewarna. Cengkeh, klembak, atau kemenyan tidak termasuk bahan tambahan, melainkan bahan baku.
Meskipun cengkeh, klembak, dan kemenyan tidak termasuk sebagai bahan tambahan, namun penggunaan kata “penambah rasa, penambah aroma dan penawar” merupakan rumusan yang justru sangat terbuka (luas) untuk menghambat suatu kreativitas dan/atau inovasi warga masyarakat dalam kaitan memproduksi rokok. Hal ini jelas tidak sejalan dengan tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Kesehatan yang hendak melindungi kesehatan warga masyarakat, kecuali jika ditentukan bahwa pemerintah melalui Departemen Kesehatan (Badan POM) akan menguji produk rokok dan menentukan layak tidaknya produk rokok itu untuk dijual di masyarakat.
Pertanyaannya siapa yang berhak untuk menentukan bahwa bahanbahan itu membahayakan kesehatan? Apakah satu institusi tertentu ditunjuk oleh pemerintah (di dalam PP ini tidak dijelaskan). Dalam konteks ini, perlu ada unsur dari industri rokok dan pemerintah sebagai perwakilan yang disitu bisa mengambil keputusan secara bersamasama. Jadi pada prinsipnya semua komoditas apapun tidak boleh dalam menambahkan bahan berbahaya.
Dalam pasal 12 ayat 2, dikatakan: Bahan tambahan yang dapat digunakan pada produksi Produk Tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri; dan ayat (3) Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau yang menggunakan bahan tambahan yang berbahaya bagi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh Menteri berupa penarikan produk atas biaya produsen.
Dengan dasar tersebut bersifat umum dan memberikan kewenangan tak terbatas pada menteri untuk menafsirkan bahan-bahan tambahan sesukanya, hal ini terlihat dalam kalimat “Ketetapan Peraturan Menteri”. kapan akan diberlakukan, kapan akan dibahas, bagaimaana pembuktian kalau tidak berbahaya, bagaimana tim pengkaji, dan lain sebagainya akan didapat sebagai barrier yang sangat membahayakan, karena kewenangan tersebut dapat dipakai sebagai lahan pungutan yang tidak jelas.
Dalam pandangan teknik perundang-undangan, Peraturan Pemerintah dilarang mengubah materi yang ada dalam undang-undang yang menjadi dasar hukumnya, tidak dapat menambah, tidak mengurangi dan tidak menyisip suatu ketentuan, serta tidak memodifikasi materi dan pengertian yang telah ada dalam undang-undang yang menjadi induknya. Bila dicermati, maka ketentuan tersebut ternyata telah menambah dari apa yang diperintahkan oleh pasal 133 UU No. 36 tentang Kesehatan. Bahkan ketentuan tersebut juga melakukan pelarangan/pembatasan terhadap penggunaan suatu bahan/produk yang keberadaannya tidak dilarang oleh undang-undang. Terlebih, diatur juga sanksi yang tentunya akan merugikan industri rokok dalam negeri.
Cita rasa kretek sebagai produk lokal adalah mewakili taste khusus sebagai produk rokok yang khas Indonesia. Dengan adanya Pasal 12 ayat (1) di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 secara tidak langsung akan mematikan ciri khusus kretek (ke-khas-an) sebagai produk lokal yang sangat berbeda cita rasanya dengan produk rokok negaranegara lain. Pasal ini berdampak negatif terhadap produsen rokok kretek nasional.
Peringatan Kesehatan Pada Bungkus Rokok
Dalam Pasal 14 s/d 18, dinyatakan peringatan Kesehatan pada bungkus rokok dengan gambar serta perubahan peringatan teks yang berisi tentang : 1) Kewajiban mencantumkan peringatan teks dan tanda gambar pada bungkus rokok; 2) Prosentase besaran ukuran gambar dan lokasi penempatan pada bungkus rokok; 3) Varian gambar dan jangka waktu perubahan gambar.
Tidak ada hubungannya peringatan dengan tingkat konsumsi rokok. Rokok—kendati tidak dianggap sebagai kebutuhan pokok — namun, sudah menjadi kebutuhan sehari-hari, artinya ada atau tidak ada peringatan orang akan membeli rokok, untuk mengkonsumsinya. Mungkin peringatan itu bagi orang yang belum/tidak merokok terkesan bermakna, akan tetapi orang yang sudah merokok tidak akan terpengaruh. Orang yang belum merokok melihat peringatan itu menjadi memiliki pertimbangan lagi. Tetapi orang yang sudah merokok tidak ada hubungannya, tidak ada efeknya.
Apakah gambar yang secara literal memperlihatkan bahaya rokok bagi kesehatan itu sungguh-sungguh efektif. Logikanya, melakukan semacam teror psikologis dengan gambar itu, sehingga orang akan kehilangan hasratnya untuk menkonsumsi. Pertama, bentuk teror semacam ini tidak terbukti efektif untuk menghentikan hasrat konsumsi. Kedua adalah secara etis sebenarnya ini jadi persoalan, artinya kita melanggar kebebasan individu dengan mencitrakan resiko secara berlebihan.
Pasal ini merupakan informasi yang sangat berlebihan, diskriminasi, karena dikatakan bisa mengakibatkan penyakit jantung, kanker dan sebagainya. Semua barang-barang konsumsi mempunyai zat-zat yang kurang lebih sama, di teh, kopi, cokelat, hampir semuanya punya kandungan seperti itu, dengan kadarnya masing-masing. Sudah adanya ingredients (komposisi), kadar tar, nikotin itukan sudah cukup, tidak harus ditambah pencitraan berlebihan untuk membuat orang tidak merokok. Kalau begitu teh yang di-sachet harus diberikan peringatan yang sama, kopi seharusnya diberikan peringatan yang sama. Soda juga berbahaya sekali, kenapa minuman bersoda seperti Coca Cola, tidak diminta untuk membuat peringatan kalau kita mau hitung-hitungan resikonya.
Kita tidak bisa tahu, misalnya ada seorang yang sedang merokok atau perokok, kemudian terkena serangan jantung, apakah karena rokoknya atau dia mengkonsumsi lemak berlebihan sehingga menggandakan kadar kolesterolnya, membuat sumbatan-sumbatan yang mengakibatkan serangan pada jantung. Jadi yang membuat tersumbat itu karena rokoknya atau pola makannya, kita tidak pernah tahu, berapa persen kontribusi rokoknya. Padahal bisa jadi akibat pola makan dan konsumsi tak sehat seperti kolestrol dan kadar lemak, pola hidup yang tidak sehat seperti tidak olah raga, junk food, dll. Tentunya, kita tidak bisa menduga tafsiran orang seperti apa, begitu suatu produk itu lepas dipasar orang akan menilai sendiri-sendiri.
Seharusnya membuat dan memberi informasi yang cukup untuk membuat pilihan-pilihan yang cerdas. Tapi, bila informasi ini berlebihan maka dia tidak mempunyai pilihan, dia dipaksa untuk tidak mengkonsumsi, bukan diberi informasi yang cukup sehingga dia membuat pilihan sendiri. Artinya konsumen berhak untuk tahu dan dia bertanggung jawab atas seluruh konsekuensi atas konsumsi pembelian itu, jadi produsen bertanggung jawab untuk menginformasikan seluruh apa yang dia lakukan dalam komoditasnya itu, konsumen mengetahui itu dan bertanggung jawab atas kebutuhannya sendiri, ada kesetaraan.
Dari penelitian tidak membuktikan bahwa ada korelasi antara peringatan berlebihan itu dengan penurunan peningkatan konsumsi rokok. Dari pada terlalu berlebihan merugikan industri rokok, juga efeknya tidak signifikan, lalu buat apa? Intinya iklan tidak boleh membodohi dengan informasi yang komplit, tetapi pembuat regulasi juga tidak boleh menganggap konsumen itu bodoh, yang seakan-akan tidak dapat melakukan filterisasi sendiri dalam proses pencernaan terhadap informasi dan iklan apapun.
Kalau memang konsisten untuk melindungi rakyat terhadap dampak negatif rokok. Maka disamping peringatan tentang bahaya merokok harusnya juga dicantum manfaat positif rokok sebagaimana data-data penelitian akademis yang sudah ada. Kalau tidak maka pemerintah hanya bersuara keras melarang orang untuk merokok sebagai sebagai keniscayaan karena negara-negara lain sudah melakukannya.
Pasal 14 s/d 18 dalam PP No. 109 Tahun 2012 ini mempunyai makna mengaburkan produk rokok tertentu karena sebagian pembungkusnya tertutup oleh berbagai peringatan. Dengan mengaburkan produk rokok tertentu (berbahan baku tembakau) maka suatu ketika juga akan dilupakan masyarakat akan produk rokok tersebut atau melupakan “merek rokok tertentu” yang sudah menjadi favorit masyarakat. Sangat dimungkinkan hal ini terkait dengan persaingan antara rokok tradisional (bahan baku tembakau) dengan rokok modern (bahan baku sintesis).
Peringatan : “Tidak Ada Batas Aman” dan “Mengandung Zat Kimia dan Zat Penyebab Kanker”
Dalam Pasal 22 dinyatakan: Pada sisi samping lainnya dari Kemasan Produk Tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dicantumkan pernyataan, “tidak ada batas aman” dan “mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”.
Kuantitas 4000 zat kimia (berbahaya), kalau fair harusnya disebutkan, 4000 zat itu apa saja, tetapi itu tidak mungkin. Kita menyebutkan 4000 zat berbahaya, dicantumkan semua, itu tidak mungkin. Dan kita harus meminta pertanggung jawaban terhadap mereka yang mewajibkan itu. 4000 itu apa saja? Jadi ini menurut saya over claim yang berbahaya karena bisa saja menipu. Kita bisa meminta kepada pemerintah yang menginginkan ketentuan ini, kenapa bisa sampai jumlah sebesar itu, dan jika kita mau fair terhadap konsumen, 4000 itu apa saja. Hal ini tidak mungkin suatu kewajiban tidak dilaksanakan dan tidak masuk akal, berujung pada peringatan bergambar yang vulgar dan seram. Padahal gambar seperti ini, seharusnya merepresentasikan bahaya sesungguhnya, jadi perceived risk itu harus berkorelasi dengan real risk, resiko yang dipersepsi harus sama dengan resiko yang nyata.
Pernyataan ada di 4000 zat ini, merupakan sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak pernah diperlihatkan secara jelas dan terang, terdiri dari zat apa sajakah itu. Jadi sebenarnya hanya karena 4000 lah maka kita harus memuat peringatan yang vulgar dan berlebihan. Padahal peringatan vulgar dan berlebihan ini tidak merepresentasikan resiko sesungguhnya. Sesungguhnya ada di 4000 zat ini tidak pernah diketahui apa saja 4000 ini. Jadi tidak berlebihan apabila timbul pernyataan seperti ini “buatlah gambar yang bisa membuat orang terteror untuk orang tidak merokok”, begitu sebenarnya logikanya. Karena kandungan 4000 zat berbahaya sebagaimana disebutkan didalam Pasal ini, tidaklah valid dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Atau terkesan sebagai semacam tipuan yang berbalut sesuatu yang akademis, jadi bisa disebut sebagai manipulasi yang seolah disajikan melalui kajian akademis.
Sebagai ilustrasi, apabila kita menghirup udara ini, terdapat jutaan zat berbahaya yang masuk, makanya kita punya self system yang disebut anti body. Polusi itu misalnya bila kita hitung, dan kita uji coba di lab, mungkin ada ratusan ribu zat berbahaya. Oleh karena itu setiap orang mempunyai antibody, kalau dia sedang turun antibody-nya maka akan jatuh sakit, karena seluruh udara yang ada di ruangan ini penuh zat berbahaya. Melalui ilustrasi ini apabila merujuk pada instrumen dalam PP tersebut sebagai komparasi, apakah nanti orang dilarang bernafas karena banyak zat berbahaya.
Sesuatu yang dianggap “berbahaya” tentunya ada semacam gradasi. Dari low, medium sampai high. Sehingga dapat diidentifikasi mana rendah, mana yang sedang dan mana yang tinggi. Apakah semua sama bahayanya, apakah ini berbahaya kalau ada kontribusi dari zat lain. Jadi ada yang berbahaya pada dirinya, ada yang berbahaya bila dikompositkan dengan zat lain. Dalam konteks ini, perlu dipertanyakan instrumen didalam PP tersebut terdiri dari apa sajakah apakah 4000 zat kimia yang berbahaya itu? Seandainya dilakukan sebuah uji undang-undang, dalam proses uji PP ini ke Mahkamah Agung (MA), maka pertanyaan ini harus keluar, karena secara akademik tidak valid dan lalu apa bedanya dengan barang-barang konsumsi lain.
Penelitian mengenai rokok telah dilakukan oleh banyak lembaga dan hasilnya banyak sekali. Semua statistik penelitian rokok menyimpulkan dampak signifikan yang kurang baik. Diantaranya, misalnya, senyawa-senyawa itu disebut mengandung racun. Pendekatan keilmuan seperti ini adalah analisis dengan alat observasi dengan ditekan dan pecah, selanjutnya terdiri dari senyawa gramatikal yang pecah tadi menjadi racun. Tapi penelitian tersebut kurang kuat, dikuatkan lagi eks penekanan, komponen tadi dicobakan di tikus kemudian diasap, dan bermasalah. Semua yang penyebab masalah tersebut disebabkan mercury yang sudah mengotori udara dan meracuni tumbuhannya.
Mercury tersebut menjadi radikal bebas ketika bersinggungan dengan sinar UV menjadi asing, sisi lain keasingan penelitian tersebut, ketika menjadi asing tersebut butiran tersebut di udara menjadi 10.000 nanometer. Nikotin tersebut melakukan kuantum bolak-balik, nikotin kanan dan nikotin kiri, ketika dicobakan di tikus maka menjadi positif baik, artinya bukan menjadi racun melainkan menjadi obat. Hal ini telah dibuktikan secara ilmiah oleh Prof. Greta Zahar (Pakar Fisika Nuklir), dr. Saraswati, Prof. Dr. Sutiman dengan segala dedikasinya. Dari hasil penelitian mereka menunjukan bahwa pederita kanker akut kebanyakan tidak merokok. Penyebab penyakit harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain. Dokter Greta 2007, menemukan rokok bisa menjadi aman dengan merubah karakter asap, yaitu dengan merubah sifat material (kimia radiasi).
Uraian materi dalam Pasal 20 hingga Pasal 22 PP No. 109 Tahun 2012 secara umum tidak jelas kaitannya dengan Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Bagi perokok, besar kecilnya ‘kadar’ nikotin dan tar tidak dihiraukan, yang penting cita rasanya. Jika PP No. 109 Tahun 2012 ini benar-benar turunan dari Undang-Undang Kesehatan, maka pencantuman kadar seharusnya dikaitkan dengan efek dari kadar nikotin dan tar terhadap kesehatan. Karena tidak ada ketentuannya, hal ini cenderung hanya untuk mempersulit perdagangan produk rokok dengan bahan baku tembakau.
Cita rasa produk rokok dengan tembakau asli dibanding dengan produk rokok dengan tembakau sintesis rasanya tentu berbeda, bisa jadi lebih nikmat produk rokok dengan tembakau asli. Dalam dunia perdagangan, produk rokok dengan tembakau asli bisa menguasai pasar dibanding dengan produk rokok dengan tembakau sintesis. Jika mencermati alur pernyataan tersebut, maka buka berlebihan apabila terdapat suatu selubung didalam PP ini bermakna instrumen sebuah persaingan ‘dagang’ yang tidak sehat.
Pasal 22 yang menyatakan “Tidak ada batas aman” dan “mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker” bersifat over-excessive (over-exaggeration), membesar-besarkan, menakut-nakuti atau bombastis. Padahal fungsi dari pada peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 5 menjelaskan bahwa, setiap peraturan pemerintah harus mengandung asas antara lain: 1) Dapat dilaksanakan, artinya setiap peraturan harus memperhitungkan efektifitasnya di dalam kehidupan masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis; 2) Daya guna dan hasil guna, artinya setiap peraturan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 3) Pengayoman, artinya setiap materi peraturan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat; 4) Kemanusiaan, artinya setiap materi peraturan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; 5) Kekeluargaan, artinya setiap materi peraturan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan; 6) Keadilan, artinya setiap materi peraturan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara; 7) Keseimbangan, keserasian dan keselarasan, artinya setiap materi peraturan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
Pernyataan dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 22 justru tidak selaras dengan fungsi pemerintahan yang seharusnya membangun “kesadaran” masyarakat atas kesehatan dalam hal merokok, bukan “menakut-nakuti”. Pada umumnya masyarakat mengetahui tembakau sebagai bahan baku rokok, meskipun ada yang menganggap daun tembakau mengandung zat yang berdampak negatif, tetapi ada juga yang menganggap tidak berdampak negatif. Bahkan ada yang memahami tembakau sebagai obat, khususnya orang-orang tua. Manfaat tembakau yang mereka ketahui sebagai obat anti kanker, melepaskan gigitan lintah, obat diabetes, anti radang, obat untuk kesehatan ternak, penghilang embun, obat luka bernanah, obat sakit gigi, dan lain-lain. Di desa masih ada orang menggunakan tembakau untuk menginang, tembakau digunakan sebagai alat pembersih gigi (di Jawa Tengah namanya susur). Dari sini menunjukkan bahwa orang-orang tua yang masih menjalani hidup secara alami (belum tercemar oleh bahan-bahan kimia) menggunakan tembakau dalam fungsinya yang lain, artinya tidak apriori memandang tembakau sebagai zat yang negatif seperti yang tertuang dalam Pasal 20 s/d 22 PP No. 109 Tahun 2012. Dengan demikian rumusan pasal itu mengundang pertanyaan apa sesungguhnya yang hendak dituju dengan PP tersebut oleh pemerintah ?
Berdasarkan data WHO pembunuh nomer satu bukanlah rokok melainkan kolesterol, maka cukuplah di tiap kemasan rokok sudah mencantumkan peringatan bahwa “Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin” atau bisa juga dengan kalimat yang lebih aktif seperti “Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin dapat Disebabkan dari Merokok”. Meski hal tersebut sebenarnya masih debatable karena adanya fakta-fakta penelitiaan akademis yang juga menyajikan fakta tentang adanya manfaat positif dari rokok.
Nashkah asli: OPINI AKADEMIK Atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Selengapnya dapat dibaca pada naskah berikut ini.