Presiden Joko Widodo, dalam rapat terbatas, menegaskan bahwa tingkat stunting harus bisa menuju angka 14%. Angka tersebut jauh dari target minimal yang saat ini baru mencapai 20,6%. Jokowi mendesak seluruh elemen terkait untuk mewujudkan hal tersebut.
Bak gayung bersambut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang selama ini nyaring bunyinya apabila membahas stunting ikut-ikutan berpendapat. Salah satu pendapat yang cukup populer adalah merokok menghambat proses pertumbuhan anak sehingga menyebabkan terjadinya stunting.
Namun, apakah memang merokok menjadi penyebab stunting? Atau adakah faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya hambatan pertumbuhan anak?
Merokok dan Stunting
Apabila meninjau data dari World Health Organization (WHO), ada tiga hal penting yang menyebabkan terjadinya stunting yaitu, infeksi berulang, gizi buruk, dan minimnya stimulasi psikososial. Maka, apabila melihat ketiga hal tersebut, tidak ada kaitan merokok dengan stunting. Jika ada, tentu ini hanyalah akal-akalan semata dari pihak-pihak yang enggan bertanggung jawab.
Merokok sering dianggap sebagai penyebab stunting. Apalagi kementerian yang satu ini berulang kali menyebarkan pesan tersebut baik melalui media daring maupun luring. Isi pesan yang sering berulang adalah jangan sampai uang untuk kebutuhan gizi anak justru digunakan untuk membeli rokok.
Pesan tersebut terasa ganjil. Sebab, bagaimana mungkin ada orang tua yang lebih memilih untuk mengaburkan prioritas sehingga memuaskan keinginan semata? Sudah pasti karena Kemenkes tidak menemukan jalan lain maka menuduh rokok sebagai penyebab stunting merupakan hal yang memungkinkan.
Akan tetapi, yang entah disadari atau tidak oleh Kemenkes, ada sejumlah fakta yang penting mengenai hubungan antara perilaku merokok dan stunting. Fakta tersebut ini berlandaskan Persentase Merokok pada Penduduk Usia di Atas 15 tahun menurut Provinsi (2020-2022) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik dan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 terkait stunting yang dilakukan Kementerian Kesehatan.
Menurut BPS (2022), dari data perilaku merokok di Indonesia, ada 13 provinsi yang masih di atas persentase rata-rata penduduk merokok. Perlu diketahui bahwa persentase penduduk merokok di Indonesia saat ini adalah 28,26%. Adapun delapan provinsi di antara 13 tersebut antara lain:
- Lampung: 33,81%
- Bengkulu: 32,16%
- Jawa Barat: 32,07%
- Banten: 31,21%
- Sumatera Selatan: 30,49%
- Jawa Tengah: 28,72%
- Jambi: 28,62%
- Jawa Timur: 28,51%
Di sisi lain terdapat 16 provinsi di Indonesia, yang menurut SSGI, berada di bawah rata-rata angka stunting nasional. Perlu diketahui, rata-rata angka stunting nasional adalah 21,6%. Itu masih di atas anjuran WHO sebesar 20%. Delapan provinsi di antara 16 tersebut antara lain:
- Bali: 8%
- DKI Jakarta: 14,8%
- Lampung: 15,2%
- Kepulauan Riau: 15,4%
- DIY: 16,4%
- Riau: 17%
- Jambi: 18%
- Kep. Bangka Belitung: 18,5%
Dengan membandingkan kedua data di atas maka Anda akan menemukan paradoks. Lampung dan Jambi masih memenuhi standar WHO. Bahkan, nomor sembilan dan sepuluh yaitu Bengkulu dan Jawa Timur masih bisa menjadi yang terbaik untuk urusan stunting.
Kalau melihat data di atas, tentu akan sangat mengagetkan bagi mereka, khususnya kaum anti rokok yang acap kali menyebarkan informasi mengenai merokok menyebabkan stunting. Dengan demikian, argumen seperti itu dengan sendirinya akan musnah, dan semestinya tak berbekas.
Oleh karena itu, ketika anak mengalami gizi buruk bukan berarti karena orang tua atau tetangga sekitar yang merokok melainkan orang tua yang tidak memahami mana kebutuhan utama dan mana yang bukan utama. Sebab, sudah seharusnya kebutuhan anak sangat diutamakan.
Sekadar saran untuk kaum anti rokok. Cobalah lakukan survei, penelitian, atau apa pun bentuknya secara menyeluruh, ya. Masukkan data yang rigid supaya tidak menimbulkan kekeliruan tafsir.