polusi udara rokok
OPINI

Kenapa Polusi Udara Selalu Disetarakan dengan Rokok?

Betapa menjengkelkan sebuah berita tentang polusi udara yang menyetarakan dengan mengisap ratusan batang rokok. Ilustrasinya, apabila sebuah wilayah terindikasi memiliki PM2.5 di angka 80 mikrogram per meter kubik maka setara mengisap 112 batang rokok selama sebulan. 

Pertanyaannya mengapa hal seperti selalu dikaitkan dengan rokok? Mengapa bukan pembakaran fosil atau asap kendaraan bermotor?

Padahal, jika mengacu dari pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa hari yang lalu, polusi udara lebih banyak disebabkan pembakaran fosil yang berasal dari pabrik dan berjubelnya kendaraan bermotor. Rokok, barangkali adalah satu dari sebagian kecil asap, tetapi kedua hal di atas adalah penyebab utama. 

Polusi Udara = Mengisap Ratusan Batang Rokok?

mengisap batang rokok polusi

Rokok acapkali dituding sebagai penyebab terjadinya peristiwa kebakaran hutan atau gedung, kejahatan antar sesama manusia, dan sebagainya. Rokok juga sering kali dikaitkan dengan berbagai penyakit yang mematikan seperti kanker, serangan jantung, dan sebagainya. 

Maka, menuding rokok sebagai alasan di balik memburuknya polusi udara di Indonesia, khususnya di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya adalah sesuatu yang wajar. Toh, hal ini diperkuat dengan jumlah perokok di Indonesia yang, menurut WHO, angkanya cukup tinggi. 

Konon, 70% pria di Indonesia, semuanya merokok. 30% lainnya belum atau potensi menuju ke arah sana. Persentase yang mengerikan sepertinya, ya?

Namun, singkirkan persentase tersebut dari benakmu. Yang pasti, merokok adalah perilaku yang bisa dihindari. Merokok atau tidak merokok adalah pilihan individu. Dan orang merokok menjadi tidak merokok adalah sesuatu yang biasa saja. Lihat saja saat bulan puasa tiba. 

Tetapi, polusi udara tidak bisa dihindari. Ia akan terus ada dan berlipat ganda. Setiap detik, orang akan menghirup udara. Di setiap detik pula, udara yang mereka hirup bisa jadi tercampur dengan asap pabrik atau kendaraan bermotor

Pabrik-pabrik itu mesti berproduksi 1×24 jam. Kendaraan bermotor dari pagi ke pagi lagi selalu lalu lalang tiada henti. Tidak ada yang bisa menghentikan aktivitas tersebut, kecuali kembali lagi ke masa pandemi. 

Kalo rokok dikaitkan dengan polusi udara, mestinya saat pandemi polusi udara di Jakarta atau bahkan di seluruh Indonesia memburuk. Sebab, lagi-lagi, data dari WHO menunjukkan bahwa perilaku orang merokok meningkat drastis. Dan itu, konon, menjadi suatu persoalan besar yang harus dibereskan.

Faktanya, justru saat pandemi Covid-19 lah yang mampu menyelesaikan dua masalah klasik di ibu kota: kemacetan dan polusi udara. 

Selama Ada Rokok, Pasti akan Menjadi Biang Keladi Permasalahan di Indonesia

perempuan merokok

Mau dibuat fakta seperti di atas, tampaknya memang rokok lah yang mudah dan lebih layak dianggap sebagai sebuah perbandingan. Bentuknya yang tidak lebih panjang dari pulpen atau pensil membuatnya lebih mudah dihitung, mungkin. 

Lalu, mungkin pula, menghitung kendaraan bermotor yang sangat banyak setiap hari tidak sanggup dilakukan oleh mereka karena kemacetan yang tiada mengenal waktu.

Barangkali, itu pula yang menyebabkan asap pabrik dari berbagai industri susah diperbandingkan karena lagi-lagi asapnya tidak mengenal waktu. 

Dan mungkin pula, karena gelontoran dana yang begitu besar dari elit kapitalisme global, lebih baik menyetarakan rokok dengan polusi udara. Sebab, jika rokok berhasil disingkirkan, produk tembakau alternatif seperti tembakau dipanaskan bisa langgeng di Indonesia tanpa memiliki kompetitor. 

Jika hal tersebut benar adanya, ah, memang keberadaan rokok tidak direstui oleh para bajingan tengik penyembah cuan, kecuali cukainya.