Sebagai negara yang memiliki tanah dengan kekayaan alam luar biasa, Indonesia agaknya bersyukur. Sebab, segala bentuk tanaman yang hidup di tanah Indonesia mampu memberikan penghidupan yang layak bagi masyarakatnya. Salah satu tanaman tersebut adalah tembakau.
Tembakau merupakan tanaman yang memberikan dampak positif tidak hanya bagi masyarakatnya melainkan juga negara. Proses menanam, memanen, mengolah, hingga distribusi membutuhkan keterlibatan banyak orang. Hasil olahan tembakau, yang kemudian kita kenal sebagai rokok, membikin keuangan negara tetap stabil bahkan saat pandemi sekali pun.
Sayangnya, dengan berbagai penjelasan di atas, negara seperti tidak serius untuk mengelola tembakau. Penghapusan pupuk untuk tembakau oleh negara adalah salah satu sikap negara yang seolah tidak acuh dengan luas lahan tembakau masa kini. Ya, dari tahun ke tahun, luas lahan tembakau semakin menyusut.
Ada apa dengan tembakau?
Lahan Tembakau Menyusut, Impor Tembakau Meroket
Berdasarkan statistik yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2019, luas perkebunan tembakau semakin menyusut.
Tahun | Luas Perkebunan Tembakau (ribu Ha) |
2012 | 270,29 |
2013 | 192,81 |
2014 | 209,4 |
2015 | 209,1 |
2016 | 156 |
2017 | 201,9 |
2018 | 204,5 |
2019 | 234,6 |
2020 | 218,5 |
2021 | 213,7 |
2022 | 202,5 |
Ada banyak faktor yang menyebabkan lahan perkebunan tembakau menyusut. Salah satunya adalah kenaikan cukai hasil tembakau yang eksesif. Dari 2020 hingga 2022, kenaikan tembakau selalu di atas dua digit.
Tahun | Kenaikan Cukai Rokok (Persentase) |
2020 | 23 |
2021 | 12,5 |
2022 | 12 |
Kenaikan cukai rokok itulah yang menyebabkan produksi rokok, khususnya golongan I dan II, semakin menyusut. Imbasnya, orang-orang beralih ke rokok golongan III yang mana tidak menyumbang begitu banyak bagi pemasukan negara. Gelombang kenaikan cukai rokok yang semakin eksesif, terbukti memberikan dampak serius bagi negara pada semester I tahun 2023.
Penerimaan cukai rokok pada semester I tahun 2023, menurun sekitar 8,93%. Hal-hal seperti inilah yang tampaknya membuat lupa pemangku kebijakan. Semestinya harus ada perbaikan secara menyeluruh, khususnya dari tingkat kenaikan cukai rokok.
Yang mengejutkan adalah impor tembakau naik. Dari 2020 hanya 110.275 menjadi 116.931 pada 2021. Tentu saja, ini pandangan yang buruk bagi negara. Dengan predikat sebagai produsen tembakau terbesar kelima di dunia, impor tembakau yang semakin meningkat suatu kekeliruan. Mengapa demikian?
80% dari produksi kretek di Indonesia menggunakan tembakau lokal. Sisanya baru menggunakan tembakau impor yang jumlahnya sangat sedikit. Dengan peningkatan dari tahun ke tahun, hal ini menyiratkan bahwa negara lebih memilih untuk mengelola tembakau dari luar negeri ketimbang dalam negeri.
Jika ditarik lebih jauh lagi, bisa jadi dana Bloomberg yang begitu besar memberikan dampak serius bagi tembakau Indonesia. Bloomberg lah yang dari tahun ke tahun menyuarakan pengendalian tembakau, meskipun kata pengendalian tersebut hanya penghalusan saja.
Negara Harus Lebih Peduli terhadap Tembakau Indonesia
Satu hal yang harus diperhatikan oleh negara adalah kedaulatan dan kemandirian ekonomi. Jangan sampai karena terbuai cuan dari lembaga asing maka menyebabkan buta mata dan hati para pemangku kebijakan. Sehingga mereka lebih memilih untuk menuruti kemauan lembaga asing.
Semestinya pemangku kebijakan bersikap lebih serius untuk menata perkebunan tembakau di Indonesia. Ingat, hampir 90% perkebunan tembakau di Indonesia adalah perkebunan rakyat. Apabila hal tersebut dihiraukan, sudah pasti penerimaan negara melalui cukai rokok menurun. Ingat pula, satu-satunya industri yang selalu melampaui target penerimaan negara hanyalah industri hasil tembakau, bukan yang lain.