petani tembakau Indonesia
OPINI

Tak Ada Tempat untuk Perokok di Public Hearing RPP Tembakau Kementerian Kesehatan

Tak ada tempat bagi perokok di pembahasan regulasi terkait rokok. Mungkin lucu, tapi begitulah kenyataan yang harus dihadapi oleh perokok, serta beragam pemangku kepentingan industri kretek di hadapan rezim kesehatan Indonesia. Hal ini lagi-lagi terjadi ketika Kementerian Kesehatan membuat Public Hearing terkait RPP Tembakau dan Rokok Elektrik yang dilangsungkan pada Rabu 20 September 2023 di Jakarta. 

Sebagaimana semua tahu, setelah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disahkan, kemudian akan ditindaklanjuti dengan beragam rancangan peraturan pemerintah terkait, termasuk tentang tembakau. Dan hal ini sepertinya dikebut oleh Kementerian Kesehatan dengan langsung membuat Public Hearing terkait 3 RPP, termasuk tentang tembakau dan rokok elektronik. 

Dalam Public Hearing tersebut, Kementerian Kesehatan mengundang banyak sekali pihak untuk didengarkan pendapatnya, tetapi tidak ada tempat untuk perokok. Di undangan tersebut, setidaknya ada 3 organisasi masyarakat yang diundang; CISDI, FAKTA, dan YLKI yang selama ini dikenal sebagai kelompok anti tembakau. Namun, dimana organisasi atau pemangku kepentingan kretek yang diundang? 

Sialnya, tak ada satupun kelompok pemangku kepentingan industri kretek yang diundang ke Jakarta. Di undangan memang mencantumkan Asosiasi Rokok dan Vape serta Asosiasi Petani Tembakau. Namun, ketika kami konfirmasi ke asosiasi yang bersangkutan, pihak mereka merasa tidak diundang oleh Kementerian Kesehatan. 

Bahkan, organisasi di level Gabungan Perserikatan Perusahaan Rokok Indonesia pun tak diundang. Jika satu organisasi sebesar Gappri saja tak diundang, apalagi kelompok masyarakat seperti Komunitas Kretek yang menjadi garda depan advokasi konsumen rokok di Indonesia. Dan hal ini jelas menunjukkan jika tak ada tempat bagi perokok di pembahasan regulasi yang akan berdampak langsung pada mereka. 

Secara umum ini adalah hal yang biasa terjadi di Indonesia. Namun, hal yang dianggap biasa oleh rezim ini adalah sebuah bentuk pembungkaman terhadap aspirasi masyarakat. Sebuah cacat dalam demokrasi yang diagung-agungkan oleh pemerintah, tapi tidak dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan. 

Sejak awal tahun Kementerian Kesehatan memang terlihat ngotot ingin mengubah PP Tembakau yang sebelumnya sudah ada. Bahkan, sebelum UU Baru disahkan, mereka sudah ngotot ingin menggantinya. Katanya karena rokok elektrik belum ada di regulasi. Padahal jika hanya soal itu, ya tinggal buat aturan terkait rokok elektrik yang terpisah dari PP 109. Namun, nyatanya bukan itu yang diinginkan Kementerian Kesehatan. 

Sejak awal yang diinginkan oleh Kementerian Kesehatan adalah perubahan aturan terkait iklan dan pembatasan-pembatasan lain yang akan mematikan industri kretek. Tidak pernah ada perubahan dalam regulasi terkait rokok yang bersifat perbaikan, karena isinya kebanyakan destruktif kepada IHT. Lagipula, bagaimana regulasi akan bersifat mengakomodir semua pihak jika yang diundang hanya sebelah pihak? 

Dan proses pembentukan regulasi terkait rokok hampir selalu bersifat seperti ini di Indonesia. Kementerian Kesehatan, juga Kementerian Keuangan, tidak pernah mau mengundang kelompok pemangku kepentingan industri kretek, terutama kelompok yang menaungi para perokok di Indonesia. Sebuah cacat dalam demokrasi, dimana ketika regulasi dibuat, maka kelompok kepentingan terhadap pihak yang terdampak langsung harus diundang. 

Karena itu, jika ke depannya RPP tembakau dan rokok elektrik segera disahkan tanpa mengundang pihak yang mengakomodir hak-hak perokok, sudah jelas jika regulasi itu cacat bahkan sejak dalam pembentukan. Dan jika regulasi dibuat tanpa menimbang hak-hak perokok, untuk apa perokok harus mengikuti regulasi cacat seperti itu?