rokok, merokok, dan stunting
OPINI

Asal Kamu Tahu, Rokok Bukan Penyebab Utama Stunting

Stunting adalah kondisi ketika seorang balita memiliki tinggi badan di bawah rata-rata. Kondisi ini dikarenakan asupan gizi yang diberikan tidak sesuai kebutuhan yang diperlukan seorang anak untuk tumbuh. Kekurangan gizi yang terus-menerus terjadi itulah yang menyebabkan terjadinya stunting. Lalu, bila demikan asal muasalnya, lantas mengapa rokok kemudian dituding sebagai penyebab utama terjadinya stunting? 

Bahkan pernyataan dari pemangku kebijakan yang bertanggung jawab atas masalah ini pun juga memperkarakan rokok sebagai penyebab utama stunting. Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin meminta para ayah yang memiliki balita di bawag dua tahun untuk berhenti membeli rokok guna mencegah stunting. Ia menyarankan uang untuk membeli rokok lebih baik dialokasikan untuk membeli protein hewani.

Bahkan penelitian pengaruh asap rokok pun segera dilakukan ketika isu angka stunting di Indonesia melebihi dari pagu minimal yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia. 

malam 1 suro

Ya, pasti ada pengaruh. Bahkan sejak janin. Penelitiannya memang hendak membuktikan itu. Yang diteliti pun para perokok. 

Sebentar, sebentar… bila pernyataan Menkes dan penelitian itu adalah akar permasalahan dari problem stunting yang masih terus terjadi bukankah solusinya udah jelas, ya? Yakni dengan membuat harga rokok murah dengan mencabut cukai dan pajak yang mencapai 80% dari harga atau bila tidak larang orang merokok. Dengan begitu anggaran penghasilan keluarga tidak terserap besar untuk rokok. 

Selesai sudah. Tetapi, apakah kemudian Anda yakin dengan tidak ada orang Indonesia yang merokok maka persoalan stunting bisa selesai? 

Yak, benar. Saya juga beranggapan tidak. Karena pengeluaran rokok bisa berganti untuk pengeluaran lain. 

Akar Masalah Stunting yang Disembunyikan

Bila melihat pengertian stunting dan apa yang menjadi pemicu utamanya di kalimat pertama, kita bisa melihat bahwa stunting terjadi dengan proses yang lama. Bahkan sejak seorang bayi di dalam kandungan pun memberi pengaruh.

Itu artinya, birokrasi kesehatan di negara ini bekerja dengan sangat buruk dalam menyampaikan informasi kesehatan sejak seorang ibu mengandung sampai kemudian lahir. Sehingga terjadilah stunting. 

Bila informasi terkait gizi itu bisa sampai dengan baik, maka saya yakin tidak ada orang tua yang ingin anaknya mengalami keterlambatan dalam perkembangannya untuk tumbuh. 

Bahkan bila itu kekurangan protein hewani atau telur bisa dengan mudah dipenuhi. Tidak harus dengan membeli, bisa dengan memelihara sendiri sehingga bisa dengan rutin menjadi konsumsi harian. Atau bisa diganti dengan keong dan semacamnya yang mudah didapat dengan cuma-cuma. Bisa pula diganti dengan protein nabati yang harganya terjangkau. 

Namun, yang menjadi persoalan, kesadaran akan hal itu yang tidak ada di masyarakat. Jadi, selama proses kehamilan dan fase tumbuh kembang anak, orang tua tidak menyadari kalau ternyata buah hatinya kekurangan gizi. Mereka cenderung melakukan kebiasaan sehari-hari dalam hal asupan makanan, tanpa menghitung nilai gizinya. 

Kondisi seperti ini tidak diakui oleh Kementerian Kesehatan atau lembaga-lembaga yang bertanggung jawab, malah melemparkan persoalan pada rokok. 

Sikap ini sebenarnya berbahaya karena membuat orang awam menjadi terkecoh dengan meletakkan semua masalah pada rokok. Padahal, yang dibutuhkan adalah sistem distribusi informasi terkait nilai gizi yang perlu diperoleh dan dipahami bagi setiap orang tua yang akan memiliki anak.