kemasan rokok
OPINI

Kenapa Menolak Kemasan Rokok Berisi 20 Batang Sesuai Ketentuan RPP Kesehatan? 

Di dalam RPP Kesehatan terdapat pasal-pasal yang memberatkan bagi Industri Hasil Tembakau. Salah satunya pasal yang mengatur tentang kemasan rokok harus 20 batang.

Kemasan rokok rencananya akan menjadi 20 batang per bungkus sebagaimana yang telah tertuang di RPP Kesehatan. Hal ini menuai protes para pegiat di Industri Hasil Tembakau di dalam negeri.

Kebijakan yang sepertinya sepele ini ternyata mempunyai konsekuensi panjang. Bahkan bisa menjadi jurus pamungkas untuk menghancurkan industri rokok di dalam negeri. 

Perlindungan Produk Lokal

Kemasan rokok 20 batang sebelumnya hanya tertuju untuk rokok putih. Rokok putih adalah rokok yang terbuat dari tembakau jenis virginia dan tanpa campuran cengkeh. Sehingga dalam satu kemasan rokok putih lebih mahal daripada rokok kretek yang khas Indonesia. 

Dengan rencana aturan baru kemasan rokok minimal 20 batang yang terdapat dalam RPP Kesehatan maka tidak ada lagi perlindungan terhadap produk lokal. Rokok putih dan rokok kretek tidak ada perbedaan dari segi kemasan. 

Harga satu bungkus rokok jenis kretek akan menjadi lebih mahal daripada sebelumnya karena jumlah batangnya lebih banyak. Apalagi, RPP Kesehatan juga melarang rokok diperjualbelikan secara eceran atau batangan. 

Rencana peraturan ini akan membuat rokok kretek mengalami tekanan yang dahsyat. Di satu sisi kenaikan tarif cukai telah membuat rokok legal harganya melambung tinggi, di atas kemampuan daya beli konsumen. Sehingga konsumen beralih ke rokok ilegal. 

Penggantian Mesin Produksi 

Proses produksi juga mengalami pengaruh akibat aturan kemasan minimal 20 batang seperti yang diinginkan RPP Kesehatan.

Rencana ini membuat pabrik-pabrik rokok kretek mendapatkan beban tambahan untuk mengganti mesin sesuai ketentuan baru tersebut sementara kondisi penjualan tidak stabil. 

Penyesuaian mesin produksi ini memberatkan terutama bagi pabrik rokok skala kecil dan menengah. Pergantian kemasan sekaligus tuntutan buat mereka mengganti mesin produksi. 

Apalagi pergantian tersebut berlangsung di saat kondisi pasar rokok di Indonesia tidak bagus. Apalagi harga rokok yang semakin tinggi karena tarif cukai yang terus naik membuat konsumen mencari produk alternatif. Salah satunya rokok ilegal yang makin marak namun minim penindakan dari pemerintah.

Lalu, yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah tega melihat keadaan tersebut? Atau memang dengan sengaja perlahan-lahan meluluhlantakkan Industri Hasil Tembakau?