kenaikan cukai hasil tembakau
OPINI

Ada Kenaikan Cukai Hasil Tembakau, Siap-siap Peredaran Rokok Ilegal Meroket

Salah satu potensi kerugian dari kenaikan cukai hasil tembakau adalah peredaran rokok ilegal yang semakin meroket.

Palu telah diketuk. Cukai hasil tembakau resmi naik. Per 1 Januari 2024, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 191 Tahun 2022 resmi menaikkan cukai hasil tembakau sebesar 10 persen. 

Dengan kenaikan angka tersebut secara otomatis akan membuat harga rokok meningkat. Hal tersebut sesuai dengan pasal 1 ayat 2 terkait kenaikan tarif cukai. Mulai dari sigaret, cerutu, klobot, hingga tembakau iris. 

Selain harga rokok meningkat, pemerintah, lagi-lagi, tidak menyadari bahwa ada potensi kerugian yang mencapai triliunan rupiah. Apalagi jika bukan peredaran rokok ilegal. 

Tahun 2022 saja, peredaran rokok ilegal telah mencapai 54%. Sungguh peredaran yang masif dan membuat operasi gempur rokok ilegal seperti sia-sia. 

Operasi tersebut perlu dikatakan sia-sia meskipun penangkapan terhadap rokok ilegal meningkat. Sayangnya, penangkapan terhadap pengedar rokok ilegal seperti sebuah judul buku dari Kartini, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. 

Sehari ditangkap, dua hingga tiga hari kemudian tumbuh lagi. Tidak akan ada habisnya. 

Kenaikan Cukai Hasil Tembakau Membuat Peredaran Rokok Ilegal Meningkat

Untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tidak mencapai target. Realisasi penerimaan CHT menurun sebesar 2,23% pada 2023. Ini tentu saja tidak mengejutkan bagi pelaku Industri Hasil Tembakau. (IHT).

Produksi rokok turun sebesar 1,8% akan membuat penerimaan negara melalui CHT jelas menurun. Memang ada kenaikan cukai hasil tembakau dari sisi golongan 2 dan 3. Namun, jangan lupa bahwa penerimaan negara melalui CHT ditopang oleh golongan 1 hampir sebesar 80%. 

Selain karena produksi rokok menurun, hal lainnya adalah seperti data di atas, yaitu peredaran rokok ilegal meningkat. 

Jika kamu mengetikkan kata “rokok ilegal” dalam pencarian Google, ada referensi dua kata yang identik terhadap hal tersebut. Pertama, ada kata murah dan kedua, ada kata Madura.

Nah, realita di lapangan menjelaskan bahwa harga rokok ilegal jauh lebih murah daripada harga rokok legal. Hal ini dapat terjadi karena rokok ilegal tidak melekatkan pita cukai sebagai bukti barang kena cukai. 

Jika ada kata Madura, kebetulan daerah tersebut lebih sering tertangkap media karena berita rokok ilegal. Meskipun demikian, bukan Madura yang semestinya mendapat predikat kota dengan peredaran rokok ilegal, melainkan Malang. 

Dari data Kementerian Perindustrian, Malang menempati peringkat pertama untuk jumlah pabrik rokok. Itu melampaui Kudus yang mendapat sebutan Kota Kretek. 

Akan tetapi, bukan mana daerah yang menjadi sorotan karena mengedarkan rokok ilegal melainkan bagaimana keseriusan pemerintah dalam memberantas rokok ilegal. 

Tidak Ada Bentuk Keseriusan Pemerintah Menanggulangi Rokok Ilegal

Pemerintah memang tidak serius untuk memberantas rokok ilegal. Hal ini terbukti dengan lahirnya PP Nomor 54 Tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara. PP tersebut menggantikan PP Nomor 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai. 

Dalam PP Nomor 54 hanya ada sanksi administratif yaitu pelaku atau tersangka pengedar rokok ilegal wajib membayar denda sebesar 4x nilai cukai yang seharusnya dibayar. 

Lalu, bagaimana jika pelaku tidak atau kurang membayar denda tersebut? Dalam pasal 7 di PP tersebut penyidikan akan dilanjutkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Itu seperti kalimat normatif. Tidak ada kalimat yang jelas. Ini sama saja yang penting pelaku mau membayar denda maka pelaku bisa bebas. Alasannya demi kepentingan negara. 

Yah, sama saja bo’ong. Ini mah gimana-gimana tetap pemerintah akan untung.