Rejeban Plabengan: Ritual Penghormatan Kepada Air dan Leluhur
Liputan

Rejeban Plabengan: Ritual Penghormatan Kepada Air dan Leluhur

Masyarakat petani tembakau di Dusun Cepit, Desa Pagergunung, Kecamatan Bulu, Temanggung, melaksanakan ritual Rejeban Plabengan pada Jumat, 26/1/2024. Ritual ini merupakan sebagai bentuk rasa syukur warga petani atas panen hasil pertanian, juga penghormatan dan rasa syukur terhadap air yang berasal dari Tuk di petilasan Plabengan. Juga sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Dinamakan Rejeban Plabengan karena ritual Rejeban itu dilaksanakan di petilasan Ki Ageng Makukuhan dan makam santri-santrinya di Plabengan.

Plabengan merupakan sebuah tempat yang berada di ketinggian 1200 mdpl di lereng gunung Sumbing. Plabengan dikeramatkan karena dipercaya menjadi tempat bermusyawarah Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Juga ruang pertemuan bagi wangsa jin, juga pepunden dari beberapa gunung di sekitarnya termasuk pepunden gunung Dieng yakni Empu Supa, dan pepunden gunung Merapi Kyai Kendil Wesi. 

Mereka bertemu di Plabengan setiap tahun pada hari Jumat menjelang bulan purnama di bulan Rejeb/Rajab. Tidak ada yang bisa menjelaskan apa saja isi pertemuan wangsa Makukuhan tersebut. Sejak kuncen kedua Mbah Suyono yang saya tanyai pada tahun 2019  hingga saat ini kuncen ketiga Plabengan, Parsidi, pun tidak bisa menjelaskan apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan setiap bulan rejeb di Plabengan itu. Namun mereka percaya hingga saat ini pertemuan itu masih berlangsung setiap bulan Rajab di Plabengan.

Plabengan selain itu juga terdapat makam Ki Ageng Tunggul Wulung, Ki Panidi Kuda Negara, dan Ki Ageng Gadung Melati, yang merupakan santri-santri Ki Ageng Makukuhan. 

Ki Ageng Makukuhan sendiri merupakan murid dari Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus yang ditugaskan menyebarkan ajaran Islam dan mengajarkan pertanian di wilayah Kedu, Temanggung hingga ke lereng gunung Sumbing di Dusun Cepit, Desa Pagergunung.

Di lereng petilasan Plabengan itu pula terdapat sumber mata air atau Tuk yang airnya tak pernah berhenti mengalir bahkan saat musim kemarau sekalipun. Sumber mata air itu yang dipakai oleh warga Dusun Cepit, Desa Pagergunung sejak dulu hingga kini. Airnya jernih. Dingin. Saat musim kemarau, debit airnya hanya berkurang namun tidak pernah berhenti sama sekali. 

Air dari Tuk Plabengan itu dikelola warga untuk dipakai sehari hari, mulai untuk mandi, memasak hingga kebutuhan lainnya. Sehingga di sepanjang jalan menuju Plabengan terdapat banyak pipa paralon yang terbentang dari Plabengan menuju pemukiman warga.

Pada Rejeban Plabengan tahun 2019 saya pernah datang ke dusun di lereng gunung Sumbing ini dan bertemu dengan Juru Kunci Plabengan Bernama Mbah Suyono. Saat itu usia Mbah Suyono 88 Tahun. Saat saya datang lagi kemarin pada hari Jumat 26/1/2024, Mbah Suyono yang biasa menjadi tempat saya bertanya ternyata sudah tiada. Beliau meninggal dunia pada tahun 2022.

Saya datang ke Dusun Cepit Desa Pagergunung untuk melihat prosesi Rejeban Plabengan yang pada tahun ini jatuh pada hari Jumat 26/1/2024. Hari Kamis sore saya sudah berada di Dusun Cepit dan menginap di rumah seorang petani tembakau. Seluruh warga Dusun Cepit memang petani tembakau. Oleh karenanya, mereka begitu menjaga nilai-nilai tradisi yang dipercaya sebagai warisan dari Ki Ageng Makukuhan. Karena tembakau yang mereka tanam dipercayai sebagai warisan Ki Ageng Makukuhan untuk ditanam sebagai penghidupan. 

Tradisi rejeban Plabengan hingga kini terus dilestarikan selain sebagai pengormatan kepada leluhur juga sebagai bentuk rasa syukur karena diberi kehidupan yang baik atas panen tembakau. Juga atas pemberian air yang berlimpah dari Tuk yang berada di atas Plabengan. 

Tahlil Malam Jumat

Petilasan Ki Ageng Makukuhan di bawah pohon Bulu_Eko Susanto_A220488 (1)

Petilasan Ki Ageng Makukuhan di bawah pohon Bulu (Eko Susanto)

Sebelum pelaksanaan Rejeban Plabengan yang diadakan Jumat pagi, Kamis malamnya ba’da salat Isya sebagian warga juga sudah berangkat secara berombongan menuju Plabengan. Mereka membawa obor sebagai penerang jalan. Di petilasan Plabengan mereka berdoa dan berzikir, dan bersholawat kepada Nabi. 

Suasana malam Jumat itu dingin. Namun kaos dan jaket saya basah oleh keringat karena ikut berjalan bersama rombongan warga dusun menuju Plabengan. Langit mendung namun terlihat bulan secara samar menerangi lereng Sumbing yang dingin. Di dalam petilasan, juru kunci dan kiai dusun Cepit membakar kemenyan dan menaburkan beragam kembang ke pilar bagian tengah petilasan. Cahaya dalam petilasan hanya sebuah obor. Ruangan lainnya hingga pelataran dibiarkan gelap. 

Sesaat sebelum tahlil dimulai suasananya sangat hening. Nglangut. Mistis karena aroma kemenyan yang dibakar menyebar di sekitar cungkup petilasan yang terletak di bawah pohon Bulu yang sangat besar. Pohon yang telah berusia ratusan tahun itu menambah suasana malam makin singup. 

Saat tahlil dimulai, langit menurunkan gerimis. Mamok, teman perjalanan saya meliput ritual Plabengan kali ini, mengajak turun duluan. Karena kuatir hujan makin deras. Setelah mengambil beberapa foto di dalam petilasan, saya dan Mamok turun duluan. 

Suara zikir; La ilaha Ilallah, masih terdengar dari jarak yang cukup jauh saat saya menuruni Plabengan. Gerimis belum juga reda. Saat saya membalikkan badan, gunung Sumbing yang tadi terlihat pada saat saya dan warga menuju Plabengan, kini tertutup kabut tebal. Bulan juga tiada tertutup mendung. Saya dan Mamok mempercepat Langkah menuju rumah tempat saya dan Mamok menginap selama berada di Dusun Cepit.

Juru Kunci Plabengan

Setiap tempat keramat, entah itu makam yang dikeramatkan ataupun petilasan selalu dijaga dan dirawat oleh juru kunci. Tugasnya selain menjaga dan merawat, biasanya menemani peziarah yang datang untuk tirakat semalaman di tempat itu. 

Sejak ketiadaan Mbah Suyono sebagai Juru Kunci Plabengan, kini yang menjadi Juru Kunci adalah anak keempat Mbah Suyono yang bernama Parsidi. Usianya 55 tahun.

Sejak Jumat pagi, sebelum ratusan warga beriringan membawa tenong menuju Plabengan, Parsidi sudah ikut sibuk bersama warga lainnya menyiapkan barisan warga yang akan berjalan menuju Plabengan. Jarak Dusun Cepit dengan Plabengan sekira 2 km menanjak di lereng Sumbing. 

Pagi itu saya sudah bersiap di ujung pertigaan jalan yang menjadi tempat berkumpulnya warga sebelum melakukan perjalanan menuju Plabengan. Ada sebuah tumpeng besar berisi beragam Jenis sayuran. Tumpeng itu nantinya digotong oleh 4 orang saat prosesi arak-arakan menuju Plabengan. Ratusan warga lainnya membawa tenong yang dipikul selama perjalanan menuju Plabengan. Tenong itu berisi ingkung ayam dan nasi juga sayurnya. Sementara bakulnya berisi aneka pisang yang ukurannya besar-besar. Aneka penganan dan ingkung itu nantinya dimakan bersama di Plabengan usai didoakan oleh Kiai Dusun Cepit.

Jumat Pagi sekira jam 7.30 wib, iring-iringan warga mulai berjalan menuju Plabengan. Saya terlabih dahulu berjalan di depan untuk mendapatkan sudut yang pas untuk memotret. Iring-iringan kadang berhenti sesaat untuk mengambil nafas. Hanya beberapa detik saja kemudian iring-iringan berjalan lagi. Nafas saya memburu, ngos-ngosan. Tapi saya harus segera sampai Plabengan terlbih dahulu agar bisa mendapatkan foto dari depan. 

Dari tempat yang rada tinggi saya bisa memotret iring-iringan warga membawa tenong dan Tumpeng raksasa menuju Plabengan. Cuaca pagi itu cerah. Gunung Sumbing terlihat jelas. Dan di seberang sana gunung Sindoro juga nampak kokoh. 

Sesampainya di Plabengan semua tenong ditata berbaris di atas tanah. Sebagian membawa tikar untuk alas. Tumpeng besar di letakkan di depan petilasan. Kiai Dusun Cepit dan sebagian tokoh masyarakat memasuki petilasan bersama juru kunci. Mereka mulai membaca doa dan bersholawat. 

Usai berdoa, tumpeng besar itu diperebutkan warga yang hadir. Sementara isi tenong dimakan bersama. Siapa pun boleh makan. Teman saya Mamok bahkan makan ingkung ayam kampung  berukuran besar dengan bersemangat. Dokoh!

Sambil warga yang hadir makan, di depan petilasan, di bawah pohon Bulu yang sangat besar itu, tampil tarian Kuda Kepang dengan rancak. Tarian Kuda Kepang merupakan jenis tarian yang sangat disukai oleh para pepunden Plabengan. Oleh karenanya, setiap Rejeban Plabengan tarian Kuda Kepang ini menjadi salah satu syarat yang selalu ditampilkan.

Untuk mendapatkan momen luas, saya berjalan sedikit di samping cungkup petilasan di depan pohon Bulu untuk memotret dari atas. Sengan pandangan luas dari atas, suasana terlihat makin meriah, apalagi terdengar suara tabuhan gamelan sebagai pengiring gerakan tarian Kuda Kepang yang riuh menambah kemeriahan di depan petilasan Plabengan.

Jam 10 pagi acara Rejeban Plabengan usai. Seluruh warga berkemas hendak turun dari Plabengan. Saya juga ikut turun berjalan bersama warga menuju pemukiman. Orang terakhir yang turun dari Pabengan adalah Juru Kunci Plabengan, Parsidi.

Juru Kunci Ketiga Plabengan 

Usai menunggu beberapa saat. Saya akhirnya bisa ngobrol santai dengan Juru Kunci Plabengan di rumahnya. Hari itu dia mengenakan baju lurik biru muda bergaris hitam dan memakai blangkon. Usianya masih 55 tahun. Namun wajahnya seperti lelaki yang usianya 70an tahun. Namun wajah itu terlihat bersih. Putih. Bercahaya. Wajah dengan penampakan ramah dan murah senyum. Cara berbicaranya lembut. Bahkan beberapa kali saya meminta dia mengulangi apa yang bagi saya kurang jelas terdengar saat dia mengucapkan sesuatu. 

Obrolan kami santai sambil minum kopi dan camilan. Kami berbicara memakai bahasa jawa halus. Saya merekamnya agar jangan sampai terlewat apa yang dia ceritakan. Karena obrolannya ngalor ngidul tidak berurutan, saya ceritakan saja garis besar obrolannya agar enak dibaca. 

Begini ceritanya: 

Juru Kunci Plabengan pertama ialah Wongso Rajiman. Pada saat Wongso Rajiman tiada tugas Juru Kunci jatuh ke tangan Mbah Suyono sejak tahun 1982. Hingga dia wafat pada tahun 2022.

Pada tahun 2019, saya pernah bertemu dan mewawancari Mbah Suyono. Dulu, Mbah Suyono juga tidak tahu mengapa dia yang dipilih oleh Wongso Rajiman sebagai Juru Kunci Plabengan. Karena menurut Mbah Suyono pada saya saat itu, dia merasa tidak punya keahlian berbicara secara langsung dengan para arwah pepunden Plabengan. Wongso Rajiman kemudian menurunkan sebagian ilmunya pada Mbah Suyono. Sejak tahun 1982 itulah Mbah Suyono menjadi Juru Kunci kedua petilasan Plabengan. 

Saat Mbah Suyono tiada pada tahun 2022, Juru Kunci Plabengan jatuh pada anak keempat Mbah Suyono Bernama Parsidi. Menurut cerita Parsidi, sebelum Mbah Suyono meninggal dunia, Mbah Suyono berdialog dulu kepada para pepunden Plabengan. Karena sampai saat Mbah Suyono menjelang ajal belum juga ada pengganti Juru Kunci yang akan merawat Petilasan dan makam di Plabengan. 

“Mbah, ini anakku ada empat lelaki,” kata Mbah Suyono kepada para arwah pepunden Plabengan. “Silakan dipilih mana yang paling cocok menjadi Juru Kunci Plabengan. Karena sebentar lagi saya akan dipanggil Tuhan,” kata Mbah Suyono, menurut cerita Parsidi.

Para pepunden itu akhirnya memilih Parsidi yang kini menjadi Juru Kunci Plabengan. Saat saya tanyakan apa alasan para pepunden itu memilih dirinya, Parsidi menjawab tidak tahu. Karena selama bapaknya menjadi Juru Kunci, dia sama sekali tidak tahu menahu apa saja yang dilakukan bapaknya selama menjadi Juru Kunci Plabengan. Bahkan sejarah para penghuni Plabengan pun dia tidak tahu.

Saat kabar terpilihnya Parsidi menjadi Juru Kunci Plabengan tersebar ke telinga seluruh warga Dusun Cepit, seluruh warga menerimanya dengan gembira. Artinya, trah Juru Kunci saat ini berasal dari keturunan orang yang selama ini begitu dihormati oleh warga Dusun Cepit. 

Parsidi kini merasa dirinya sudah mantap meneruskan Amanah bapaknya. Dia hanya mematuhi pesan-pesan bapaknya sebelum meninggal dunia agar selalu menjaga Plabengan dengan sepenuh hati. Karena ini amanah dari orang tuanya juga permintaan dari pepunden Plabengan. Pengetahuan itu datang dengan sendirinya melalui lelaku.

Bahkan saya pernah bilang kepada para pepunden, jika saya kurang baik dan kurang elok selama menjadi Juru Kunci, silakan para Pepunden mencari Juru Kunci baru yang bisa menggantikan dirinya, kata Parsidi. 

Namun sampai saat ini para pepunden Plabengan nampaknya merestui keberadaan dirinya menjadi Juru Kunci Plabengen menggantikan bapaknya, Mbah Suyono. Saat saya mengkonfirmasikan hal ini kepada Suparlan yang bertidak sebagai ketua kesenian Kuda Kepang di Dusun Cepit. Suparlan bilang, Parsidi memang sudah direstui oleh pepunden dan warga juga sudah menerima jabatan Parsidi sebagai juru Kunci Plabengan.