Belum terangnya tentang pembatalan atau pengesahan RPP Kesehatan membuat banyak pihak resah, termasuk pedagang kaki lima. Namun, apabila terjadi pengesahan RPP Kesehatan membuat mereka akan teriak sekencang-kencangnya. Pasalnya, hajat hidup mereka akan mati.
Ini bukan prediksi yang meleset. Namun, apabila pemerintah benar-benar tidak ingin mengeluarkan pasal yang berkaitan tembakau di RPP Kesehatan, sudah pasti mereka musnah. Adapun penjelasan dalam berbagai pasal yang masih memuat tentang tembakau antara lain pemajangan produk tembakau dan pelarangan penjualan rokok.
Maka dari itu, tidak mengherankan apabila Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKL) dan Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsum Atmo berteriak lantang tentang RPP Kesehatan. Sebab, apabila terjadi pengesahan maka berdampak pada ekonomi nasional.
Simpang Siur RPP Kesehatan
Pembahasan RPP Kesehatan entah sampai di mana. Apakah sudah berhenti, ditangguhkan, atau masih berjalan tapi secara senyap, hanya pemerintah yang tahu. Namun demikian, kita harus tetap waspada dengan segala kemungkinan terjadi.
Jika tempo lalu sudah beberapa instansi yang ikut bersuara terkait penolakan RPP Kesehatan, kini ada perwakilan pedagang kaki lima. Maka, bukan tidak mungkin banyak profesi lainnya yang menunggu waktu untuk bersuara.
Ketika pemerintah ingin mematikan hajat hidup masyarakat melalui kebijakan semestinya pemerintah mengajak dialog. Sayangnya, hingga detik ini, belum ada dialog dua arah dengan lembaga-lembaga yang berkaitan tentang IHT. Sependek ingatan kami, baru ada dialog yang mana muaranya adalah kesehatan.
Hal tersebut sama saja menimbulkan ketidakadilan dengan yang lain. Bagaimana mungkin pemerintah yang harusnya menjalankan Pancasila sila kelima, eh malah cenderung memihak satu pihak. Ini rawan dan justru berbahaya.
Pedagang Kaki Lima Terancam Gulung Tikar
Satu hal yang tidak disadari pemerintah adalah ada manusia-manusia yang mau tidak mau hilang hajat hidupnya. Menurut Ali Mahsum, jumlah pedagang asongan yang terdata sebanyak 50 ribu orang. Sedangkan jumlah penjual rokok dalam bentuk warung mencapai empat juta orang.
Itu yang baru terdata oleh mereka. Bagaimana yang belum terdata? Tentu saja masih ada banyak lagi. Pemerintah seharusnya tidak menutup mata akan hal ini, kecuali apabila memang pelan-pelan ingin membumihanguskan Industri Hasil Tembakau (IHT).
Kamu bisa bayangkan, apa jadinya pemerintah tidak memiliki sikap keadilan satu dengan lainnya. Sudah tidak terhitung berapa kali pemerintah membuat kebijakan yang mengerdilkan IHT.
Jika memang muaranya demikian, apakah pemerintah lupa bahwa penerimaan negara dari cukai, khususnya cukai rokok itu terbanyak. Jumlahnya 95%. Makanya, pemerintah sempat kelabakan ketika jumlah penerimaan cukai rokok pada 2023 tidak tercapai. Tidak menyentuh angka Rp200 Triliun.
Pemerintah pun mendorong para pelaku IHT agar pemasukan negara meningkat melalui cukai hasil tembakau. Salah satunya yang mengungkapkan hal tersebut adalah Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI.
Sayangnya, Bamsoet –panggilan akrabnya, tidak mengungkapkan dengan jujur bahwa pemerintah sedang butuh uang.
Jika memang pemerintah butuh uang, lebih baik jujur saja. Dan ternyata kebutuhannya dari cukai rokok, ya katakan kepada publik.
Apakah berani?