Menurut data dari World Health Organization (WHO), jumlah perokok di dunia menurun. Benarkah itu?
Indonesia menjadi negara yang mendapatkan catatan penting dari lembaga kesehatan dunia, WHO. Pasalnya, WHO memprediksi bahwa jumlah perokok di Indonesia tidak akan menurun. Justru akan terus bertambah hingga pada 2030.
Hal ini berbanding terbalik dengan catatan WHO untuk jumlah perokok di Tiongkok, Amerika Serikat, dan India yang cenderung menurun. Bahkan, menurun drastis pada 2030.
Tiongkok, misalnya. Jika pada 2021 masih mencapai angka 293 juta orang, tahun 2023 akan mengerucut menjadi 290 juta orang. Sedangkan Amerika Serikat, pada 2021, jumlah perokoknya mencapai 67 juta. Namun, pada 2030 akan menurun menjadi 63 juta orang.
India pun sama halnya dengan kedua negara tersebut. Pada 2021, jumlah perokok di India mencapai 147 juta orang, tetapi pada 2030 akan menyusut menjadi 145 juta orang.
Lain halnya dengan ketiga negara tersebut, jumlah perokok di Indonesia pada 2021 mencapai 112 juta orang. Namun, pada 2030 akan membludak mencapai 123 juta orang.
Pertanyaannya, apakah kita bisa meyakini data yang dikemukakan oleh WHO dan dirangkum dalam Statista Consumer Insight?
Data WHO berbanding terbalik dengan data BPS
Jika kita melihat data yang dikeluarkan BPS, akan ada hal unik. Sebab, data BPS mengemukakan sebaliknya. Data BPS cenderung menunjukkan tren penurunan jumlah perokok di Indonesia.
Data yang berasal dari Persentase Penduduk Indonesia Usia 15 Tahun ke Atas yang Merokok (2015-2023), menunjukkan tren penurunan mulai terjadi pada 2019. Persentasenya sempat meledak pada 2018 sebesar 32%, tetapi pada 2023 turun menjadi 28,62%.
Lalu, data manakah yang benar?
BPS bukan sekali saja mengeluarkan data yang berbeda dengan data WHO. BPS pernah mengeluarkan data jumlah perokok anak di Indonesia yang turun. Bahkan mencapai 3,69%. Akan tetapi, hal tersebut berbanding terbalik dengan Riset Kesehatan Dasar, yang kemungkinan mendapat dukungan WHO, justru mengeluarkan data, yaitu jumlah perokok anak meningkat mencapai 8,8%. Kok bisa?
Entahlah. Barangkali tools yang digunakan berbeda. Namun, ini menjadi sinyal bahaya bagi kita, para perokok. Sebab, jika Kementerian Keuangan menggunakan data dari WHO, ada kemungkinan mereka menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya.
Padahal, bisa jadi pertanyaan dalam data tersebut tidak menyeluruh. Misal, tidak menanyakan apakah konsumen mengonsumsi rokok legal atau ilegal, dan sebagainya. Apalagi WHO memiliki sentimen negatif terhadap Indonesia karena tidak mau meratifikasi FCTC.
Maaf, sebagai produk budaya, sudah semestinya Indonesia berdikari, berdaulat, dan yakin bahwa kretek harus dilindungi. Selain itu, sebagai karya anak bangsa, semestinya kita lebih percaya dengan data yang dihasilkan oleh BPS. Toh, kepanjangannya pun jelas. Badan Pusat Statistik.