kawasan tanpa rokok
OPINI

Raperda Kawasan Tanpa Rokok di Jawa Timur Harus Dikaji Ulang

Kawasan Tanpa Rokok atau yang biasa disingkat KTR, lagi-lagi, menjadi sorotan. Kali ini, yang menyorot Kawasan Tanpa Rokok adalah anggota Fraksi NasDem Jawa Timur, Deni Prasetya. Ia mengungkapkan bahwa KTR ini justru berpotensi untuk membunuh petani tembakau. 

Jika Anda mengira cara berpikirnya terlalu jauh, berarti Anda masih belum paham tentang rantai produksi hingga distribusi olahan tembakau. 

Sederhananya begini. Ketika perokok mulai kesulitan untuk menikmati rokok karena aturan begini dan begitu maka daya beli konsumen berkurang. Sehingga, pabrik terpaksa mengurangi produksinya dan yang terparah pabrik tidak mengambil tembakau dalam jumlah banyak dari petani. 

Maka, sebenarnya tidak heran ketika ada sebagian kecil masyarakat yang mengkritik kehadiran Raperda Kawasan Tanpa Rokok di Jawa Timur. Ini demi kebaikan bersama, bukan?

Ketika KTR Hanya Sebatas Proyek

Sebenarnya kekhawatiran utamanya justru KTR adalah sebatas proyek semata. Bahkan, ada indikasi pengadaan KTR adalah tekanan dari pusat. Tekanan ini, salah satu contohnya, kewajiban sebuah daerah untuk menjadikan Kota/Kabupaten Layak Anak. 

Hal yang sebenarnya aneh dan sebuah keharusan yang tidak perlu. Bagaimana jika sebuah daerah merupakan penghasil tembakau? Seperti contoh di Jember, Situbondo, Madura, dan Bondowoso. Apakah penting dengan keberadaan KTR? 

Jember, adalah salah satunya. Kehadiran KTR hanyalah nomenklatur saja. Tampak tidak jelas sehingga tidak melaksanakan fungsinya dengan baik. Padahal, KTR itu sendiri adalah area yang mana seseorang dilarang melakukan aktivitas merokok, menjual, mempromosikan, hingga mengiklankan produk tembakau. 

Lalu, bagaimana seharusnya Kawasan Tanpa Rokok di Jawa Timur berfungsi?

Wajib Ada Ruang Khusus Merokok

Hal yang sering terlupakan dari Kawasan Tanpa Rokok adalah ketiadaan ruang merokok. Padahal, ruang merokok telah diatur dalam Undang-undang. Sayangnya, hampir sebagian besar tempat umum tampak mengabaikannya. 

Jika pun ada ruangan merokok, biasanya malah cenderung tidak manusiawi. Cek saja di Malioboro, Yogyakarta. Di sana terdapat empat ruang merokok. Tempat parkir Abu Bakar Ali, di dekat Mall Malioboro, di dekat Ramayana, dan di lantai 3 Pasar Beringharjo. 

Cobalah Anda ke sana. Adakah tempat yang nyaman? Di tempat parkir Abu Bakar Ali seperti tidak terurus. Kemudian di Mall Malioboro malah berdempetan dengan mobil yang lalu lalang. Di dekat Ramayana malah seperti ruang tidak jelas. Apalagi di lantai 3 Pasar Beringharjo malah terlalu jauh aksesnya. 

Sekadar mengisap rokok saja rumitnya minta ampun. Padahal, dana untuk membuat Kawasan Tanpa Rokok berasal dari uang rokok juga. Kok, malah perokok ingin mendapatkan haknya malah dipersulit. 

Nah, hal-hal seperti inilah yang semestinya diperhatikan betul oleh pemerintah Provinsi Jawa Timur. Jangan sampai uang merokok yang semestinya untuk kepentingan bersama malah menjadi kepentingan pihak sebelah. Justru ini malah tidak bagus bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai daerah penghasil tembakau terbanyak di Indonesia. 

Tentu saja pemerintah tidak ingin repot dalam menentukan kebijakan. Namun, kebijakan KTR ini semestinya melibatkan banyak stakeholder. Tidak mungkin yang diajak bicara hanyalah pihak kesehatan. Pihak seperti penggiat kretek perlu diajak bicara. Jadi, ada dialog dua arah yang saling membangun.