Bukan sesuatu yang asing ketika ada pemberitaan bahwa pajak rokok menyuplai sektor kesehatan. Terbaru, Pemerintah Provinsi Jambi mengucurkan dana sebesar Rp69 Miliar untuk iuran BPJS Kesehatan sebanyak 77.663 orang.
Ya, kamu tidak salah baca. Pajak rokok untuk membantu iuran BPJS Kesehatan. Seperti sebuah anomali, ya. Orang-orang kesehatan yang selalu membenci rokok ternyata dana kesehatan mendapat talangan dari pajak rokok.
Sebuah hil yang mustahal. Namun, di Indonesia, hal seperti ini bisa saja terjadi. Angka sebesar itu pun berasal dari pagu dana pajak rokok sejumlah 37,5%. Dana tersebut sudah aturan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Jadi, betapa murah hati sekali para perokok kepada sektor yang begitu membencinya.
Pajak Rokok untuk Membiayai Sektor Kesehatan
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok terdapat pasal yang berkaitan dengan sektor kesehatan.
Dalam Pasal 24 ayat 1 terdapat kalimat penegasan bahwa pemerintah daerah, provinsi, atau kabupaten/kota wajib mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan. Ada kata wajib di situ artinya mau tidak mau pajak ini memang berfungsi mengoptimalkan pelayanan kesehatan.
Bahkan, kontribusi pajak rokok mencapai persentase sejumlah 75% dari 50% atau ekuivalen sebesar 37,5% dari realisasi penerimaan yang bersumber dari pajak rokok masing-masing provinsi atau kabupaten/kota. Dengan angka sebesar itu wajar apabila jaminan kesehatan bertumpu pada pajak rokok.
Sebenarnya, fungsi dari pajak rokok tidak hanya untuk sektor kesehatan, melainkan juga penegakan hukum dan kesejahteraan masyarakat. Namun, memang yang paling banyak mendapatkan kue dari pajak rokok adalah sektor kesehatan.
Alasannya sederhana, tetapi terdengar klise, yaitu banyak penyakit yang berkaitan erat dengan sektor kesehatan. Mulai dari penyakit kanker, jantung koroner, hingga diabetes. Padahal, penyebabnya bisa jadi bukan rokok melainkan pola makan atau gaya hidup tidak sehat.
Akan tetapi, karena cukai rokok selalu menopang penerimaan negara maka perlu ada timbal balik yang selaras, khususnya dalam dunia kesehatan. Oleh karena itu, dengan kata selaras dan berkaitan erat penyakit itulah yang menyebabkan sektor kesehatan mendapatkan porsi pajak rokok terbanyak.
Bagaimanapun Negara Sangat Bergantung pada Rokok
Satu hal yang tak bisa dihindari dan bahkan dimungkiri negara adalah betapa negara sangat bergantung pada rokok. Produk olahan hasil tembakau yang berulang kali tersudutkan karena berbagai hal, justru menyelamatkan negara di saat-saat penting. Pandemi Covid-19, contohnya.
Ketika penerimaan negara dari sektor lainnya menurun, hanya rokok yang mampu mencapai target. Bahkan, jika periode pandemi Covid-19 dari 2020-2022, produk olahan hasil tembakau selalu melebihi target. Hal ini membuktikan bahwa produk ini mampu melewati tantangan zaman.
Maka dari itu, tidak heran pula negara selalu ketagihan dalam mengeluarkan kebijakan menaikkan cukai rokok. Negara seperti terkena candu. Bukan candu karena nikotin, melainkan uang yang dihasilkan dari produk tersebut. Padahal, tidak boleh siapa pun terkena kecanduan karena menimbulkan kemudaratan.
Contohnya tahun 2023 lalu. Untuk pertama kali sepanjang lima tahun terakhir, cukai rokok tidak tembus target. Bahkan, sebelumnya Jokowi sampai harus merevisi target penerimaan cukai karena menjelang akhir tahun penerimaannya lesu. Tapi, apa yang terjadi? Tetap saja tidak mencapai target. Artinya, kebijakan menaikkan cukai rokok sudah mencapai tarif maksimal. Justru menaikkannya pada 2024 maka ada potensi 2023 terulang kembali.
Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Palu telah diketok. Kita tinggal menunggu saja prediksi siapa yang keliru. Kita sebagai penggiat Industri Hasil Tembakau atau mereka pecandu Industri Hasil Tembakau.