tembakau dan cengleh
OPINI

Tak Ada Tembakau dan Cengkeh dalam Komoditas Prioritas Prabowo-Gibran

Beredar foto di sebuah akun X mengenai komoditas prioritas yang akan dilakukan Prabowo-Gibran. Di dalam foto tersebut, tidak ada nama tembakau dan cengkeh dalam 21 komoditas. Aneh bin ajaib. Tanaman yang berulang kali menyelamatkan negara via cukainya justru tak masuk ke dalam skala prioritas. Ada apa Prabowo-Gibran?

21 komoditas tersebut di antaranya batubara, nikel, timah tembaga, karet, kelapa, hingga rumput laut. Bahkan, tidak hanya tembakau, melainkan juga cengkeh yang tidak termasuk komoditas prioritas. Kemudian, timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya term mengenai hilirisasi?

Apa Itu Hilirisasi?

Dikutip dari KBBI, hilirisasi atau yang disebut dengan penghiliran adalah proses, cara, perbuatan untuk melakukan pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai. Jadi, harapannya adalah Indonesia tidak terus menerus ekspor bahan mentah ke negara-negara lain melainkan barang setengah jadi atau siap pakai. 

Nah, dalam term komoditas prioritas hilirisasi, tembakau tidak termasuk ke dalam skala prioritas. Belum diketahui alasannya seperti apa. Namun, ada indikasi karena keseluruhan bahan yang termasuk ke dalam kretek, seluruhnya berasal dari dalam negeri. Barangkali, itulah yang menjadi alasan mengapa tembakau tidak termasuk komoditas prioritas.

Pun dengan cengkeh. Hampir 97% bahan baku kretek adalah cengkeh. Produksi kretek menggunakan cengkeh dalam negeri. Sehingga barangkali inilah alasan mengapa cengkeh juga termasuk ke dalam komoditas prioritas hilirisasi. 

Lalu, jika tembakau dan cengkeh tidak termasuk ke dalam komoditas prioritas hilirisasi, bagaimana nasib kedua tanaman tersebut?

Tak Ada Tempat untuk Tembakau dan Cengkeh

Kretek memang menggunakan bahan dasar yang diambil dari dalam negeri. Namun, jangan salah sangka bahwa ternyata impor tembakau dan cengkeh cukup banyak. Pemerintah melakukan impor dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. 

Pada 2022, Indonesia membutuhkan tembakau sebanyak 320.000 ton. Sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya mencukupi 200.000 ton. Maka dari itu, untuk mengantisipasinya pemerintah melakukan impor sekitar 120.000 ton. 

Lalu, apa yang menyebabkan pemerintah melakukan impor tembakau? Jawabannya, karena lahan produksi tembakau berkurang. Dari sebelumnya 250.000 hektar pada 2012 hingga menurun menjadi 202.500 hektar. Pertanyaan selanjutnya, mengapa terjadi penurunan?

Ada banyak faktor. Seperti cuaca yang tidak mendukung dan harga tembakau yang rendah. Namun, ada faktor yang tidak kalah penting yaitu kebijakan cukai hasil tembakau yang menyiksa. Inilah hulu dari segala masalah. Sebab, berimbas kepada pabrik, pedagang, hingga petani. 

Jika Prabowo-Gibran telah mengetahui hal tersebut, semestinya tembakau dan cengkeh menjadi termasuk komoditas prioritas. Terlebih, jika mengacu kata hilirisasi, dalam statistik perkebunan Indonesia 2018 yang dikeluarkan Kementerian Pertanian, ekspornya hanya berwujud primer. Tidak berupaya olahan atau manufaktur. 

Padahal, Cukai Hasil Tembakau Gurih Adanya

Hal yang barangkali dilupakan oleh Prabowo-Gibran adalah cukai hasil tembakau (CHT) sangat gurih bagi negara. Berulang kali cukai hasil tembakau menyelamatkan negara. Dari tahun 2018, CHT selalu mencapai bahkan melebihi target kecuali 2023. 

Tahun 2024 saja, target penerimaan negara via cukai rokok naik menjadi Rp230,4 Triliun. Padahal, 2023 tidak mencapai target. Kalo pemerintah masih bebal dan mengabaikan peran tembakau dan cengkeh untuk kemaslahatan negara, siap-siap saja nasib CHT akan seperti 2023.