kejahatan bea cukai
OPINI

Direktorat Jendral Bea dan Cukai serta Direktorat Jendral Pajak Itu Memang Bikin Resah Rakyat

Lembaga yang bernama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak semakin meresahkan. Yang kaya bukan infrastruktur, tetapi malah pejabatnya. 

Kasus pajak sedang ramai. Pasalnya, ada seorang warga Indonesia yang baru saja beli sepatu seharga 10 juta rupiah, tetapi harus membayar lebih, yaitu Rp30 juta. Rinciannya ia harus membayar bea masuk dan pajak impor yang berjumlah lebih dari 30 juta rupiah. 

Lalu, kasus ini ramai di kalangan netizen. Nah, netizen mulai berhati-hati untuk membeli barang impor. Sebab, mereka bisa jadi akan mendapat pengalaman seperti itu. Meskipun Bea Cukai memberikan penjelasan yang cukup panjang, netizen sudah terlanjur kesal. 

Cacian demi cacian terus berlanjut. Kemudian, mereka mulai saling mengaitkan peristiwa satu sama lain, hingga berujung ke Rafael Alun. Ya, nama yang membikin geger masyarakat Indonesia karena korupsi triliunan. 

Bea Cukai dan Pajak Memang Lembaga Penarik Uang Rakyat

Barangkali netizen sudah muak dengan kelakuan Bea Cukai dan Pajak. Suka memberikan peringatan atau notifikasi untuk membayar pajak. Banyak macamnya. Sayangnya, hasilnya cenderung memperkaya pejabat-pejabat mereka seperti Rafael Alun dan Eko Darmanto. Maka, menjadi wajar apabila netizen justru menghardik jawaban Bea Cukai di platform X. 

Jika ingin menarik ke tema Industri Hasil Tembakau (IHT), sudah lama penggiat kretek mangkel dengan tingkah laku mereka. Bagaimana tidak? Kita, para penggiat kretek selalu dicari dan dipuja karena rajin menyokong penerimaan negara via cukai. Ya, cukai rokok hampir selalu mencapai target, kecuali 2023. 

Belum lagi dari pajak rokok. Pajak dari sebungkus rokok, reklame rokok, iklan rokok, dan banyak macamnya. Bahkan, pajak rokok lah yang membiayai defisit iuran BPJS. Tidak hanya sampai situ saja. Melainkan juga Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT).

Dana itulah yang membuat pelayanan kesehatan tetap terjamin seperti puskesmas dan rumah sakit. Kemudian, kesejahteraan masyarakat juga dibantu dari pajak rokok. Yang lebih luar biasa lagi ada penegakan hukum. Bentuknya, operasi gempur rokok ilegal.

Akan tetapi, apakah operasi tersebut efektif? Itu pertanyaan pentingnya. Sekuat apa pun penindakannya, selama kenaikan cukai rokok tetap berlangsung, peredaran rokok ilegal tetap meningkat. 

Lalu, di sini siapa yang salah? Tentu saja mereka yang mengambil keputusan, yaitu presiden dan menteri keuangan. Tapi, apakah mereka merasa bersalah? 

Tentu saja tidak. Mereka menyalahkan kita, dalam hal ini perokok, karena beralih ke rokok lebih terjangkau atau rokok ilegal. Bea Cukai dan Pajak mengejar para pedagang kecil. Sementara mereka justru bersekongkol dengan produsen rokok ilegal.  

Sri Mulyani Perlu Bertanggung Jawab

Sri Mulyani mendapat penghargaan sebagai menteri terbaik di dunia pada tahun 2018. Predikat yang luar biasa di atas penderitaan penggiat Industri Hasil Tembakau (IHT). Bersama Jokowi, ia merumuskan segala kebijakan yang tidak memihak untuk IHT. Sayangnya, dunia seperti tidak melihat hal tersebut. 

Padahal, sudah jelas keduanya merumuskan kebijakan dengan menaikkan cukai rokok sejak 2016. Kenaikannya sudah lebih dari 100%. Kenaikan yang bikin IHT goyah. Jumlah pabrik rokok turun, luas lahan tembakau menurun. Sedangkan impor tembakau meningkat. 

Cukup mengerikan ketika melihat fakta tersebut. Tapi, apa boleh bikin. Negara seperti melindungi menteri terbaik di dunia itu. Hiiiy.