Negara memang butuh uang dari pajak rokok tapi mereka enggan mengakui.
Sepertinya baru hari kemarin, Sri Mulyani memberikan keputusan tentang kebijakan cukai hasil tembakau. Kebijakan tersebut, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, naik.
Dampaknya sangat jauh. Salah satunya adalah harga rokok semakin melangit. Terbukti, sudah banyak perokok yang beralih ke harga lebih terjangkau atau tingwe.
Nah, tampaknya harga rokok akan semakin tidak terjangkau. Salah satu penyebabnya adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Secara umum, PPN akan meningkat dari 11% menjadi 12% pada 2025. Dengan kenaikan itu maka berdampak pula pada pajak rokok. Saat ini, pajak rokok menyentuh pada angka 9,9%
Padahal, jika menilik pada tahun-tahun sebelumnya, PPN pada pajak rokok adalah 8,4% pada 2016. Kemudian, pada 2016 menjadi 8,7% dan tahun 2017 meningkat jadi 9,1%.
Pada 2025 nanti, perkiraan pertambahan angkanya dari 9,9% menjadi 10,7%. Angka yang cukup menghebohkan bagi produsen dan konsumen, tapi tidak dengan negara. Mereka akan mengambil keuntungan yang cukup wow.
Jika Pajak Rokok Naik, Apakah Cukai Rokok Tahun Depan Ikut Naik?
Ini menjadi sebuah pertanyaan penting. Semestinya jika ingin berkeadilan dalam menentukan kebijakan, cukai rokok tidak terlalu naik secara agresif. Bahkan, jika perlu, tidak usah naik.
Fajry Akbar, pengamat dari Pusat Analisis Pajak Indonesia (CITA) menuturkan bahwa seharusnya kenaikan persentase pajak tidak diikuti dengan kenaikan cukai rokok.
Ada dua alasan. Pertama, beban kenaikan fiskal terlalu tinggi. Kedua, sudah pasti pencarian rokok ilegal akan semakin meningkat. Khusus yang terakhir, tidak perlu mendapat keraguan.
Negara seperti tidak pernah belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Kenaikan cukai rokok yang eksesif pasti akan membuat produksi rokok ilegal meningkat.
Jika produksi dan distribusi rokok ilegal meningkat, cerita tahun 2023 akan terulang kembali. Penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau tidak capai target. Bahkan, meskipun telah mendapatkan revisi, tetap saja tidak memenuhi target.
Lalu, mengapa negara tetap bebal dan malah ikut menaikkan pajak rokok? Tentu saja alasannya hanya satu: uang.
Masalahnya, apakah penggunaan pajak, khususnya dari produk hasil tembakau, tepat sasaran?
Betapa Negara Candu terhadap Uang
Negara memang memiliki daya dan upaya mencari uang dengan segala cara. Salah satunya dengan menaikkan pajak. Namun, sepertinya masyarakat masih memiliki trust issue kepada negara dalam mengelola pajak.
Kasus-kasus pegawai Bea Cukai yang justru mengelola rokok ilegal dan mengambil harta yang bukan miliknya menjadi masalah. Bikin runyam banyak orang, termasuk para perokok.
Lha, gimana? Negara berulang kali mengatakan agar masyarakat menghindari rokok ilegal, eh, ada pegawainya malah berbisnis produk tersebut. Anomali, bukan?
Maka dari itu, ketika ada pengumuman bahwa PPN akan naik, sebenarnya tidak hanya para pengusaha atau konsumen rokok yang teriak. Melainkan juga semuanya, F&B, migas juga ikut teriak.
Akan tetapi, apa boleh bikin. Negara memang butuh uang untuk “membangun” negara. Sayangnya, hal tersebut tidak pernah ditunjukkan secara lantang kepada masyarakat.
Mereka selalu punya 1001 alasan. Contoh, bahwa naiknya pajak untuk pengelolaan jalan, pelayanan kesehatan, dan segala infrastruktur agar lebih baik. Nyatanya? Lihat sendiri.
Benar bahwa ada banyak jalan yang mudah dilalui, tapi jangan menafikan ada juga pegawai-pegawai yang justru menggunakan uang rakyat seenaknya. Ini yang selalu kami kritisi.
Sebagai warga negara yang baik, tentu kita wajib membayar pajak. Namun, jangan lupa bahwa negara juga harus memenuhi hak rakyat. Konsepnya adalah dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Seperti jargon demokrasi.
Bukan dari rakyat untuk pejabat negara yang maruk kekuasaan dan kekayaan.