Bukan rahasia umum, melainkan fakta sosial bahwa perokok di bawah umur itu nyata. Kamu bisa melihatnya di ranah media sosial atau terjun ke lapangan langsung. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Jika menilik PP 109/2012, telah ada larangan menjualkan rokok kepada mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun. Hal tersebut juga telah didukung oleh industri rokok dengan memberikan larangan tersebut di sisi kanan atau kiri bungkus rokok.
Meskipun sudah ada larangan baik di dalam peraturan maupun di bungkus rokok, mengapa anak-anak bisa mengaksesnya? Siapa yang pantas disalahkan? Anak-anak, produk, penjual, keluarga, atau negara?
Ketika Mereka Memegang Rokok
Kubu anti rokok akan menuduh bahwa industri rokok sengaja mendesain bentuk promosi produk yang menyasar anak-anak. Buktinya, dalam Riset Kesehatan Dasar (2018), jumlah perokok di bawah umur mengalami peningkatan. Dari 8,4 menjadi 9,1%.
Maka dari itu, mereka meminta akses rokok terhadap anak ditutup. Bahkan, jika perlu orang yang menjualkan rokok kepada mereka di bawah umur, pantas mendapat sanksi. Baik itu sanksi sosial maupun pidana.
Sayangnya, riset tersebut mudah terbantahkan. Riset dari Badan Pusat Statistik (2021) menyatakan temuan yang berbeda. Justru ada data penurunan perokok di bawah umur. Dari 3,84% menjadi 3,69%.
Tulisan ini tidak akan membahas data siapa yang benar atau salah. Namun, adanya perbedaan data dari dua lembaga dalam negeri membuktikan bahwa ada yang tidak jujur. Entah itu Riskesdas yang dilakukan Kementerian Kesehatan atau BPS.
Akan tetapi, ketika mereka yang di bawah umur sudah memegang rokok itu jelas keliru. Apalagi sampai mengisap. Sebab, orang yang merokok harus memiliki kesadaran bahwa aktivitasnya memiliki risiko.
Jadi, menjadi wajar apabila mereka yang di bawah umur dilarang mengisap rokok. Sebab, mereka belum layak serta belum memiliki kesadaran akan risiko tersebut.
Negara Lepas Tanggung Jawab terhadap Perokok di Bawah Umur
Anti rokok akan menyatakan pendapat bahwa yang patut mengemban tanggung jawab atas hadirnya perokok di bawah umur adalah keluarga. Sebab, mereka seharusnya memberikan pengetahuan mana yang baik dan buruk.
Hal tersebut tidak keliru tetapi tidak sepenuhnya benar. Sebab, ada yang paling cocok untuk dipersalahkan. Negara. Ya, negara yang harusnya mengakui bahwa dirinya gagal mengemban amanah untuk melakukan tindakan pengawasan.
Kehadiran PP 109/2012 sebenarnya sudah merupakan tata kelola yang jelas dan klir tentang Industri Hasil Tembakau (IHT). Bahkan, aturan tersebut, jika ditelaah secara mendalam, sudah sangat rigid dan detail.
Maka, ketika mengetahui kenyataan tersebut, seharusnya negara mau melakukan fungsi lainnya, yaitu pengawasan. Tetapi, apa yang negara lakukan?
Alih-alih mengakui perbuatannya, negara justru “meminta” anti rokok untuk menuduh lainnya, yaitu produk. Tidak heran, kemudian anti rokok ingin melakukan revisi PP 109/2012. Bahkan, terbaru, mereka menuntut pemerintah untuk mengesahkan RPP Kesehatan.
Jika menilik rekam jejak negara terhadap pengelolaan Industri Hasil Tembakau, negara selalu melakukan hal yang sama: Lebih baik membuat daripada menegakkan peraturan. Tidak heran apabila saat ini peraturan yang mengelola IHT berjumlah 446 buah.
Apabila negara memang benar-benar serius mengawasi dan melarang penjualan rokok terhadap mereka yang di bawah umur adalah penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Atau, yang lebih canggih lagi menggunakan aplikasi.
Ketika hal tersebut benar-benar terimplementasi maka sudah tidak ada lagi perokok di bawah umur. Tentu dengan pengawasan yang ketat dari negara. Masalahnya, apakah negara memiliki niat untuk melakukannya?