pabrik rokok sampoerna
OPINI

Antirokok adalah Penjajah yang Dilindungi Negara

Antirokok adalah sekelompok orang yang membawa mindset kebencian terhadap rokok. Mereka boleh jadi bukan perokok, karena alasan politis. Sangat mungkin pula social smoker yang hipokrit termakan narasi kebencian.

Apakah membenci rokok adalah suatu sikap ideologis? Tentu tidak. Sebab kebencian bersifat emosional dan cenderung irasional. Untuk merasionalisasi kebencian itu maka perlu dikemas lewat narasi yang (seolah-olah) mulia dan rasional. Itu faktanya. Membenci rokok adalah ibadah. Nah loh. Coba periksa lagi, ajaran kebaikan mana yang melegalkan kebencian.

Menengarai praktik kampanye kesehatan yang dimainkan, dapat kita temukan betapa politisnya antirokok dalam membelah masyarakat. Penjajahan nalar yang dimainkan melalui kampanye-kampanye mereka telah membelah rasa senasib kita sebagai bangsa yang diperdaya oleh sistem.

Namun untuk mengaburkan fakta itu, antirokok terus memainkan propaganda politiknya dengan mengukuhkan dikotomi; perokok aktif dan perokok pasif. 

Praktik penjajahan di era kolonialisme juga memainkan pola sejenis yang dikenal dengan devide et impera. Politik belah bambu. Latar belakang istilah belah bambu ini diambil dari praktik orang membelah sebatang bambu dengan cara membagi dua bambu; ada bagian yang diinjak dan ada bagian lain yang diangkat, yang begini sehat yang begitu tidak sehat. 

Lalu, apa perangkat yang digunakan untuk membelah masyarakat? Perangkat itu diciptakan dan dibentuk menggunakan pola klasik dari ranah komunikasi. Satu yang dapat kita gunakan melalui paradigma  S-O-R: Stimulus, Organisme, Response. Lebih lanjut lagi dapat kita sigi dari teori Kenneth Burke; ‘Komunikasi adalah Drama’. Untuk menalar pola komunikasi politik regulasi berdasar isu-isu yang berkembang.

Praktik Penjajahan Antirokok

Praktik penjajahan yang dilakukan antirokok selalu bercorak demagogis alias propaganda, mendaur mitos kesehatan dan relasi intersubjektif. Di antaranya melalui pola kampanye fear mongering—ini hanya istilah lain dari menebar ketakutan. Sejatinya, muatan propaganda itu akan terus dimodifikasi menyesuaikan target capai dan relevansi waktu.

Pola fear mongering ini seperti halnya dulu, terkait larangan orang tua kepada anak untuk mencegah potensi anak; “Magrib jangan main keluar nanti diculik genderuwo, jadi tumbal proyek jembatan loh”. Lantas orangtua mengisi dimensi negosiatif, dengan memberi anak kegiatan ‘positif’ atau mainan yang bikin anak betah. Seiring usia, bunyi larangan akan terus mengalami modifikasi. Seturut laju pertumbuhan internal dan eksternal objek dan subjeknya; pasar.

Syukurnya di negeri ini, kretekus adalah manusia dewasa yang arif, memiliki nalar kritis yang berangkat dari falsafah eling lan waspada. Sadar bahwa pesan bernuansa propaganda dinalar dengan daya semantik yang khas, maka kesadaran untuk berlaku proporsional dan manusiawi dikedepankan. 

Betapapun itu, pada akhirnya kita dapat membaca pola penjajahan antirokok yang terus bermain di ranah epistemik (pengetahuan). Secara sosiokultural, sistem pengetahuan bangsa ini telah menjadi laku keseharian yang saling melengkapi unsur-unsur nilai di dalamnya.

Laku itu mulai dari pemuliaan air, pemaknaan rumah dan ruang-ruang peruntukannya, pemuliaan pada segala yang bertumbuh. Bahkan, pada aspek metafisis pun kita memiliki cara yang khas (kultural) menyikapinya.

Praktik amit-amit (kesantunan) saat melewati kuburan atau sesuatu yang dikeramatkan misalnya. Itu sebagai bentuk kesantunan yang di era post truth ini dianggap lelucon lawas. Dituding penakut dan seterusnya. Artinya, tata nilai kultural kita mengalami gempuran alih-alih dekonstruksi makna.

Ditambah lagi, spektrum post truth yang beroperasi melalui media sosial terus berkembang menjadi tunggangan siapapun. Kondisi itu semakin memberi tempat dan menemukan konteksnya bagi laku penjajahan ala antirokok dengan menebalkan superioritas kelas.

Operasi Sebar Mitos oleh Antirokok

Gambaran konkritnya, bisa ditilik dari redaksi peringatan kesehatan di bungkus rokok lawas. Pada masa-masa Indonesia baru menghirup udara demokrasi pasca Orba. Redaksi peringatan kesehatan ini merupakan manifestasi politik regulasi kesehatan; merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.

Faktanya, tidak semua yang kena kanker, jantung, impoten, itu adalah perokok toh. Lantas, pembenaran berbasis definisi perokok pasif dimainkan untuk menyudutkan (lagi-lagi) perokok. Agar timbul perasaan bersalah, berdosa, sehingga sin tax (pajak dosa) alias pungutan cukai menjadi rasional untuk dikerek naik setinggi-tingginya. Bahwa kelas pesakitan harus membayar dosanya untuk menambal persoalan kesehatan di masyarakat.

Dari sisi praktik demagogia itu, pemerintah sepertinya terus saja memberi tempat bagi operasi pembelahan yang dimainkan antirokok. Lagi-lagi hal itu dimainkan dalam upaya merebut dominasi, mendorong regulasi, merasionalisasi target penguasaan alam pikir (pasar).

Alih-alih memelihara iklim demokrasi yang disimplifikasi dengan premis bahwa semua pihak punya hak bersuara (pengaruh-mempengaruhi yang lain). Pemerintah justru memanfaatkan keuntungan dari dua sisi yang dimana kondisinya lahir dari iklim demokrasi hibrida seperti sekarang.

Praktisnya, dari sektor cukai (perokok yang berdosa) jelas cuan—menguntungkan pemerintah, dari sisi pencitraan regulasi (amanat FCTC) pemerintah terlihat seperti serius melaksanakan. Sekali lagi, seperti ‘serius’. Bukan nama band yang sudah bubar itu loh ya.

Kalau memang bersungguh menuntaskan momok kesehatan bernama rokok, ya tinggal ilegalkan saja rokok. Tutup semua pabriknya. Beres dong.

Sementara itu, sebaran mitos di akar rumput yang bunyinya relatif kultural alias menggelikan; kretek itu rokok kuli, nikotinnya bikin suara jelek banyak dahak, residunyanya bikin paru-paru smile, baunya kampungan, filternya mengandung darah babi, campurannya bukan cengkeh, mercon itu; awas meledak.

Bebunyian itu merupakan stimulus pembentuk pasar yang menguntungkan bagi bisnis nikotin sebagai produk pengalih kebiasaan merokok.

Singkatnya, seturut eskalasi politik regulasi. Bahasa peringatan kesehatan itu kemudian berubah menjadi ‘rokok membunuhmu’. Penekanan ini bukan hanya isyarat bagi Indonesia sebagai negara peserta FCTC. 

Pola Ekonomi Elit Global

Tetapi akses dari beralihnya arus modal dan dinamika ekonomi global. Pola kendali dimainkan lewat klausul-klausul debt trap berbasis skema fiskal yang mengikat dan berpengaruh terhadap legitimasi dan legacy politik.

Hal itu ditandai pada tahun 2012, dimana antirokok secara masif menaikkan eskalasi isu ke ranah privat dengan menggunakan sentimen domestik. Menyandingkan rokok dengan kemiskinan, rokok dan lingkungan, rokok dan anak dan stunting.

Semangat bersaing antar kepala daerah pun digenjot dalam berlomba-lomba mengais predikat kota yang dipimpinnya. Mulai dari yang berbasis slogan kota ramah anak hingga kota bebas polusi. Namun faktanya itu semua dibangun di atas narasi absurd kepentingan antirokok.

Pertanyaan kritisnya, kenapa pemerintah mengamini agenda Pengendalian Tembakau dengan mengaksesinya ke dalam regulasi. Yang artinya membenarkan gerakan antirokok. Pemerintah tentu saja bukan tidak tahu bahwa di balik frasa pengendalian ada praktik yang subtil membidik aset ekonomi bangsa; sektor kretek.

Terlalu naif jika pemerintah tidak tahu, bahwa pengendalian tembakau ini adalah istilah (eufemisme) yang diperhalus dari tujuan memonopoli bisnis rokok. Terlalu naif jika pemerintah tidak tahu kalau antirokok adalah representasi dari agenda aktor-aktor global yang bermain mengobrak-abrik kewarasan publik. 

Kita hapal betul watak pemerintah yang kerap bermain dua kaki, mempertontokan dua wajah banalnya. Lalu, keuntungan apa yang didapat dari memelihara penjajahan antirokok di masyarakat? Justru sangat masuk akal kalau pemerintah lebih butuh kambing hitam dengan berdiri di atas dalil-dalil absurd.

Maka tak ayal, di tiap lembar sejarah politik kekuasaan selalu ada para pihak yang di-oknum-kan. Seperti halnya dalam sejarah Gerakan 30 September, pihak partai komunis yang ditumbalkan di antara posisi militer saat itu. 

Dan (lagi-lagi) pemerintah, pastinya menolak dipersalahkan atas watak hipokritnya, atas andilnya dalam membuka pintu-pintu liberalisasi ekonomi. Kenyataan itu dapat ditengarai di tiap babak sejarah. Pemerintah memilih main aman. Sebab kebodohan dan keterbelahan di masyarakat adalah modal yang menguntungkan bagi kekuasaan.