Pada masa revolusi fisik, bangsa ini jelas tidak merasa penting memaknai adanya kelompok antirokok. Lagipun tidak ada sekelompok orang yang di masa getir itu sehari-harinya sibuk mengutuki perokok. Sebagaimana beragam postingan yang berkelindan di media sosial bernuansa mendiskreditkan perokok.
Hal klise yang mungkin terlontar saat membaca tulisan ini, mungkin tak lain soal kenyataan zaman sudah berbeda, Bos. Betul sekali. Persoalan eksistensialnya juga sudah beralih ke dalam makna yang lain. Jika di era perjuangan dulu bahu-membahu untuk kemerdekaan bangsa.
Berbeda di era post truth ini, semangat kontestasi untuk diakui si paling eksis si paling viral, itulah yang merasuki mental spesies post truth. Sekali pun tidak paham-paham betul peta perang nikotin, seperti yang dijelaskan lewat buku Nicotine War-nya Wanda Hamilton, tidak sedikit dari mereka yang asal ikut-ikutan saja menjadi antirokok. Mungkin pula terperangkap pola patron klien yang banal.
Secara gambaran umum saja, situasi perang fisik pada masa pra kemerdekaan, sebagian besar rakyat berjuang membawa senjata seadanya. Bahkan, etos rakyat terikat oleh rasa senasib. Prinsip yang sama dan satu yang harus dibela; kemerdekaan bangsa. Terbebas dari kungkungan sistem penjajahan.
Jenderal Soedirman; Sang Perokok
Coba bayangkan jika ada seorang antirokok menghampiri Jenderal Soedirman, kala itu beliau lagi ngaso menyulut tingwe kegemarannya. Seraya itu sang jenderal diberondong ceramah kesehatan yang template; ingat tembakau itu tanaman beracun, Pak. Kerja nikotin lebih mengerikan dari bahaya junk food. Bahwa dengan merokok berarti men-download penyakit kanker secara sadar.
Ini yang Pak Dirman harus renungkan, WHO telah berulang menyebutkan perihal rokok dan perokok sebagai musuh kesehatan dunia. Itulah kenapa setiap tahun ada Hari Anti Tembakau Sedunia. Industri rokok harus bertanggung jawab pada kerusakan lingkungan, pada persoalan kemiskinan dan stunting. Dan tembakau yang bapak nikmati itu, itu akan membuat para gerilyawan terpapar penyakit paru.
Jenderal keras kepala itu seraya menggulungkan senyum khasnya. Tak sedikit pun dari gelagat tubuhnya yang menunjukkan gentar ataupula takjub oleh ceramah ala antirokok itu. Beberapa prajurit yang ngaso menikmati tingwe, terlihat saling lempar senyum bertukar bisik, sambil menyimak ceramah yang nyaris seperti stand up komedian beraksi di pentas Somasi.
Perlu Pak Dirman ketahui, asap rokok telah menyumbang polusi terbesar yang berakibat pada gangguan pernafasan masyarakat. Jenderal harusnya tahulah, ada banyak perokok pasif terancam paparan polusi. Belum lagi polusi budaya drakor para politisi. Saya ini perokok pasif loh. Memang sih tidak merokok, tapi saya kan terdampak paparan asap orang yang merokok.
Sampai di sini senyum Pak Dirman menyiratkan kesan terhibur. Terhibur oleh kalimat-kalimat absurd itu. Antirokok yang tampak kasual namun emosional itu kembali melanjutkan ceramahnya. Dengan lebih antusias dia melontarkan kata-katanya lagi.
Ini loh Pak, setiap tahun sekitar 225.700 orang di Indonesia meninggal akibat merokok dan penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau. Ini penting untuk Pak Jenderal sampaikan kepada prajurit yang bapak pimpin. Seketika melesat di udara pesawat tempur pasukan Belanda. Para gerilyawan gesit gesturnya bersiaga.
Jenderal Soedirman yang Tetap Merokok
Belum sempat antirokok melanjutkan template ceramahnya, muncul seorang prajurit dari arah yang tak terduga. Memberi informasi penting tentang pergerakan pasukan Belanda yang sudah mengetahui keberadaan Jenderal Soedirman. Puntung tingwe segera dimatikan dengan cara dibenamkan di tanah hingga lesak tak terlihat. Sang Panglima memberi kode kepada pasukannya untuk melanjutkan perjalanan menembus hutan dan perbukitan.
Dengan gesit antirokok merunduk berusaha mencungkil puntung tingwe yang dibenamkan. Gelagatnya seperti berusaha mengambil sampel untuk menjelaskan tentang bahaya puntung rokok yang mencemari lingkungan.
Sejatinya, puntung tingwe adalah elemen organik yang akan mendaur secara alamiah bersama tanah. Antirokok itu membuntuti langkah pasukan Soedirman menembus hutan dan terus berjalan karena penasaran. Belum genap satu kilometer dia terlihat kepayahan. Nafasnya terlihat tidak stabil. Seperti kehausan tapi berusaha untuk tegar.
Mungkin benar yang dia maksud sebagai perokok pasif, sudahlah tidak merokok, jauh dari olahraga. Terpapar polusi kendaraan tekun merawat pola hidup yang hedonis. Gemar merayakan produk cinta yang manis-manis. Boro-boro rutin jogging, belanja ke Alfamart yang kurang dari 500 meter dari rumah saja mengandalkan motor dan jastip
Akan berbeda jika itu disandingkan dengan pengabdian Karso, Warto, Joyodari dan Djuwari. Nama-nama pemanggul tandu Jenderal Soedirman. Orang-orang muda yang diperkirakan berusia 21 tahunan pada masa agresi militer II 1948, mereka memilih hidup dalam gerilya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dewasa Itu Tahu Prioritas
Jangan tanya berapa ratus kilometer ditempuh dalam gerilya memanggul tandu. Jangan tanya apakah mereka getol merokok atau tidak, pastinya ‘dewasa itu tahu prioritas, Gas’. Kalaupun para gerilyawan merokok, jangan tanya berapa batang yang tersisa selama perjalanan gerilya.
Gerilya adalah salah satu taktik militer Indonesia yang suksesinya diakui dunia. Jangan tanya saat gerilyawan terancam tembakan serangan darat maupun udara dari Belanda harus mengeluh ke mana atau ke siapa. Hanya satu kata; lawan!
Sementara di alam kemerdekaan ini, banyak hal yang disukai dan tidak disukai semua ditumpahkan ke media sosial. Terperangkap pada polarisasi like or dislike. Sehingga kerap menimbulkan paparan bagi kejiwaan yang lain, alih-alih terserang mental health.
Sebagaimana antirokok yang jika dihadapkan pada situasi gerilya fisik seperti para gerilyawan itu. Tak akan jauh sih, akan mengambil jurus mendang-mending yang disertai dalil-dalil absurd atas nama kesehatan, yang mereka maknai pula sebagai jihad memerangi perokok yang keras kepala alias teguh pendirian seperti Soedirman. Wallahu a’lam bishawab.